tirto.id - "Suriname, negeri yang terletak di ujung tenggara Karibia, adalah rumah bagi masyarakat multietnis, multibahasa, yang berasal dari Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika," tulis Aonghas St-Hilaire dalam "Ethnicity, Assimilation, and Nation in Plural Suriname" (Ethnic and Racial Studies, 2001).
Berpenduduk sekitar 500.000 jiwa, tidak ada etnis dominan di negeri penutur bahasa Belanda ini. Dari jumlah tersebut, 95 persen terbagi hampir merata dalam tubuh etnis Creole, India Timur, Jawa, dan Maroon. Etnis-etnis yang menjadi penghuni Suriname akibat penjajahan.
Dimulai dengan pendirian perkebunan di Suriname oleh Inggris pada tahun 1651, budak asal Karibia dan Afrika diimpor untuk menjadi pekerja paksa dan perlahan menjadi nenek moyang etnis Creole. Mereka membanjiri Paramaribo, ibu kota Suriname, setelah perbudakan dihapus pada 1877.
Karena perbudakan dihapus, Belanda lantas mengimpor 34.000 pekerja asal India Timur sejak tahun tersebut hingga 1916 untuk mengurus pelbagai perkebunan mereka. Rentang waktu ini cukup pendek bagi Belanda karena mulai dekade kedua abad ke-20 Inggris melarang masyarakat yang dikuasainya, India, diambil Belanda.
Maka sejak awal hingga pertengahan abad ke-20, 33.000 penduduk asal Jawa, wilayah yang dikuasai Belanda, diimpor ke Suriname--8.400 di antaranya pulang ke kampung halaman setelah kontrak berakhir.
Di sisi lain, 7.000 jiwa etnis Maroon datang ke Suriname untuk membebaskan diri dari perbudakan di kampung halaman. Kemudian disusul etnis-etnis lain dari pelbagai penjuru dunia yang mengisi 5 persen yang tersisa dari keberagaman etnis di Suriname.
"Hampir tidak ada persatuan dan kesatuan di Suriname, paling tidak hingga tahun 1945," tulis St-Hilaire.
Tiap-tiap etnis yang hidup di Suriname hanya mau bertutur dengan bahasanya sendiri, yakni Creole dengan "Sranan", India Timur dengan "bahasa India", Jawa dengan "bahasa Jawa", dan Maroon dengan "Saramaka", "Matawai", "Kwinti", atau "Ndujka", sesuai dengan kampung halaman mereka di Afrika.
Ini terjadi karena Belanda memang tak menginginkan persatuan terjadi.
"Belanda mendorong adanya pembeda antara mereka sendiri serta masing-masing etnis yang ada di Suriname," imbuh St-Hilaire.
Belanda juga selalu berupaya untuk memisahkan tempat tinggal mereka. Jika Creole tinggal di Paramaribo, misalnya, maka Jawa diusahakan tinggal di daerah perdesaan, terutama yang dekat dengan perkebunan tempat mereka bekerja. Hingga tahun 1964, hanya 7 persen penduduk asal Jawa yang tinggal di Paramaribo.
Merujuk penuturan St-Hilaire dalam studinya, usaha-usaha Belanda melarang asimilasi atau peleburan antaretnis di Suriname terjadi karena mereka tidak mau ada pertarungan kelas.
Tinggal duluan di Suriname, Creole di zaman penjajahan merasa menjadi warga nomor 2--dengan warga Belanda atau Barat sebagai warga nomor 1--hingga merasa lebih unggul dibandingkan etnis-etnis lain.
Namun, merujuk penuturan Stephen Sneilders dalam "Leprosy and the Colonial Gaze" (Social History of Medicine, 2019), pencegahan asimilasi dilakukan karena Belanda takut leprosy atau kusta menyebar di antara mereka.
Pertama kali menyebar pada akhir abad ke-18, "kusta merupakan 'imperial danger' penjajah di seluruh penjuru dunia," tulis Sneilders.
Sebagai penyakit yang saat ini sebetulnya tak terlalu sukar diatasi, kusta di zaman tersebut sangat merusak, bahkan dapat menghilangkan nyawa. Ini tentu bisa menghancurkan perekonomian Suriname jika kusta menjangkiti para pekerja perkebunan milik Barat.
Karena tak memiliki akses kesehatan yang baik, kusta saat itu menyebar di kalangan bawah stuktur sosial Suriname, yakni para pekerja paksa beretnis non-kulit putih.
Sialnya, alih-alih berupaya mengobati pekerja perkebunan, Belanda menganggap kusta sebagai penyakit khas buruh paksa.
Mereka mengklaim bahwa hal tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh ilmuwan Jerman bernama Godfried Wilhelm Schiling, yakni kusta disebabkan oleh zat khusus atau racun tertentu yang dibawa oleh para budak dari Afrika ke Amerika.
Schiling sesumbar bahwa zat khusus tersebut terkait erat dengan laku hidup masyarakat non-Barat yang tak sebersih Barat.
Lebih lanjut, dalam "Description of Elephantiasis and Leprosy, Prevalent in the Colony Suriname" (1835) yang ditulis ilmuan Belanda bernama Andries van Hasselaar, Barat lagi-lagi jemawa.
"Non-Barat merupakan orang-orang pemalas, bergaya hidup jorok, serta kebersihan pribadi dan pola makan yang tidak baik. Mereka lazim mengkonsumsi 'treef' (hewan tabu dimakan) yang menggiring kemunculan pelbagai penyakit, termasuk kusta," tulis van Hasselaar.
Akibatnya, pikir Schiling dan van Hasselaar, cara terampuh mengatasi kusta adalah dengan memisahkan etnis-etnis yang ada di negara-negara koloni.
Belanda manut dengan paham ini lalu melahirkan beberapa kebijakan yang mendukung pemisahan etnis di Suriname. Misalnya, pada 1828, Pemerintah Kolonial Belanda tak membolehkan kawin campur antaretnis. Sebuah usaha untuk membendung kusta merajalela di Suriname.
Akibatnya, sebelum tahun 1945, Suriname merupakan negeri yang hidup dengan pondasi-pondasi berbeda. Creole, India Timur, Jawa, dan Maroon hidup masing-masing tanpa persatuan.
"Hampir semua orang Jawa menjalani kehidupan seperti yang mereka kenal di Jawa, dengan kemampuan terbaik mereka. Banyak yang tinggal di desa-desa yang seluruhnya Jawa, seperti Tamaredjo, Poerwodadi dan Sidoredjo di Distrik Commewijne. Orang Jawa Suriname secara historis merasa seperti orang asing di negeri asing," tutur St-Hilaire memberi contoh.
Editor: Irfan Teguh Pribadi