Menuju konten utama

Ragam Tradisi Mengawetkan Jenazah

Bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan kematian?

Ragam Tradisi Mengawetkan Jenazah
Ilustrasi sakrofagus. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Ada yang percaya bahwa selama tubuh tetap utuh dan tidak membusuk, meskipun sudah tak bernyawa, ia akan tetap dianggap hidup dan mampu berhubungan dengan orang-orang sekitar. Alasan ini juga yang melatarbelakangi masyarakat di berbagai belahan dunia melakukan pengawetan mayat. Sebuah tradisi yang dapat ditemukan di banyak tempat di dunia.

Korea Utara sendiri telah mempraktikkan tradisi mengawetkan pemimpin negara. Di Kumsusan Memorial Palace, Pyongyang, jasad Kim Jong Il beserta ayahnya dipajang di sana. Tradisi ini mengikuti Uni Soviet yang juga membalsem jenazah Vladimir Lenin. Tidak mengherankan, selain keduanya secara resmi mengantu ideologi komunisme, Uni Soviet adalah bekas negara sponsor Korea Utara semasa perang dingin di era 1980-an.

Sementara itu, Reuters baru-baru ini mengabarkan bahwa sebanyak 17 mumi ditemukan di situs kuburan kuno (nekropolis) di kota Minya, 250 km dari Kairo, Mesir. Mohamed Hamza, dekan Fakultas Arkeologi Cairo University yang ikut dalam pencarian mumi ini menyatakan bahwa mumi tersebut terdiri dari pria, wanita dan anak-anak itu diduga berasal dari masa 1.300 tahun lalu.

Arkeolog telah menggali banyak benda peninggalan dalam beberapa bulan terakhir: makam bangsawan dari lebih 3.000 tahun yang lalu, 12 pemakaman yang berusia sekitar 3.500 tahun, dan patung raksasa, yang dipercaya menggambarkan Raja Psammetich I, yang memerintah dari 664 sampai 610 SM.

Tujuan mengawetkan jenazah dengan pembalsaman dalam peradaban Mesir Kuno adalah untuk menjaga agar arwah raja dapat menjadi tenang jika tubuhnya masih tetap utuh. Kepercayaan ini juga meyakini bahwa jiwa orang yang telah mati suatu hari akan kembali pada jasadnya.

Pengawetan jenazah sendiri pada dasarnya adalah tindakan medis yang dilakukan dengan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup.

“Langkah pertama, semua organ dalam diambil, pembuluh darah diluluhkan, kemudian darah diambil dari jaringan,” jelas Pavel Fomenko, seorang spesialis di satu institusi di Moskow, dilansir dari Belfast Telegraph.

Jenis-jenis cairan pengawet sendiri dapat menggunakan formalin, formalin alkohol asetat, cairan Heidenhain Susa, Zenker, Bouin, atau dengan fiksasi Carnov.

Tidak hanya itu, cara pengawetan mayat juga pernah dilakukan dengan cara pengasapan seperti yang dilakukan warga Aseki atau yang lebih dikenal dengan suku Angga, di papua Nugini.

Proses pengawetan ini dilakukan dengan mengiris anggota tubuh, misalnya lutut, siku, kaki, dan persendian lainnya. Kemudian, isi perut dan lemak dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Jenazah tersebut kemudian diasap di atas nyala api selama kurang lebih sebulan sampai cairan yang ada di tubuhnya menetes habis. Cairan tersebut dikumpulkan oleh warga untuk mentransfer kekuatan jenazah yang telah meninggal. Begitu selesai pengasapan, tubuh-tubuh yang telah mengering tersebut diletakkan di tebing-tebing yang curam.

Di Indonesia, peletakan tubuh jenazah yang diawetkan di tebing-tebing juga dilakukan oleh masyarakat Toraja. Setiap tahun "mumi" tersebut dibersihkan. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Ma’nene.

Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang disakralkan. Kematian adalah sesuatu hal harus dihormati. Mereka yang mati biasanya diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana.

Bagi masyarakat di daerah Toraja utara, Baruppu, ritual Ma'nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma'nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.

Pihak keluarga yang akan menjaga dan merawat jenazah. Jika tidak dilakukan dengan baik, mereka percaya di keluarga mereka akan ditimpa kesulitan. Oleh karenanya, masyarakat Toraja menghabiskan sebagian besar hidup mereka menabung agar bisa menghelat ritual tersebut dari tahun ke tahun.

Sementara itu, di Jepang juga terdapat prosesi mengawetkan jenazah yang dilakukan oleh para biarawan yang disebut sebagai tradisi Sokushinbutsu. Tradisi ini mulanya dirintis oleh Kukukai, kepala biara di kompleks kuil Gunung Koya di daerah Wakayama.

Infografik Mumi di dunia

Kuukai merupakan pendiri Shingon, sebuah sekte Budha yang mempunyai ide pencerahan melalui hukuman fisik.

Proses pengawetan jenazah dalam Sokushinbutsu lebih rumit dibanding yang lain. Mereka memulai dengan melakukan diet selama 1000 hari. Mereka hanya akan memakan kacang-kacangan dan biji-bijian, dengan tujuan untuk menghilangkan semua lemak di tubuh mereka.

Para biksu tersebut kemudian hanya akan makan kulit dan akar selama seribu hari selanjutnya dan mulai minum teh beracun yang dibuat dari getah pohon Urushi, yang biasanya digunakan untuk pernis mangkuk.

Teh beracun tersebut akan menyebabkan hilangnya cairan tubuh dengan cepat dan dipercaya akan membuat tubuh terlalu beracun untuk dimakan belatung.

Seorang biarawan akan mulai memumifikasi tubuhnya sendiri dengan mengunci dirinya dalam kubur batu yang hampir tidak lebih besar dari ukuran tubuhnya. Proses ini berakhir ketika mereka tidak bernyawa lagi. Sebuah proses yang mereka percaya sebagai jalan menuju kesempurnaan.

Kepercayaan pengawetan jenazah ini bagi mereka yang percaya, mengaburkan batas antara dunia dan akhirat. Yang memungkinkan mereka yang masih hidup dapat berjumpa dengan orang-orang yang sudah meninggal dan yang meninggal dapat dijumpai dalam tampilan fisikal yang relatif masih memiliki kemiripan dengan saat ia hidup.

Baca juga artikel terkait MUMI atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Zen RS