Menuju konten utama

Makam Dibongkar Sebab Beda Agama, YLBHI: Pemerintah Harus Bikin TPU

YLBHI menyatakan pemerintah daerah, hingga level desa, harus menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) yang yang memperbolehkan warga dari semua agama dikebumikan di sana.

Makam Dibongkar Sebab Beda Agama, YLBHI: Pemerintah Harus Bikin TPU
Ilustrasi makam. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Makam seorang warga Desa Ngares Kidul, Mojokerto, Jawa Timur, Nunuk Suartini (63) diharuskan pindah ke tempat lain setelah diprotes warga. Dalih protes warga ialah karena makam penganut agama Kristen itu menempati pemakaman yang berlokasi di "tanah wakaf muslim."

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyesalkan hal ini. Ketua Bidang Organisasi YLBHI Febi Yonesta mengatakan seharusnya pemerintah desa itu menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) yang memperbolehkan warga dari semua agama dikebumikan di sana.

"Seharusnya ada TPU di setiap tempat, pemerintah harus menyediakan. Jangankan level kecamatan atau desa, level terkecil seperti RW pun harus ada. Itu [TPU] berlaku untuk semua agama, [agar] tak mendiskriminasi," kata Febi saat dihubungi wartawan Tirto, pada Kamis (21/2/2019).

Menurut Febi, kebutuhan akan pemakaman di suatu daerah harus ditempatkan dalam konteks yang sama dengan kebutuhan perumahan.

Dia menambahkan masyarakat memang berhak membuat pemakaman khusus untuk agama dan etnis tertentu. Namun, hal itu juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan.

"Tapi saya sendiri kurang paham konteks dalam kasus di Mojokerto ini, apa memang yang mereka sebut pemakaman 'tanah wakaf muslim' itu sudah benar atau belum penerapannya," kata Febi.

Selain itu, dia menambahkan, keluarga Nunuk Suartini juga berhak membuat makam khusus di tanah lain secara privat.

"Enggak masalah walau dia minoritas. Enggak ada larangannya. Mayoritas maupun pemerintah enggak boleh menghalang-halangi. Kendati memang harus memperhatikan konteks tata ruang dan wilayah, apa sudah memungkinkan," ujar Febi.

Menurut Koordinator Gusdurian Mojokerto Imam Almaliki, yang ikut memantau kasus ini, Nunuk Suartini meninggal pada Kamis (14/2/2019). Keluarganya lalu meminta izin kepada Kepala Desa Ngares Kidul dan sejumlah warga agar jenazah Nunuk bisa dimakamkan di pemakaman desa. Kebetulan, mereka adalah satu-satunya keluarga beragama Kristen di desa itu.

"Sempat ada penolakan. Karena itu makam 'tanah wakaf muslim', jadi tidak boleh. Tapi setelah negosiasi antara keluarga, kepala desa, dan warga yang menolak, akhirnya diperbolehkan," kata Imam saat dihubungi wartawan Tirto.

"Namun dengan syarat, tak ada prosesi pemakaman ala umat Kristiani dan tak boleh ada salib. Keluarga akhirnya sepakat karena tak ada pilihan lain," tambahnya.

Jenazah Nunuk lalu dimakamkan pada Jumat (15/2/2019) siang. Namun, malam harinya sejumlah warga melakukan protes dan menolak jenazah Nunuk dimakamkan di sana.

"Itu hanya sebagian warga saja yang menolak. Tak banyak. Direspons kembali oleh Kepala Desa, dan dimusyawarahkan kembali. Akhirnya Sabtu malam ada pertemuan dengan pihak kepolisian, keluarga, kepala desa, warga yang menolak, dan pendeta GPdI Gempolkerep," kata Imam.

Pertemuan itu menghasilkan 3 kesepakatan. Pertama, keluarga setuju makam Nunuk dibongkar dan dipindahkan asal mendapat tanah yang jelas dan layak. Kedua, desa atau pemerintah daerah harus menyediakan fasilitas pemakaman untuk warga non-muslim di Desa Ngares Kidul. Ketiga, jika sudah disediakan lahan makam untuk non-muslim lewat penerbitan Peraturan Desa (Perdes), keluarga bisa memindahkan jenazah Nunuk kembali ke Desa Ngares.

"Intinya, sekarang jenazah harus dipindahkan dahulu ke tempat lain. Nanti kalau desa sudah menyediakan pemakaman non-muslim, baru bisa kembali lagi ke Desa Ngares," kata Imam.

Baca juga artikel terkait PEMBONGKARAN MAKAM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom