tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat berencana memperluas wilayah larangan sepeda motor melintas. Jika sebelumnya pelarangan dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia hingga Jalan Medan Merdeka Barat, DKI malah ingin memperluas uji coba larangan melintas hingga ke Bundaran Senayan.
Rencana perluasan pelarangan ini menuai kontra. Petisi di laman Change.org yang menyerukan penolakan larangan sepeda motor melintas sudah ditandatangani lebih dari 8.000 orang.
Penolakan semakin kencang setelah Franz Magnis Suseno, profesor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengkritik kebijakan ini melalui tulisan yang lugas di Harian Kompas edisi 6 September 2017. Menurutnya, larangan sepeda motor melintas di jalan-jalan utama itu bermasalah karena angkutan umum untuk mengangkut jutaan warga yang sekarang memakai sepeda motor juga jauh dari memadai.
“Melarang lima juta lebih pemakai sepeda motor menggunakan poros-poros utama lalu lintas di DKI tak kurang merupakan pernyataan perang terhadap masyarakatnya yang sederhana,” tulis Magnis Susesno dalam artikel berjudul Perang Melawan Rakyat?.
Gelombang kritik itu akhirnya membuat Pemprov DKI mengubah keputusan. "Setelah kami lakukan pengkajian, setelah melakukan konsultasi juga arahan, baik dari Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), dari anggota DPRD kemarin dan dengan arahan dari Gubernur, pelaksanaan pembatasan belum bisa kita laksanakan," ungkap Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2017).
Mengapa Memilih Motor?
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sepeda motor menjadi kendaraan pilihan warga untuk beraktivitas. Di DKI Jakarta, misalnya, sepeda motor menjadi kendaraan bermotor yang paling banyak beredar. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat terdapat 13.989.500 sepeda motor di Jakarta. Jumlah ini hampir 4 kali lipat dari jumlah kendaraan roda empat yang tercatat oleh BPS Provinsi DKI Jakarta.
Ada beberapa alasan mengapa sepeda motor menjadi primadona di negara berkembang. Pertama, harganya yang terjangkau. Sebuah motor bebek standar baru di Indonesia bisa dibeli dengan harga sekitar 11-14 juta Rupiah, berikut kemudahan mencicil dalam jangka waktu tertentu. Dengan uang muka yang tak sampai satu juta rupiah, warga dapat membawa pulang sebuah motor baru ke rumah. Jika motor baru dirasa terlalu mahal, warga juga dapat membeli motor bekas dengan harga yang lebih murah lagi.
Kedua, motor begitu ekonomis untuk digunakan. Sebuah motor 150 cc dan di bawahnya dalam kondisi normal rata-rata memiliki konsumsi bahan bakar sekitar 40-50 km per liter. Hal ini jauh lebih ekonomis dibandingkan mobil yang rata-rata hanya memiliki konsumsi bahan bakar sekitar 11 km per liter.
Biaya perawatan sepeda motor juga jauh lebih murah dibandingkan mobil. Untuk servis di luar pergantian suku cadang, rata-rata sepeda motor menghabiskan 40-100 ribu rupiah untuk satu kali servis. Servis berkala ini biasanya dilakukan dua atau tiga bulan sekali. Nominal itu jelas jauh lebih murah dibandingkan biaya perawatan mobil.
Ketiga, dimensi sepeda motor lebih ramping membuat jenis kendaraan ini mudah melewati jalanan sempit dan selap-selip di kemacetan. Dampaknya, motor memungkinkan penggunanya menghabiskan waktu tempuh lebih singkat dibandingkan menaiki mobil. Jika terjadi kemacetan di jalan utama, pengendara sepeda motor bisa melewati jalan alternatif yang sempit sekali pun.
Pelarangan Tak Hanya Terjadi di Jakarta
Pelarangan sepeda motor tak hanya terjadi di Jakarta saja. Beberapa kota di negara ASEAN telah mencanangkan pelarangan motor sejak beberapa tahun lalu. Kota terbesar di Myanmar, Yangon, telah melakukan pelarangan sepeda motor di pusat kota sejak 2003. Warga yang tak memiliki mobil pribadi umumnya beraktivitas menggunakan bus dan taksi.
Negara tetangga Myanmar, Vietnam, juga telah mencanangkan Kota Hanoi terbebas dari sepeda motor. Berpenduduk 7,5 juta orang, jumlah sepeda motor di kota ini lebih dari 5 juta unit. Banyaknya jumlah sepeda motor di Hanoi menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas sepeda motor: 75 persen. Namun, rencana ini tidak akan terlaksana dalam waktu dekat karena pemerintah Vietnam baru akan melaksanakannya pada 2030, mundur lima tahun dari rencana awal.
Untuk menunjang penerapan peraturan pelarangan motor tersebut, pemerintah Vietnam akan menerapkannya secara bertahap. Pertama, mereka melakukan tinjauan atas semua kendaraan pribadi pada 2017-2018. Kemudian, pemerintah Vietnam mengembangkan sistem transportasi umum, dimulai dari 2017 sampai 2020, untuk memenuhi target kebutuhan transportasi umum terlayani 55 persen. Tahap yang terakhir pembatasan sepeda motor secara bertahap pada jam, hari, dan tempat tertentu, mulai 2025. Dan akhirnya ditargetkan benar-benar dilarang total pada akhir 2030.
Baguio City di Filipina juga menerapkan pelarangan sepeda motor di distrik bisnis pusat. Tak hanya motor, larangan juga berlaku untuk roda dua lainnya, sepeda, pada 4 Februari 2016. Menurut Mauricio Domogan, Walikota Baguio City, peraturan ini bukanlah peraturan baru, melainkan telah dibuat sejak 1965. Sontak peraturan ini langsung diprotes keras para pengguna sepeda dan sepeda motor.
Beberapa hari setelah keluarnya memo tersebut, melalui laman resminya, Pemerintah Baguio City mengeluarkan klarifikasi yang menyatakan bahwa perarturan tersebut ditangguhkan sampai keluarnya amandemen peraturan berdasarkan rekomendasi dari beberapa pihak yang merasa keberatan, seperti Cordillera Motorcycle Association. Sepeda dan sepeda motor boleh kembali melintas di daerah distrik bisnis pusat kecuali di Session Road.
Negeri Jiran juga tengah mempertimbangkan melarang sepeda motor jenis “kap chai” melintas di Kuala Lumpur. Rencana itu dirancang sebagai bagian dari upaya Malaysia dalam mengurangi emisi gas karbon. "Kap chai" merupakan sebutan warga Malaysia untuk motor underbone dengan cc antara 50-150 cc.
Menteri Federasi Wilayah Persekutuan Malaysia, Tengku Adnan Mansor, mengatakan bahwa banyak "kap chai" masuk ke Kuala Lumpur sebagai kendaraan pekerja kelas menengah ke bawah yang tak mampu mengeluarkan uang lebih untuk moda transportasi lain. “Saat nanti tersedia moda transportasi yang lebih murah, kami akan mempertimbangkan untuk melarang "kap chai" masuk ke kota,” tambahnya.
Wacana pelarangan ini juga menimbulkan perlawanan. Menurut mantan Direktur Jenderal Malaysian Institute of Road Safety Research (MIROS), Prof. Dr. Ahmad Farhan Mohd Sadullah, seharusnya pemerintah Malaysia meningkatkan mobilitas warga melalui sistem transportasi publik yang terintegrasi, alih-alih menyarankan pengguna "kap chai" untuk menggunakan moda transportasi lain. Kepala Community Policing Biker Malaysia, Low Boon Tat, menyatakan bahwa jika memang pemerintah mau mengurangi emisi gas karbon, seharusnya jumlah mobil yang dikurangi.
Pelarangan sepeda motor seharusnya disesuaikan dengan kapasitas angkut, perbaikan pelayanan, dan biaya transportasi publik. Hanoi bisa menjadi contoh baik. Pelarangan sepeda motor dilakukan secara bertahap, sambil menyiapkan sistem transportasi publik yang memadai. Tanpa penyesuaian sistem tranportasi publik, pelarangan sepeda motor hanya akan menjadi solusi temporer dan berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru.
Penulis: Arya Vidya Utama
Editor: Zen RS