Menuju konten utama
Riset Mandiri

Survei Pandangan Terhadap COVID-19: Masih Banyak Yang Menyepelekan

Lebih dari setahun sejak awal pandemi, 24,4 persen masyarakat tidak percaya bahwa COVID-19 bisa menyebabkan gejala parah atau kematian.

Survei Pandangan Terhadap COVID-19: Masih Banyak Yang Menyepelekan
Header Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

tirto.id - Sudah setahun lebih dunia berjibaku dengan pandemi COVID-19. Selama itu, jutaan jiwa sudah melayang, orang-orang kehilangan pekerjaan, dan tenaga kesehatan kewalahan mengurusi pasien-pasien di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Sementara itu, masih ada sebagian orang yang setengah percaya atau menyangkal keberadaan COVID-19.

Pandemi pun tidak lebih baik dengan adanya misinformasi sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan di Wuhan, China. Di tahun 2021 misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan sekitar 1.735 hoaks, pada periode 23 Januari 2021 hingga 12 Juli 2021 saja, seperti dilansir dari Liputan6.com. Informasi menyesatkan tersebut beredar melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube.

Pandangan masyarakat terhadap COVID-19 dan tersebarnya misinformasi mengenai penyakit ini sangat berpengaruh terhadap situasi di Indonesia saat ini. Data Satgas Penanganan COVID-19 menunjukkan angka kasus baru di Indonesia terus melonjak drastis dalam beberapa pekan hingga Juli 2021. Bahkan, angka penambahan harian kasus baru positif COVID-19 sudah menyentuh angka 56.757 orang pada 15 Juli 2021 lalu. Per 18 Juli 2021 pula, Indonesia menempati peringkat kedua dunia untuk penambahan kasus positif COVID baru, yakni 44.700 kasus.

Karen Douglas, psikolog sosial dari Universitas Kent di Inggris mengatakan ada beberapa motif yang melatarbelakangi kepercayaan kelompok penyangkal COVID-19 ini. Selain motif keamanan, ada juga motif eksistensial dan motif sosial. Pada hakikatnya manusia tak suka berada dalam ketidakberdayaan. Teori konspirasi setidaknya menyediakan akses kendali atas situasi yang tak menentu sehingga manusia tetap eksis di dunia sosial di mana kecenderungan manusia untuk berlomba menjadi yang paling menonjol adalah alamiah belaka.

Penyangkalan terhadap COVID-19 ini bisa berwujud dalam menolak masker atau tetap melakukan pertemuan besar. Hal yang tentunya dapat meningkatkan risiko penyebaran COVID-19 dan berlawanan dengan upaya mengendalikan pandemi.

Berdasarkan kondisi tersebut, Tim Riset Tirto bekerjasama dengan lembaga survei Jakpat untuk merancang survei dengan topik Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19 untuk melihat perspektif masyarakat setelah setahun lebih pandemi. Survei juga bertujuan mengetahui sikap masyarakat terkait vaksinasi dan protokol kesehatan.

Sebagai catatan, Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 803.000 responden. Survei ini dilakukan pada pada 3 Juni 2021 dan melibatkan 1.500 responden berusia 18 tahun hingga 60 tahun.

Baca selengkapnya di artikel "Survei Feminisme: Tolak Label Feminis, tapi Mendukung Isu Perempuan", https://tirto.id/ggLF

Sebagai catatan, Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 889.000 responden. Survei ini dilakukan pada pada 23 Juli hingga 25 Juli 2021 dan melibatkan 1.500 responden berusia 18 tahun hingga 60 tahun.

Metodologi Riset

Jumlah responden: 1.500 responden

Wilayah riset: Indonesia

Periode riset: 23-25 Juli 2021

Instrumen penelitian: Kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform

Jenis sampel: Non probability sampling

Profil Responden

Pada survei ini, sebaran responden bisa dikatakan merata menurut jenis kelamin, dengan responden laki-laki sebanyak 53,8 persen dan responden perempuan sebanyak 46,2 persen. Sementara sebaran umur juga cukup merata, dengan proporsi responden paling banyak berusia 20-25 tahun, sebanyak 25,5 persen.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Untuk daerah asal, mayoritas responden berada di Pulau Jawa. Jumlahnya sebesar 77,6 persen. Sementara terkait profesi, mayoritas responden, sebanyak 39,3 persen, merupakan pegawai swasta. Kemudian diikuti oleh responden berprofesi wiraswasta sebanyak 19,4 persen, dan responden tidak bekerja sebanyak 11,5 persen.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Kemudian, untuk status ekonomi, kebanyakan responden merupakan kelompok kelas menengah ke bawah (pengeluaran Rp1 juta – Rp2 juta per bulan) dan pengeluaran Rp2 juta – Rp3 juta per bulan.

Pandangan Terkait COVID-19

Ketika ditanya mengenai pendapat mereka terkait COVID-19, sebagian besar responden (73,1 persen) menjawab percaya COVID-19 itu nyata dan bisa menyebabkan gejala parah hingga kematian. Namun, ada pula sebagian yang percaya COVID-19 nyata, namun tidak meyakini bahwa penyakit ini bisa menyebabkan gejala parah, atau bahkan kematian. Jumlahnya cukup besar, yakni 24,4 persen. Sementara yang tidak percaya COVID itu nyata ada 2,5 persen responden.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Kemudian, mereka yang bersikap skeptis terhadap COVID, yakni menganggap COVID tidak akan menimbulkan gejala berat hingga kematian, didominasi oleh usia produktif 20 hingga 35 tahun, jumlahnya hingga 74,0 persen. Begitu pula yang tidak percaya COVID juga kebanyakan dari responden dengan rentang usia 20-35 tahun (64,9 persen).

Perlu dicatat, memang responden sendiri didominasi oleh mereka yang berusia produktif, namun persentase dalam temuan ini terbilang cukup besar.

Hal ini kontras dengan data dari Satgas Penanganan COVID-19 yang menunjukkan bahwa jumlah kematian karena COVID-19 di Indonesia sudah berjumlah 95.723 orang per 1 Agustus 2021. Lalu, seperti dilansir dari situs kesehatan Alodokter, meskipun gejala awal infeksi virus Corona memang menyerupai gejala flu, yaitu demam, pilek, batuk kering, sakit kepala, dan sakit tenggorokan, namun sebagian pasien COVID-19 bisa mengalami gejala berat berupa sesak napas.

Kebanyakan alasan responden tidak percaya COVID-19 atau percaya COVID-19 namun menganggap gejalanya tak parah adalah mereka menganggap COVID-19 sebagai flu biasa yang dilebih-lebihkan oleh media dan tenaga kesehatan. Sebanyak 43,7 persen responden mengamini pilihan ini. Lagi-lagi, kelompok usia produktif 20 hingga 35 tahun paling banyak menjawab pilihan ini, hingga 72,7 persen responden.

Di jawaban responden yang termasuk pada kelompok "lainnya", ada pula yang menjawab bahwa COVID sebetulnya tidak parah, namun akan berbahaya jika punya penyakit bawaan/komorbid.

Hasil temuan survei Tirto dapat dikatakan mirip dengan hasil survei nasional yang dilaksanakan oleh Indikator pada 1-3 Februari 2021. Ketika ditanya mengenai seberapa mengancam virus penyebab COVID-19 terhadap kesehatan pribadi, 15,0 persen responden dari survei Indikator menjawab tidak banyak dan 0,9 persen menjawab tidak sama sekali. Untuk ancaman terhadap kesehatan warga negara Indonesia secara umum, 6,0 persen orang juga menjawab tidak ada sama sekali.

Seperti temuan survei Tirto, survei Indikator juga menemukan bahwa ada 6,2 persen responden yang masih sangat setuju terhadap pernyataan yang berbunyi 'Otoritas kesehatan masyarakat melebih-lebihkan bahaya Covid-19', dan ada 36,7 persen responden yang agak setuju terhadap pernyataan ini. Ada pula 18,5 persen responden survei Indikator yang menjawab agak setuju bahwa virus Corona mungkin hanya sekedar hoaks.

Selanjutnya, terkait pertanyaan “Apakah memiliki keluarga/relasi yang pernah terinfeksi COVID-19?”, jawaban pertanyaan ini hampir berimbang, yakni 59,1 persen pernah memiliki keluarga/relasi yang terinfeksi, dan 40,9 persen tidak memiliki keluarga atau relasi yang terinfeksi.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Kami melakukan analisis tabulasi silang untuk mengetahui bagaimana pandangan responden setelah keluarga/relasi mereka terinfeksi COVID. Mayoritas responden, yakni 59 persen, memang menjawab hal tersebut tak mengubah pandangan awal mereka terkait COVID. Sejak awal, mereka percaya bahwa COVID itu nyata dan dapat menyebabkan gejala parah/kematian.

Namun, ada pula yang tetap pada keyakinannya, sebanyak 15,1 persen, bahwa COVID-19 itu nyata namun tidak menimbulkan gejala parah/kematian. Sebanyak 18,6 persen responden mengaku bahwa setelah keluarga/relasi terinfeksi virus Corona, hal tersebut membuat mereka percaya COVID-19 itu ada dan dapat mengakibatkan gejala parah/kematian.

Sumber Informasi Terkait COVID-19

Ketika ditanya soal sumber informasi utama terkait COVID-19, sebanyak 39,9 persen responden survei Tirto menyebut media sosial (Facebook, Twitter, dan sebagainya). Selanjutnya, ada 28,7 persen responden yang mendapat informasi dari media cetak/elektronik dan sekitar 19,5 persen mendapat informasi dari situs/pernyataan resmi pemerintah.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Jika dibandingkan dengan survei Indikator, berita di televisi menduduki peringkat teratas sebagai sumber informasi (79,2 persen responden), disusul oleh WhatsApp di posisi kedua, sebesar 47,1 persen.

Hal ini menarik sebab di survei Tirto, media sosial ternyata dianggap lebih berpengaruh dari sumber resmi seperti situs pemerintah. Data dari perusahaan media Inggris We Are Social dan Hootsuite bertajuk "Digital 2021: Indonesia", menunjukkan bahwa ada 170 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2021. Padahal, seperti yang dikutip di penelitian yang dimuat di Bulletin of the World Health Organization mengenai misinformasi terkait COVID-19 di media sosial, studi-studi di fase awal pandemi menemukan bahwa 0,2 persen hingga 28,8 persen unggahan di media sosial soal COVID-19 bisa diklasifikasikan sebagai misinformasi.

Meski begitu, responden di riset Tirto mengaku selalu memeriksa ulang informasi yang mereka terima (93,5 persen). Mereka yang memeriksa ulang informasi tersebut pun memeriksanya lewat media cetak/elektronik, misalnya dari kanal cek fakta. Sebanyak 59,6 persen responden menjawab pilihan ini. Sementara itu, 54,3 persen responden juga mengecek informasi dari situs resmi pemerintah.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Namun, tak hanya sumber informasi yang menjadi masalah. Ketika ditanya mengenai keluhan mengenai informasi yang beredar selama pandemi, mayoritas responden, yaitu 80,5 persen, menjawab bahwa informasi yang beredar simpang siur/kontradiktif satu sama lain. Yang perlu menjadi perhatian pula adalah, sebanyak 37,8 persen responden menganggap data yang dipublikasikan di media sulit untuk dimengerti.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Sementara itu, tim riset Tirto juga menanyakan pada dosen cum peneliti media digital dan misinformasi di Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Unpad, Detta Rahmawan, soal korelasi antara sumber informasi yang diperoleh dari media sosial terhadap ketidakpercayaan masyarakat terhadap COVID.

Menurut Detta, masalah utama dari media sosial sebagai sumber pengetahuan soal COVID-19 adalah soal ketercukupan informasi.

"Karena responden lebih familiar dengan media sosial, informasi yang mereka dapat terbatas dan tidak utuh, juga dibumbui opini, ditambahkan pengalaman pribadi, dan sebagainya," jelas Detta pada Tirto secara daring (31/7/2021).

Detta juga menjelaskan, orang-orang yang literasinya cukup tinggi misalnya bisa memisahkan berapa banyak konsumsi informasi mereka dan informasi macam apa yang harus dikonsumsi. "Ini semacam information diet. Nah, rata-rata orang-orang Indonesia kan nggak punya literasi ke situ, jadi kalau misal tiap hari dapat informasi yang tidak dikemas secara lengkap, tapi dibumbui dengan opini yang belum tentu benar."

Oleh karena itu, kita belum bisa menyimpulkan bahwa orang tidak percaya COVID karena sumber informasinya dari media sosial, jelas Detta. Namun, menurutnya, media sosial sendiri hanya perantara untuk membaca artikel lain yang lebih panjang di situs-situs tertentu.

Tim riset Tirto juga menanyakan pada dosen Unpad ini mengenai korelasi antara akses informasi masyarakat dengan komunikasi publik pemerintah.

"Salah satunya kan memang ketidak konsistenan komunikasi publik pemerintah, tapi di sisi lain juga ada kelemahan soal trust. Jadi ketidakkonsistenan menyebabkan trust terhadap pemerintah juga turun," kata Detta.

Kemudian, menurutnya, masyarakat sudah satu setengah tahun mencerna informasi baru yang sebelumnya tidak ada. "Ketika survei ini dilakukan di tiga atau enam bulan pertama, hasilnya juga pasti beda. Jadi ketika satu setengah tahun, pandangan masyarakat seperti ini, berarti komunikasi pemerintah juga tidak ajeg," katanya.

Pandangan Soal Vaksin dan Gaya Hidup

Pemerintah sendiri saat ini terus berupaya menggenjot vaksinasi. Teranyar, pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksinasi gratis tanpa harus syarat domisili, cukup menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja. Hal ini merespons keluhan publik soal penerima vaksin harus sesuai domisili di KTP.

Meski begitu, pemerintah masih berkejaran dengan naiknya jumlah kasus COVID-19 di Indonesia. Menurut data Satgas Penanganan COVID-19 per 1 Agustus 2021, sudah ada 47,4 juta orang yang telah menerima vaksinasi dosis pertama dan 20,6 juta orang yang telah menerima kedua dosis vaksin. Angka ini masih jauh dari target vaksinasi pemerintah sebanyak 208,2 juta orang.

Namun, penggenjotan vaksinasi ini juga bukan tanpa tantangan dari masyarakat. Tim risetTirto menanyakan keinginan responden untuk divaksin, berdasarkan informasi yang mereka terima terkait vaksinasi. Sebanyak 82,6 persen menjawab ingin/telah divaksin. Namun, ada 17,4 persen yang menjawab tidak ingin divaksin.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Tim Tirto juga melihat responden yang tidak ingin divaksin ini dari segi umur, namun dengan mengeliminasi alasan tidak bisa vaksin karena komorbid atau sedang hamil/menyusui. Kami mendapati kelompok umur 30-35 tahun banyak yang tidak ingin vaksin (27,9 persen), diikuti 26,3 persen kelompok umur 26-29 tahun, dan usia 20-25 tahun sebanyak 22,7 persen.

Kebanyakan responden menyebut alasan vaksin berdampak negatif terhadap kesehatan (28,4 persen). Ada pula 26,8 persen orang yang menjawab ada banyak cara lain untuk menyembuhkan COVID-19, misalnya terapi uap atau membersihkan hidung dengan larutan garam, yang merupakan beberapa jenis misinformasi. Alasan lain yang disebutkan adalah vaksin hanya akal-akalan perusahaan farmasi untuk mendapatkan keuntungan dan tidak berguna untuk menghadapi virus penyebab COVID-19.

Hasil temuan ini juga mirip dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang baru saja dilakukan pada 20-25 Juni 2021. Survei LSI menemukan hanya 63,6 persen responden yang bersedia divaksin, sementara 36,4 persen enggan divaksin.

Berdasarkan survei LSI, alasan penolakan atas vaksin pun beragam. Mirip dengan temuan Tirto, alasan dengan proporsi jawaban tertinggi adalah responden merasa vaksin tidak aman (55,5 persen). Selanjutnya, vaksin dinilai tidak efektif (25,4 persen) dan responden merasa tidak membutuhkan atau merasa sehat (19 persen).

Tim Tirto juga meminta pendapat Detta mengenai hal ini. Apakah keengganan publik untuk mendapatkan vaksinasi ada hubungannya dengan misinformasi tentang vaksin yang bertebaran di media sosial?

"Jika dihubungkan dengan misinformasi, dari survei yang pernah saya buat, ada temuan soal pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir logis. Nah, yang bisa jawab tentang berpikir logis itu dikit banget. Ini kan nyambung dengan survei PISA, yang mana banyak orang bisa membaca tapi nggak bisa menganalisis," katanya.

Menurut Detta pula, ada banyak faktor yang membuat orang skeptis terhadap vaksin. Dari awal pandemi, COVID-19 dikaitkan dengan sentimen anti-Tiongkok, soal kepercayaan terhadap pemerintah, nasionalisme yang semu, misalnya kemungkinan Indonesia tak bakal kena COVID, juga toxic positivity, misalnya bersantai saja agar imun tetap kuat. Sebagai informasi, merk vaksin yang banyak digunakan di Indonesia adalah buatan perusahaan Tiongkok, Sinovac.

Selanjutnya, untuk pertanyaan apakah responden memakai masker ketika keluar rumah, mayoritas menjawab iya. Baik itu masker dobel atau KN95/N95, masker medis, atau masker kain. Hanya sebagian kecil yang tidak mengenakan masker ketika keluar rumah, yakni 0,9 persen.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Namun, perlu diingat bahwa saat ini Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat CDC menganjurkan penggunaan masker dobel untuk meningkatkan perlindungan terhadap virus penyebab COVID-19. Pemerintah pun telah menganjurkan penggunaan masker dobel, terutama terkait dengan virus penyebab COVID-19 varian Delta yang lebih menular. Terkait hal ini, baru 45,9 persen orang yang menyanggupi anjuran ini.

Menariknya, kami juga mengombinasikan beberapa jawaban dari mereka yang tidak mengenakan masker di luar rumah ini. Kami menemukan 78,5 persen yang tidak mengenakan masker percaya bahwa COVID-19 nyata, namun tidak akan menimbulkan gejala berat/kematian. Lalu, sebanyak 92,8 persen juga tidak ingin divaksin.

Kami juga menanyakan seberapa sering responden keluar rumah selama pandemi, terutama di periode Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Jawaban responden cukup beragam untuk hal ini. Hanya 46,2 persen yang tidak keluar rumah sama sekali atau keluar sekali saja dalam seminggu. Sisanya sebanyak 27,3 persen keluar rumah lebih dari empat kali seminggu dan sebanyak 26,5 persen keluar sebanyak dua hingga empat kali seminggu.

Alasan utama orang untuk keluar rumah pun adalah pekerjaan, 77,6 persen. Kemudian sebanyak 47,7 persen menjawab membeli makanan/minuman, dan sebanyak 47,1 persen karena belanja bulanan.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Memang, salah satu tantangan pandemi saat ini adalah memastikan keselamatan dan kesehatan pekerja yang mesti bekerja dari luar rumah. Sejak awal Juli 2021 lalu, pemerintah melaksanakan PPKM Darurat di pulau Jawa dan Bali guna menekan penyebaran kasus COVID-19. Salah satu ketentuannya, mewajibkan WFH 100 persen bagi industri non-esensial. Namun, bagi pekerja garmen, tekstil, sepatu, dan kulit, misalnya, banyak yang harus tetap bekerja seperti biasa.

Sementara itu, terkait perubahan gaya hidup karena COVID-19, sebanyak 71,7 persen responden mengaku kini rajin mengonsumsi suplemen. Selain itu, sebanyak 65,5 persen responden menyatakan selalu membawa hand sanitizer, dan 59,3 persen jadi rajin mengonsumsi buah dan sayur.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Kinerja Pemerintah selama Pandemi

Sebetulnya, penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi tak buruk-buruk amat. Sebanyak 43,7 persen sangat yakin untuk mengikuti arahan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan kasus COVID-19. Kemudian, 33,5 persen menjawab yakin. Setidaknya sebagian besar responden masih akan berpedoman pada arahan pemerintah.

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Lebih dari setengah responden survei menilai cara pemerintah menangani pandemi masih relatif baik. Penanganan pandemi pemerintah dinilai cukup baik oleh 39,5 persen responden, dinilai baik oleh 20,9 persen responden, dan sangat baik oleh 12,3 persen responden. Alasan utama penilaian positif ini di antaranya adalah usaha pemerintah dalam mendatangkan jutaan dosis vaksin (75,6 persen).

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Sementara itu, ada pula responden yang menganggap penanganan pandemi buruk, dengan alasan pemerintah menyepelekan COVID-19 di awal pandemi (66,4 persen), fasilitas kesehatan yang kolaps dan banyak korban meninggal (62,0 persen), dan kebijakan yang mengutamakan ekonomi dinilai berkontribusi terhadap lonjakan kasus (61,8 persen).

Infografik Riset Mandiri COVID-19

Infografik Riset Mandiri Pandangan Masyarakat Terhadap COVID-19. tirto.id/Quita

Memang terjadi kenaikan kasus COVID-19 sangat signifikan dari Juni 2021 hingga pertengahan Juli 2021, hingga puluhan ribu kasus per hari. Masalah-masalah yang terjadi pada saat itu di antaranya adalah rumah sakit yang dikabarkan penuh, banyak pasien yang tidak tertolong karena terlambat mendapatkan perawatan, antri oksigen dimana-mana, banyak pasien yang meninggal saat isolasi mandiri, dan krisis oksigen yang terjadi di RSUP Sardjito, Yogyakarta.

Namun, pemerintah seperti enggan mengakui bahwa fasilitas kesehatan kolaps dan malah menggunakan istilah 'over kapasitas'. Pemerintah juga enggan meminta maaf ketika kasus sedang memuncak. Baru belakangan saja permintaan maaf dilakukan oleh sejumlah menteri Presiden Joko Widodo.

Baca juga artikel terkait RISET MANDIRI atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty