tirto.id - Artikel sebelumnya: Karut-marut Lockdown Jangka Panjang di Cina
Sepanjang musim semi, frustrasi dan kemarahan publik terhadap kebijakan lockdown di Cina sebenarnya telah tumpah ruah di dunia maya. Al Jazeera melaporkan mereka mulai mempertanyakan logika dan nalar di balik kebijakan yang memberikan dampak sangat parah ini.
Keluhan disampaikan melalui rekaman video dan audio sampai catatan atau komentar di aplikasi Wechat dan Weibo. Namun suara-suara kritis itu dengan cepat lenyap dari peredaran setelah disensor oleh otoritas, yang kukuh ingin mempertahankan citra stabilitas di bawah komando Partai Komunis Cina.
Tapi apa yang terjadi di Urumqi, ibu kota Xinjiang, mengubah semua. Di sana sebuah kebakaran menewaskan 10 orang.
Kali ini kemarahan tidak sekadar dimuntahkan di internet, melainkan jadi aksi massa di jalanan. Dimulai dari Urumqi, serangkaian protes anti-lockdown menyebar luas ke penjuru negeri, termasuk kota pertama yang mengalami lockdown, Wuhan, serta ibu kota Beijing dan sentra bisnis Shanghai.
Di mata sejumlah demonstran, obsesi terhadap strategi “zero-Covid” yang digaungkan administrasi Xi dan elite Partai Komunis Cina sulit dipisahkan dari ambisi mereka untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan.
Aksi ini skalanya begitu masif sampai-sampai dibandingkan dengan protes prodemokrasi di Alun-Alun Tiananmen pada 1989.
Protes solidaritas anti-lockdown juga ditemui di lingkungan universitas, termasuk kampus elite nun jauh dari Urumqi di kawasan sisi timur Cina seperti Tsinghua University dan Peking University di ibu kota Beijing.
Di Tsinghua, mahasiswa menyerukan kalimat-kalimat seperti “demokrasi, aturan hukum, dan kebebasan berekspresi” sembari membawa kertas putih, sebuah simbol protes nasional yang menunjukkan hal-hal penting namun dilarang. Di sana mahasiswa juga merasa tertekan dengan aturan pembatasan ketat yang meliputi kewajiban ikut tes Covid-19 massal setiap hari dan hanya bisa keluar kampus ketika kondisi sakit darurat.
Masih di kawasan sisi timur Cina, awal Desember kemarin mahasiswa Nanjing Tech University menyuarakan protes terkait keputusan rektorat untuk melakukan lockdown kampus selama satu minggu hanya gara-gara satu orang mahasiswa terinfeksi Covid-19. Mereka khawatir tidak bisa pulang ke rumah masing-masing untuk liburan musim dingin.
Protes tidak hanya dilakukan oleh warga perkotaan dan mahasiswa, melainkan juga buruh. Salah satunya terjadi pada pertengahan November lalu di Distrik Haizhu, Kota Guangzou, di pusat industri tekstil terbesar di Cina yang mempekerjakan ratusan ribu buruh migran dari luar provinsi.
Kebanyakan demonstran disinyalir sebagai buruh migran yang kesulitan mengakses kebutuhan sehari-hari dan terbebani oleh kenaikan harga barang. Ada juga dugaan bahwa demo meletus untuk menentang kebijakan lockdown pemda yang memerintahkan para pekerja migran agar pulang ke provinsi asal (kebanyakan dari Hubei) alih-alih kembali ke tempat tinggal mereka di kawasan kampung kota di Guangzou.
Aksi protes buruh yang berujung pada bentrokan dengan aparat pabrik juga berlangsung pada akhir November silam di “kota iPhone” Zhengzhou, Provinsi Henan. Di sanalah berdiri perusahaan Taiwan, Foxconn, subkontraktor iPhone terbesar (70 persen) yang disokong oleh 200 ribu pekerja.
Protes dipicu oleh wacana perubahan kontrak tentang bonus atau kompensasi bagi pegawai baru yang bersedia bekerja selama aturan pembatasan berlangsung. Protes juga dikaitkan dengan keluhan beberapa staf yang harus berbagi kamar asrama dengan kolega terkonfirmasi positif Covid-19.
Kehebohan di Foxconn bisa ditelusuri akarnya sejak Oktober, ketika perusahaan menjalankan prosedur pembatasan setelah mendapati kasus infeksi di lingkungan pabrik dan mengarantina 3.000 karyawan. Namun bukan berarti proses produksi iPhone berhenti total. Pabrik Foxconn masih beroperasi, mempekerjakan karyawan dengan sistem “closed loop”.
Demi menjaga pekerja aman dalam “gelembung”, mereka dilarang keluar dari kompleks pabrik, difasilitasi dengan layanan antar jemput dari asrama pabrik ke gudang produksi dan diperintahkan rutin mengikuti tes Covid-19.
Seiring itu, masalah terkait kebutuhan makan bermunculan: pegawai di lini produksi diberi kotak makan, sedangkan yang terinfeksi Covid-19 atau tidak berani keluar asrama hanya diberi mie instan atau roti. Pertikaian antarpegawai karena rebutan makanan dilaporkan terjadi. Jasa kebersihan ikut dipertanyakan karena muncul laporan tentang sampah kotak makanan yang menggunung. Ada pula keluhan dari karyawan sakit yang tidak mendapat layanan medis optimal.
Tidak betah dengan situasi demikian, menjelang akhir Oktober, diperkirakan sampai ribuan pegawai berbondong-bondong pergi meninggalkan pabrik. Banyak yang rela berjalan kaki ratusan kilometer menuju kampung halaman karena layanan transportasi kota tidak beroperasi dan jalanan ditutup oleh pemerintah kota yang juga tengah menerapkan lockdown.
“Saya tidak akan pernah akan kembali lagi ke Foxconn. Mereka tidak punya perikemanusiaan di sana,” demikian komentar salah satu dari mereka, dikutip dari Financial Times.
Skala protes kali ini, yang berlangsung sekitar seminggu, sangatlah masif sampai disebut-sebut sebagai aksi massa “paling berani dan paling menyebar luas” sejak protes prodemokrasi di Alun-alun Tiananmen pada 1989.
Seiring itu, pucuk kepemimpinan Cina turut jadi sasaran amarah demonstran, yang menganggap strategi “zero-Covid” sebagai sarana otoritas untuk semakin memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka di penjuru negeri. Dalam demo, sempat terdengar seruan yang bikin elite pejabat partai di Beijing bergidik: “Xi Jinping, mundur! CCP, mundur!”
Reaksi Pemerintah
Di tengah kencangnya kritikdari masyarakat Shanghai, muncul rumor tentang segelintir elite di tubuh Partai Komunis yang ikut mempertanyakan efektivitas kebijakan lockdown. Akan tetapi, otokritik itu cepat-cepat ditepis oleh Xi. Dalam pidato di hadapan komite politburo Mei silam, Xi menegaskan bahwa strategi pengurungan massal selama ini “ilmiah dan efektif”. Xi bahkan membumbui pidatonya dengan peringatan: “Kami akan bekerja keras melawan segala ucapan dan perbuatan yang mendistorsi, meragukan, dan menyangkal kebijakan pencegahan epidemi.”
Serangkaian protes yang meletus di berbagai penjuru juga berhasil diredam dengan cepat oleh kepolisian. Reuters melaporkan tentang orang yang ditahan selama beberapa jam. Sayangnya tidak tersedia data pasti tentang total demonstran yang ditahan.
Sementara itu, media propemerintah bungkam terkait karut-marut protes. Paling pol, beberapa hari setelah demo menyeruak, Xinhuadan Global Times berusaha mencairkan suasana dengan berita tentang relaksasi kebijakan pembatasan di berbagai kota besar di Guangzhou dan Beijing. Mereka juga menyinggung pencapaian vaksinasi di kalangan lansia. Sebanyak 66 persen atau sekitar 23 juta penduduk usia 80 tahun ke atas dikabarkan sudah menerima vaksin dosis utuh—peningkatan dari kisaran 50 persen di awal tahun.
Tidak ada juga suara yang keluar langsung dari Xi Jinping. Namun demikian, menurut pejabat Uni Eropa, Xi sempat berkomentar bahwa mahasiswa yang “frustrasi” sudah berada di balik aksi protes.
Beberapa hari silam, Xinhua malah merilis kronologi heroik tentang kepemimpinan Xi selama tiga tahun melawan penyebaran Covid-19. Rangkuman perjuangan Xi diakhiri pada tanggal 10 November, tak lama setelah ia terpilih jadi presiden untuk periode ketiga atau sekitar dua minggu sebelum aksi demo anti-lockdown menyebar luas. Hari itu, ia memimpin rapat partai untuk membahas “20 langkah optimalisasi respons” terhadap epidemi Covid-19.
Berbagai dugaan pun muncul tentang langkah administrasi Xi setelah serangkaian aksi demo meletus. Akankah otoritas Cina memperkuat aturan lockdown atau justru melonggarkannya dan bersiap-bersiap menyambut potensi risiko gelombang kasus infeksi baru?
Di satu sisi, kasus infeksi Covid-19 kembali mencatat rekor baru dalam sebulan terakhir—dari kisaran ribuan kasus pada awal November sampai mencapai puncaknya dengan 71 ribuan kasus pada 29 November. Memasuki bulan Desember, jumlah kasus menunjukkan tren turun meskipun masih cukup tinggi, di kisaran dua puluh ribuan kasus.
Di luar dugaan, administrasi Xi memilih opsi kedua: melunakkan kebijakan terkait lockdown tanpa terang-terangan mengakui poin-poin kekurangan dari strategi “zero-Covid”.
Dilansir dari Associated Press, awal Desember ini pemerintah mengumumkan perubahan dalam strategi penanganan pandemi yang disebut “Sepuluh Syarat Baru”. Salah satu isinya menyebut keringanan bagi warga untuk beristirahat di rumah apabila menunjukkan gejala ringan, alih-alih dikirim ke tempat karantina.
Selain itu, lockdown akan diterapkan pada satu bangunan atau satu lantai apartemen saja, alih-alih seluruh distrik atau kota sebagaimana selama ini dilakukan. Perubahan penting lain berkaitan dengan berkurangnya fungsi-fungsi pengawasan pada aplikasi telepon pintar yang selama ini digunakan untuk merekam data kesehatan individu sekaligus melacak pergerakan mereka.
Di samping itu, durasi lockdown tidak akan dibiarkan berlarut lagi, dibatasi lima hari saja apabila tidak ada kasus infeksi baru. Vaksinasi di kalangan lansia dan orang-orang dengan penyakit bawaan juga akan jadi fokus baru pemerintah.
Otoritas Cina tampaknya memang bersungguh-sungguh meninggalkan obsesinya terhadap protokol-protokol keras di bawah strategi “zero-Covid”. Dalam menyambut “Sepuluh Syarat Baru”, media Cina Global Times bahkan tidak menyinggung istilah “zero-Covid”. Mereka justru menggambarkan strategi terbaru pemerintah sebagai “pelangi yang muncul setelah badai”. Tutur mereka lagi, “Kita semua sudah lama menanti datangnya hari ini untuk keluar dari kabut epidemi.”
Langkah tersebut juga menunjukkan bahwa Xi, setelah sukses menjaga kekuasaannya tetap kuat selama sepuluh tahun, akhirnya harus sedikit bertekuk lutut di tengah gempuran seruan publik akan kebebasan.
Apakah itu juga menandakan bahwa pemerintah Cina kelak semakin bersikap lunak terhadap tuntutan-tuntutan lain dari publik?
Sepertinya tidak.
Sejumlah pengamat politik Cina memprediksi bahwa dalam jangka menengah, pihak berwenang justru akan semakin represif terhadap masyarakat sipil. Profesor William Hurst dari Centre for Geopolitics di University of Cambridge menyampaikan pada The Guardianbahwa pemerintah akan meningkatan represinya sedikit agar demonstran sadar tentang risiko dari tindakannya.
Kata Hurst, otoritas Cina sudah belajar dari aksi protes Tiananmen 1989. Gerakan prodemokrasi tersebut dibalas oleh pemerintah dengan brutal. Langkah itu akhirnya disimpulkan tidak terlalu efektif dan berisiko untuk rezim komunis. Yang lebih efektif, menurut Hurst, adalah dengan “secara perlahan mengangkat engkol represi sehingga tidak terlalu kentara ketika mereka berubah dari permisif jadi represif.”
Masih dikutip dari The Guardian, Profesor Xu Chenggang, ekonom dari Stanford Centre on China’s Economy and Institutions, berpendapat bahwa kepemimpinan pemerintahan Cina “bergeser dari otoritarianisme menjadi totalitarianisme.” Perubahan ini tidak hanya ditunjukkan dari riwayat terbaru mereka dengan menerapkan strategi “zero-Covid” untuk mengontrol populasi, tapi juga dengan mendirikan ribuan “koperasi” dan kantin umum (“koperasi pasokan dan pemasaran” untuk mengatur hasil pertanian, “kantin umum” untuk mempermudah akses warga terhadap makanan dengan harga terjangkau).
Dua program tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengontrol seluruh rantai pasokan komoditas, sekilas mengingatkan pada penjatahan makanan dan bencana kelaparan pada era ekonomi terpusat di bawah Mao Zedong.
Pemerintah juga dipandang semakin kuat mencengkeram industri besar yang dianggap mengancam kekuatan rezim, terutama sektor hiburan dan teknologi. E-commerceAlibaba dan Tencent (perusahan induk aplikasi TikTok) adalah contohnya. Dua korporat raksasa tersebut didenda besar-besaran karena dianggap tidak mematuhi aturan hukum dalam Undang-undang Antimonopoli.
Editor: Rio Apinino