tirto.id - Elemen masyarakat independen dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan untuk memberikan pandangan hukum, khususnya dalam bidang perpajakan, terhadap kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Perwakilan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan, Suhandi Cahaya, mengatakan bahwa pihaknya menilai dalam kasus dugaan korupsi impor gula di lingkungan Kementerian Perdagangan yang menjerat Tom Lembong, sarat dengan kejanggalan.
Dia mengatakan, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Tom Lembong disebut melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus pemberian persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) kepada perusahaan gula pada tahun 2015/2016, atau hampir 10 tahun yang lalu. Dalam peraturan perpajakan, katanya, tempus delicti ini sudah kedaluwarsa, dan tidak bisa menjadi sengketa pajak.
Pria yang juga ahli hukum pidana itu juga menilai, Tom Lembong didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan tanpa mendapatkan keuntungan dari perkara tersebut merupakan peristiwa yang tidak lazim.
"Kasus korupsi yang disangkakan kepada Tom Lembong termasuk unik karena Tom Lembong didakwa melakukan tindak pidana korupsi tanpa memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri, baik materi maupun non-materi. Hal ini sangat tidak lazim karena pelaku korupsi umumnya menuntut imbalan untuk keuntungan pribadi," kata Suhandi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
Ia mengklaim, dakwaan yang melakukan tindak pidana menguntungkan pihak lain tanpa mendapat imbalan keuntungan pribadi bertentangan dengan motif korupsi secara umum. Ia menyebut, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Tom Lembong menerima keuntungan maupun dijanjikan diberi hadiah baik materi maupun non-materi dari pihak ketiga, yaitu PT PPI, Induk Koperasi, atau perusahaan gula. Oleh karen aitu, Suhandi yakin motif Tom memberikan persetujuan impor gula kristal merah terkait tugas di Kementerian Perdagangan RI dan demi kepentingan publik.
Suhandi juga mempertanyakan soal proses penahanan oleh Kejaksaan Agung terhadap Tom Lembong. Menurutnya, Tom Lembong ditahan atas dugaan menyebabkan kerugian negara dalam kasus ini. Ia mengingatkan, penanganan perkara harus ada minimal 2 alat bukti sementara fakta persidangan mengindikasikan Jaksa belum memiliki bukti kerugian keuangan negara pada saat menahan Tom Lembong 29 Oktober 2024. Ia beralasan, hasil audit investigasi penghitungan kerugian keuangan negara dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) baru selesai dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 20 Januari 2025.
Suhandi juga menyoroti soal kerugian negara yang didakwakan kepada Tom Lembong berdasarkan dengan hasil audit dari BPKP. Ia mengingatkan, terdapat dua komponen yang masuk sebagai kerugian negara, yaitu kemahalan harga dan komponen kurang bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terdiri dari PPh Impor dan PPN Impor. Suhandi menekankan, kemahalan harga lazimnya terkait karena adanya mark-up. Menurutnya, dalam kasus Tom Lembong ini tidak logis terdapat kemahalan harga karena tidak adanya pembagian keuntungan dari selisih harga.
"Artinya para pihak yang bertransaksi patut diyakini telah merasa puas dengan harga transaksi yang terjadi," ujarnya.
Dia juga menyebut, transaksi jual-beli gula yang disepakati oleh PT PPI dan perusahaan gula swasta tidak ada hubungannya dengan Tom Lembong, selamat tidak ada aliran baik secara materi maupun non-materi. Mengacu pada pendapat BPKP, harga patokan petani (HPP) atau harga dasar untuk gula kristal putih merupakan harga maksimum yang mengikat bagi semua pihak yang melakukan transaksi jual-beli gula. Oleh karena itu, BPKP menganggap bahwa harga beli gula sebesar Rp9.000 per kg dari perusahaan gula menjadi kemahalan, karena di atas harga dasar gula (HPP) sebesar Rp8.900 per kg. Menurut Suhandi, fakta persidangan malah bertolak belakang dengan pendapat BPKP.
"Fakta persidangan membuktikan sebaliknya, bahwa HPP bukan merupakan harga maksimum. Hal ini terbukti dari harga pembelian gula kristal putih dari petani yang dilakukan oleh perusahaan gula tebu, termasuk BUMN (PTPN dan PT RNI), faktanya jauh lebih tinggi dari HPP. Transaksi ini tidak dianggap kemahalan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara," katanya.
Oleh karena itu, dia mengatakan pernyataan BPKP bahwa selisih harga merupakan komponen kerugian keuangan negara tidak memiliki dasar hukum, sehingga tidak valid. Ia terkejut komponen kerugian negara dalam kasus ini adalah kurang bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang didakwakan kepada Tom Lembong.
"Pernyataan BPKP ini sangat meresahkan bagi wajib pajak. BPKP telah menciptakan ketidakpastian hukum dalam bidang perpajakan," ujarnya.
Menurutnya, tidak ada peraturan perpajakan yang dapat membenarkan pernyataan BPKP, bahwa kurang bayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor masuk komponen kerugian keuangan negara dan tindak pidana korupsi.
"Pernyataan BPKP ini sangat berbahaya bagi stabilitas nasional. Karena, mengikuti logika BPKP, semua perusahaan menghadapi risiko menjadi terdakwa tindak pidana korupsi, karena setiap saat dapat dituduh kurang bayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor, yang masuk komponen merugikan keuangan negara," pungkasnya.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































