Menuju konten utama
Miroso

Makanan dalam Semesta Ghibli

Makanan di anime Studio Ghibli tak hanya muncul sebagai pemanis sehingga mudah dilupakan.

Makanan dalam Semesta Ghibli
Makanan dalam Jagat Ghibli. FOTO/Ghibli

tirto.id - Makanan di anime Studio Ghibli tak hanya muncul sebagai pemanis sehingga mudah dilupakan. Sebaliknya, ia terus diingat penonton film Hayao Miyazaki, Isao Takahata, dan kawan-kawan.

Buktinya bisa dilihat di dunia maya. Ada banyak orang yang berusaha memasak dan membagikan resepnya lewat akun media sosial. Inga Lam termasuk dari sekian banyak orang yang melakukan hal itu. Rekaman video yang diunggah di akun Youtube Buzzfeed memperlihatkan perempuan berambut panjang tersebut menantang dirinya membuat masakan dari anime Ghibli selama satu hari. Ia pun sukses memasak ramen layaknya di Ponyo, bento ala Satsuki di My Neighbor Totoro, bakpao Spirited Away, makan malam dengan lauk salmon seperti di Porco Rosso, juga sajian penutup kue cokelat Kiki’s Delivery Service.

Resep makanan dari anime Ghibli yang ada di media sosial hampir bisa dipastikan merupakan hasil kreasi para pembuatnya. Hal ini dikarenakan tak banyak buku resep atau cookbook yang dibuat Studio Ghibli. Baru di tahun 2021, Studio Ghibli mengeluarkan cookbook bergambar buat anak-anak yang membahas resep makanan yang ada di Earwig and the Witch (2020).Terdapat cara membuat hidangan shepherd pie asal Inggris kesukaan Mandrake, salah satu tokoh utama di film tersebut.

Satu tahun kemudian, di tahun 2022, studio film animasi itu kembali mengeluarkan cookbook bergambar untuk anak-anak berjudul Ghibli’s Table: My Neighbor Totoro. Buku tersebut memuat resep-resep makanan yang muncul di My Neighbor Totoro (1988), termasuk cara membuat bento ala Satsuki. Ada pula resep lain yang dibuat lantaran terinspirasi dari gaya hidup santai Satsuki dan adiknya Mei di desa serta sayuran musim panas yang ditanam di sekitar rumah mereka.

Selain buku resep, sebuah pameran dengan judul Delicious! Animating Memorable Meals juga pernah diadakan di Ghibli Museum, Jepang tahun 2017. Pengantar pameran yang diunggah di situs museum tersebut menyebutkan bahwa penonton kerap mengingat adegan tentang makanan di film-film Ghibli. Di pameran itu, alih-alih menampilkan resep masakan, berbagai macam makanan yang muncul di film berikut cara makanan itu didesain serta bagaimana tokoh dalam film menyantapnya dipertunjukkan.

Film, Makanan, dan Ghibli

Makanan bukanlah barang baru dalam medium film. Menurut esai Aleksandra Drzał-Sierocka dari Institute of Cultural Studies SWPS University of Social Sciences and Humanities, film buatan Louise Lumière di tahun 1895 pernah menampilkan Auguste Lumière tengah menyantap hidangan bersama istri serta anaknya. Lumière bersaudara merupakan penemu sinematograf pertama asal Prancis yang dapat memproyeksikan gambar bergerak. Meski demikian, katanya, How Bridget Served Salad Undressed (1898) merupakan film pertama yang menonjolkan makanan lewat cara yang lebih berarti.

Setelah itu, Aleksandra menjelaskan bahwa makanan terus-menerus muncul dalam medium film. Akan tetapi, terobosan besar baru terjadi di tahun 1960-an gara-gara teknologi yang semakin berkembang serta adanya pertumbuhan minat terhadap masakan. Di tahun 1980-an, titik balik dalam sejarah penggambaran makanan sinematik terjadi seiring dengan munculnya istilah food film. Ini merupakan sebutan untuk film-film yang tak hanya menampilkan makanan tetapi juga menjadikannya sebagai elemen kunci dalam plot dan narasi.

Menurut Aleksandra, Julie and Julia (2009) adalah contoh feature film atau film panjang yang masuk ke dalam kategori food film. Film animasi Ratatouille (2007) serta Cloudy with a Chance of Meatballs (2009) juga termasuk di dalamnya. Di film-film ini, masakan mendefinisikan tokoh-tokoh dan relasi di antara mereka. Ia juga dipakai buat mengekspresikan perasaan, menggambarkan dunia yang ditangkap dalam film, dan lain-lain.

Kehadiran makanan dalam film lantas menarik perhatian para peneliti. Studi yang menjadikannya sebagai objek penelitian telah dilakukan. Menurut Cynthia Baron Bowling dari Green State University, panganan, lauk-pauk, atau kue dapat dilihat sebagai signifier atau penanda yang “dapat berbicara dengan bahasa yang kerap kali samar atau abstrak”.

Dalam jurnal Dinner and a Movie, ia menyebutkan visual makanan mampu membentuk pemahaman dan interpretasi penonton terhadap para tokoh juga interaksi mereka, dinamika sosial, berikut perspektif ideologis yang ingin disampaikan lewat film.

Lalu bagaimana dengan film-film produksi Studio Ghibli? Lewat jurnal “More Than Just A Bowl of Ramen: Studio Ghibli’s Food of Semiotic Significance”, Carlin Mudhalapura Chacko dari Christ University menyebutkan bahwa makanan di film-film Ghibli tak ditampilkan secara estetis hanya untuk membuat seseorang menelan ludah atau perut penonton berbunyi. Di tiga film, yakni My Neighbor Totoro (1998), Spirited Away (2001), dan Howl’s Moving Castle (2004), ia menemukan masakan justru berkaitan dengan hal-hal lain, antara lain emosi serta perkembangan karakter para tokoh.

Salah satu temuan Carlin di Spirited Away ialah makanan menjadi penghibur yang manjur. Hal ini tampak pada adegan ketika Chihiro mengalami tekanan mental berat gara-gara orang tuanya berubah menjadi babi. Dalam waktu singkat, ia harus belajar banyak hal supaya dirinya tak ikutan diubah jadi binatang sekaligus agar ia bisa membebaskan sang ayah dan ibu. Haku, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang membantu Chihiro, lalu berusaha menghibur juga menyemangatinya dengan menawarkan onigiri atau nasi kepal.

Carlin lebih lanjut menjelaskan bahwa masakan ditampilkan untuk membantu mengembangkan karakter di Howl’s Moving Castle. Ia kemudian membahas tokoh bernama Howl, seorang penyihir yang mulanya kelihatan angkuh, plin-plan, dan suka bertingkah. Seiring berjalannya cerita, ia ternyata sosok yang peduli dengan orang lain. Hal ini tampak salah satunya dari cara Howl menyiapkan sarapan. Ia tak hanya memasak buat dirinya sendiri tetapi juga untuk semua orang di kastilnya. Menu makan pagi yang ia buat adalah telur dan irisan bacon yang digoreng.

Pengantar pameran Delicious! Animating Memorable Meals yang diadakan di Ghibli Museum tahun 2017 lalu menyebutkan makanan yang muncul di film-film Ghibli memang menyampaikan pesan tentang kelezatan serta kegembiraan. (Delicious! Animating Memorable Meals - Ghibli Museum, Mitaka (ghibli-museum.jp)) Masakan tersebut tidaklah istimewa, kebanyakan cukup sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Infografik Miroso Makanan Ghibli

Infografik Miroso Makanan Ghibli. tirto.id/Tino

Studio Ghibli lalu menggarap hidangan “biasa” itu menjadi spesial dengan cara digambar secara detail dan berusaha ditampilkan bersama cerita yang apik. Dari sana muncullah efek dramatis, visual makanan yang tampak lezat, serta kenikmatan yang terlihat dari ekspresi juga gerak-gerik tokoh dalam film.

Kemampuan Studio Ghibli menyuguhkan hal-hal biasa, termasuk makanan, menjadi suatu yang spesial juga disadari Zoe Crombie, peneliti kajian film dan anime di Lancaster University di Inggris. Dalam jurnal berjudul “The Spectacular Mundane in the Films of Studio Ghibli”, ia menjelaskan kecakapan tadi tak terlepas dari target penonton film-film Ghibli, yakni anak-anak.

Ia menyebutkan salah satu pendiri studio film ini, yaitu Hayao Miyazaki, pernah mengatakan kalau tujuannya membuat animasi adalah untuk memberitahu anak-anak bahwa hidup itu menyenangkan. Hal-hal berikut aktivitas biasa yang spektakuler di film ini pun disuguhkan dalam rangka meyakinkan target penontonnya kalau kepuasan berikut kebahagiaan dapat diperoleh dari mana saja, tak hanya dari sesuatu yang fantastis. Zoe mengatakan, gara-gara maksud ini, film-film Ghibli tak hanya disukai anak-anak tetapi juga orang dewasa.

Di jurnal tersebut, ia turut menjelaskan bahwa adegan makanan yang telah mengalami defamiliarisasi serta diperlakukan untuk memuaskan indera penonton memperoleh popularitas yang besar di dunia maya. Berbagai macam resep di blog yang berusaha membuat kembali masakan di film-film Ghibli ditemukan di internet. Defamiliarisasi yang Zoe maksud adalah metode yang dipakai buat menganggu proses otomatisasi sehingga sesuatu bisa dipersepsikan kembali.

Sampai batas tertentu, ia lalu menyimpulkan bahwa film-film Ghibli mempunyai dampak fenomenologis yang membuat orang ingin merasakan sensasi saat menonton secara langsung. Zoe mengatakan kejadian ini juga menunjukkan adanya keinginan buat melihat sesuatu yang biasa sebagai hal yang spektakuler. Menurutnya, kepopuleran blog makanan serta video yang memiliki kesamaan estetika atau tema dengan film-film Ghibli menjadi bukti akan hal tersebut.

Baca juga artikel terkait STUDIO GHIBLI atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Nuran Wibisono