Menuju konten utama
Mozaik

Laporan dari Cicalengka, Geliat Literasi di Timur Kota Bandung

Kisah tentang komunitas di Cicalengka, kecamatan di pinggiran Kota Bandung, membangun dan menghidupkan jejaring literasi di tengah denyut kehidupan sosial.

Laporan dari Cicalengka, Geliat Literasi di Timur Kota Bandung
Header Mozaik Geliat Literasi di Cicalengka. tirto.id/Tino

tirto.id - Sejak munculnya berbagai komunitas seni dan taman baca, aktivitas literasi di Cicalengka seolah tak pernah berhenti. Denyut nadi literasi di kawasan pinggiran kota Bandung itu terus menampilkan beragam kegiatan yang diminati oleh hampir semua kalangan. Salah satu kegiatan yang sering bergulir, yakni diskusi buku rutinan, juga kelas menggambar untuk anak-anak.

Geliat literasi di Cicalengka setidaknya bisa dilacak dari tahun 1915. Surat kabar Kaoem Moeda edisi 30 Maret 1915, misalnya, melaporkan kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan membaca dan menulis.

Tidak disebutkan kapan perkumpulan ini lahir. Koran yang dipimpin oleh Abdoel Moeis tersebut hanya mengabarkan berlangsungnya aktivitas perkumpulan membaca dan menulis pada Jum’at, 19 Maret 1915 di kediaman presiden perkumpulan.

Novel berbahasa Sunda Baruang kanu Ngarora karya DK Ardiwinata menjadi buku pilihan untuk dibahas. Gagasan ini muncul dari ketua perkumpulan karena menurutnya novel itu mengandung muatan yang berfaedah dalam urusan berumah tangga.

Selain soal buku, perkumpulan ini juga menyoroti berbagai masalah sosial. Kala itu, banyak buruh kereta api yang terlilit utang rentenir. Satu-satunya dedikasi yang bisa diberikan, yakni urun dana untuk menolong mereka dari jeratan lintah darat.

Dalam pernyataannya, ketua perkumpulan mengajak kepada forum supaya dapat menyisihkan uangnya untuk menolong para pekerja itu.

“Sekarang atoerannja begini: oeang itoelah dipindjamkan kepada pegawai koeli SS (Staatspoorwegen) Tjitjalengka semoea, tidak boleh dipindjamkan kepada orang loearan dari pegawai SS dengan mengambil boenga 5 persen tiap boelan” ujarnya sebagaimana tercatat dalam Kaoem Moeda 30 Maret 1915.

Soal rentenir memang menjadi isu yang sangat krusial. Para pengurus perkumpulan saling melontarkan pendapat, bahkan diperkuat oleh dalil dan fatwa-fatwa dari para ulama. Yang menjadi masalah adalah perbedaan pendapat mengenai keuntungan 5 persen dari uang yang dipinjamkan.

Bagi sang ketua, meraih keuntungan dari hasil pinjaman sama saja mempraktikkan perbuatan yang dilarang Islam. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa memperoleh keuntungan 5 persen dari hasil pinjaman masih dapat diterima, asal tidak mengambil lebih dari 20 persen.

Terlepas dari perdebatan tersebut, buku Baruang Kanu Ngarora yang semula menjadi bahan diskusi akhirnya tidak banyak disoroti. Meski ditayangkan bersambung oleh Kaoem Moeda sampai edisi April 1915, tidak ada laporan lanjutan seperti apa buku itu dibahas.

Membaca Puisi 12 Jam

Tahun 1997 geliat literasi di Cicalengka kembali tampak ke khalayak. Ini bermula saat Bob Ujo bersama 15 kawannya di SMA Negeri 1 Cicalengka membentuk Perhimpunan Pecinta Alam dan Penempuh Rimba Igrex’s.

Bob tidak mempunyai latar belakang akademik yang menonjol. Ketertarikan terhadap buku menjadi modal utama dan kebetulan, hal itu dirasakan pula oleh 15 orang siswa yang membentuk Igrex’s.

Menurut Bob, Igrex’s tidak saja melakukan penjelajahan ke gunung. Observasi dan pendataan menjadi bagian terpenting sebelum mendaki, “bahkan merupakan syarat wajib yang didorong dalam program pengembaraan” ujar Bob.

Berangkat dari sini, anak-anak Igrex’s kemudian termotivasi untuk selalu mencari sendiri. Pencarian ini lalu diwujudkan pada penelusuran asal-usul suatu kampung dengan data tambahan yang diperoleh dari sejumlah perpustakaan di Kota Bandung.

“Singkatnya, kami di sini berhasil mempelajari cara menulis yang baik, termasuk juga memahami metode penelitian. Dari situ pemahaman kami terus berkembang, buku apa pun kami baca, sampai kami sering mendapat donasi buku dari luar kota”, ungkap Bob.

Zaman berubah, iklim literasi di Cicalengka semakin menemukan peminatnya. Apa yang telah diusung Igrex’s sebelumnya ternyata turut memengaruhi sekelompok orang untuk membentuk komunitas seni dan musik. Komunitas Kendan, di antaranya, yang berdiri tahun 2000.

Warsa 2001, komunitas Kendan membuat pertunjukan monolog teater di Pendopo Cicalengka. Untuk memasuki pagelaran ini, para pengunjung tidak dikenakan biaya sepeser pun, tetapi syaratnya mesti membawa satu eksemplar buku sebagai pengganti tiket masuk.

Tidak terbilang jumlahnya, di sudut ruangan pendopo, Bob dkk. menampung banyak buku hasil donasi dan pengganti tiket. Tercetuslah ide untuk membuat ruang publik yang terletak di Jalan Dewi Sartika.

“Di situ ada studio musik, ada tempat baca, ada tempat diskusi yang mewadahi anak-anak lingkungan, seni dan musik underground,” tutur Bob.

Pada tahun 2002 sejumlah seniman, fotografer, musisi, dan para pegiat lingkungan mengadakan acara gabungan bertajuk “Membaca Puisi 12 jam”. Gagasan ini mula-mula keluar dari Bob secara improvisasi. “Tanpa direncanakan sebelumnya,” kata Bob, “Karena muncul dari keinginan pribadi,” lanjutnya.

Acara digelar di pelataran Terminal Cicalengka. Antusiasme dari berbagai pihak terus berdatangan untuk menyokong jalannya acara. Bukan hanya hadir memenuhi tempat, mereka juga ikut terlibat urun dana bahkan turut membantu mendekorasi panggung. Alhasil sederet media lokal seperti harian Pikiran Rakyat ikut mendokumentasikan kegiatan itu, terutama detik-detik saat Bob membacakan puisi selama 12 jam.

Dari kegiatan itu Bob Ujo bersama beberapa orang lainnya seolah mendapat modal tambahan untuk membuat produk literasi yang lebih konkret.

Bersama Dadan, Moses, dan Atep Kurnia, Bob lalu menerbitkan majalah bulanan bernama Bilik berkat arahan Septiawan K Santana yang kini menjadi Guru Besar di Universitas Islam Bandung. Sayangnya, majalah tersebut hanya mampu terbit dua edisi, dengan oplah 500 sampai 1000 eksemplar.

Infografik Mozaik Geliat Literasi di Cicalengka

Infografik Mozaik Geliat Literasi di Cicalengka. tirto.id/Tino

Generasi Baru, Nuansa Baru

Sempat terhenti beberapa tahun, geliat literasi di Cicalengka tumbuh kembali pada tahun 2013. Hal ini ditandai dengan kemunculan Taman Baca Masyarakat (TBM) dan perpustakaan jalanan.

Sebagai koordinator Lingkar Literasi Cicalengka, Nurul Maria Sisilia menuturkan bahwa hadirnya TBM di Cicalengka pada tahun 2013 diawali dengan lahirnya TBM Kali Atas oleh Agus Sopandi. Setelah itu lahir TBM Pelita Hati dan TBM Baitul Hikmah tahun 2014.

Lalu pada tahun 2017 di Desa Nagrog berdiri Komunitas Pohaci. Bersamaan dengan itu muncul juga perpustakaan jalanan bernama Senjakala Pustaka. Disusul oleh TBM Sudut Kampung dan TBM Cikahuripan yang dikelola Teten Nurodin.

Untuk mewadahi semua TBM yang aktif, Agus Sopandi lalu mengusung agar dibentuk suatu forum untuk kegiatan bersama. Maka pada tanggal 29 April 2017, lahirlah Lingkar Literasi Cicalengka (LLC) berdasarkan deklarasi TBM-TBM yang ada di tahun itu dengan Agus Sopandi sebagai koordinator.

Sejak tahun 2021, nakhoda LLC berpindah pada Nurul Maria Sisilia. Di tangan Nurul aktivitas literasi di Cicalengka terus menghadirkan program secara rutin dan ada juga yang tematik.

Salah satu acara besar yang terselenggara, yakni Festival Buku Pasar Biru pada bulan Juni 2022. Selain itu, LLC juga mendata dan menghimpun TBM-TBM yang baru berdiri, sekaligus membentuk Tjitjalengka Historical Trip sebagai komunitas walking tour pertama di Cicalengka yang lahir pada medio tahun 2023.

Hingga kini terdapat 9 TBM yang masih aktif. Menurut Nurul, jumlah tersebut belum ditambah dengan TBM dan perpustakaan jalanan yang telah berdiri namun tidak lagi beroperasi. Sebut saja antara lain, TBM Kali Atas, Komunitas Pohaci, TBM Cikahuripan, TBM Bumi Kapungkur, TBM Bahera, TBM Pelita Hati, Kedai Kopi Nugenah, Perpustakaan Desa Margaasih, TBM Baitul Hikmah, Senjakala Pustaka, TBM Sudut Kampung, serta Perpustakaan Renaissans.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Hafidz Azhar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hafidz Azhar
Penulis: Hafidz Azhar
Editor: Irfan Teguh Pribadi