Menuju konten utama

Makna Kematian di Balik Ritus Ma'nene

Sejumlah makna di balik tradisi Ma'nene yang tampak tidak lazim bagi orang kebanyakan.

Makna Kematian di Balik Ritus Ma'nene
ilustrasi manene. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sosok renta itu berpakaian lengkap dan bagus. Baju, celana, sepatu, bahkan topi dan kacamata hitam, bahkan semuanya baru. Ia dituntun pelan beberapa orang. Mereka berjalan beriringan, diarak, dan disaksikan oleh warga sekampung yang berjejalan di tepi jalan.

Sosok yang sekilas tampak wajar itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Ia adalah orang mati yang dirias selayaknya manusia hidup. Itulah Ma'nene, ritual mengganti pakaian mayat yang masih diterapkan masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Jenazah yang didandani itu berusia puluhan tahun, bahkan ada yang ratusan tahun sehingga wajar jika jasadnya tidak sepenuhnya utuh lagi. Namun, orang Toraja secara turun-temurun sudah mengenal teknik mengawetkan mayat.

Memanusiakan yang Mati

Tradisi Ma'nene di Tana Toraja tentu saja dilakukan bukan tanpa muasal. Ada cerita dari masa lalu yang melatarbelakanginya. Terlepas cerita faktual atau bukan, yang jelas orang Toraja percaya bahwa memanusiakan orang yang sudah meninggal adalah perbuatan mulia.

Dikisahkan, seorang pemburu bernama Pong Rumasek menemukan sesosok mayat tergeletak di tengah jalan dengan kondisi memprihatinkan. Hati Pong Rumasek tergerak. Dilepaskan bajunya untuk dikenakan kepada jasad yang tinggal menyisakan tulang-belulang itu. Lalu dipindahkannya ke tempat yang layak.

Ketika pulang ke rumahnya, Pong Rumasek terkejut karena mendapati lahan pertaniannya sudah siap panen, padahal seharusnya belum waktunya. Tak hanya itu, keberuntungan demi keberuntungan senantiasa menyertai hidup Pong Rumasek.

Berangkat dari cerita rakyat itulah tradisi Ma'nene dilestarikan. Ritual ini biasanya dilakukan setelah panen atau sebelum memulai masa tanam. Harapannya, apa yang dialami Pong Rumasek setelah memuliakan mayat akan kembali terjadi.

Baca Juga: Misionaris Kristen Dibunuh di Tana Toraja

Ma'nene juga menjadi momen bagi seluruh keluarga untuk berkumpul. Anggota keluarga yang merantau ke tempat-tempat yang jauh pun akan sebisa mungkin berusaha pulang demi menghadiri upacara sakral itu sekaligus untuk melepas kerinduan dan ingat kampung halaman.

Ma'nene sendiri punya dua makna. Yang percaya, seperti keyakinan orang Toraja pada umumnya, istilah Ma'nene dipahami dari kata nene’ alias "nenek" atau leluhur/orang yang sudah tua.

Ada yang juga yang memaknainya dengan arti yang sedikit berbeda. Nene’ artinya orang yang sudah meninggal dunia. Baik mati tua maupun mati muda sama-sama disebut nene’. Kata nene’ kemudian diberi awalan “ma” yang jika digabung dapat diartikan sebagai “merawat mayat”.

Bukan Upacara Biasa

Tidak semua orang mampu menggelar Ma'nene karena biaya yang dibutuhkan sangat besar. Biasanya, yang menyelenggarakan ritual ini adalah mereka yang berstatus sebagai kalangan bangsawan.

Ma'nene pada umumnya dilakukan sebelum musim tanam dan menggunakan dana dari hasil panen sebelumnya. Namun, ada kalanya pula orang mengusahakan dana dengan cara lain, misalnya menjual tanah atau bahkan meminjam agar dapat mengadakan Ma'nene. Begitu pentingnya ritual ini bagi sebagian orang Toraja dan sudah menjadi aturan tak tertulis yang sebisa mungkin dipenuhi.

Baca Juga: Ritual Gadhimai, Membantai Hewan Atas Nama Agama

Infografik Manene

Salah satu prinsip yang diyakini adalah, jika ada salah satu pasangan meninggal dunia, maka suami atau istri yang ditinggalkan tidak boleh menikah lagi sebelum menggelar Ma'nene. Hubungan suami-istri dianggap tidak akan terputus selama Ma'nene belum dilakukan.

Ma'nene adalah bagian dari upacara Rambu Solo' atau upacara kematian dalam tradisi suku Toraja yang memang berlangsung panjang. Pada hari yang telah ditentukan, keluarga datang ke lokasi persemayaman jenazah. Mayat telah diawetkan dan tersimpan rapi di dalam peti kemudian dibersihkan lalu diganti pakaiannya.

Pakaian yang dikenakan kepada mayat merupakan pakaian kebanggaan atau kesukaan ketika masih hidup. Semisal dia dulu berprofesi sebagai polisi, maka yang dipakaikan bisa seragam polisi, lengkap dengan atributnya. Namun pada umumnya pakaian yang disiapkan adalah pakaian yang sebagus mungkin.

Berpesta dalam Ritual Kematian

Prosesi mengganti pakaian jenazah sebenarnya tidak lama, hanya butuh waktu sekitar setengah jam saja. Setelah itu, jenazah biasanya diarak bersama keluarga keliling kampung, meskipun tidak selalu begitu.

Jika sudah sampai tahap ini, Ma'nene bukan lagi upacara kematian yang disikapi dengan rasa duka, justru berubah menjadi ajang keceriaan karena seluruh keluarga berkumpul dan “bertemu” dengan orang yang disayangi. Mayat yang didandani memang diperlakukan seperti saat ia masih hidup.

Selain itu, masyarakat setempat dan warga sekitar juga turut terlibat dalam perayaan Ma'nene. Apalagi Ma'nene kini sudah menjadi bagian dari pariwisata yang digandrungi turis asing karena keunikannya.

Baca Juga: Cerita Memburu Kepala di Nias

Ma'nene ibarat pesta rakyat. Keluarga yang menyelenggarakan telah bersiap jauh-jauh hari. Sapi, babi, dan bahan-bahan makanan lainnya sudah disiapkan dalam jumlah besar karena tahap terakhir ritual ini adalah makan bersama dengan seluruh orang yang hadir di situ.

Usai makan, acara dilanjutkan dengan temu kangen antar anggota keluarga besar yang pada hari-hari biasa terpisah-pisah. Terkadang, jenazah juga “dilibatkan” dalam acara reuni keluarga ini. Didudukkan bersama, diajak berbincang, berfoto bareng, dan seterusnya.

Bagi mereka tidak ada kematian yang benar-benar memisahkan. Selalu ada harapan untuk bertemu kembali dengan orang terkasih meskipun dalam wujud jasad tanpa nyawa.

Baca juga artikel terkait UPACARA ADAT atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS