tirto.id - Praktis, hemat, dan cepat. Tiga kata ini barangkali yang muncul dalam benak Anda ketika mendengar alat transportasi sepeda motor. Sejak sepeda motor berbahan bakar minyak pertama bernama Daimler Reitwagen ini diproduksi pada tahun 1885, kehadirannya terus berkembang pesat hingga saat ini.
Di negara-negara kawasan Asia, terutama yang populasinya tinggi dan menyandang status sebagai negara berkembang, sepeda motor menjadi barang penting. Ia menopang mobilitas warga dan tumpuan mencari nafkah.
Tak terkecuali di Hanoi, ibukota Vietnam. Berpenduduk 7,5 juta orang, jumlah sepeda motor di kota ini lebih dari 5 juta unit. Jumlahnya kian terus meningkat tiap tahunnya. Merujuk data pemerintah setempat, jumlah sepeda motor dan mobil di Hanoi adalah 1,34 kali kapasitas jalan, sementara di daerah pusat kota yang padat bisa menembus 3,72.
Alih-alih mengurai kemacetan, jumlah sepeda motor di Hanoi yang sangat banyak itu meningkatkan polusi udara, kemacetan parah karena semrawutnya jalan, dan kecelakaan lalu lintas. Data Vietnamese-German Transportation Research Centre pada 2014 menyebut sepeda motor menyumbang 75 persen angka kecelakaan lalu lintas tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah setempat berulangkali mengambil rencana untuk melarang penggunaan sepeda motor. Terbaru, Departemen Perhubungan Hanoi mengumumkan rencana untuk melarang penggunaan sepeda pada tahun 2030.
Ketika rencana ini dilemparkan ke publik, tak semua pihak menyetujui langkah pemerintah itu. “Bila Anda hanya menerapkan larangan sebagai satu ukuran, mereka tidak akan pernah berhasil," kata Jung Eun Oh, spesialis transportasi senior di Bank Dunia Vietnam, dilansir Channel News Asia.
Reaksi warganet Vietnam juga riuh mengecam pengumuman larangan sepeda motor dan mempertanyakan apakah pemerintah dapat membangun alternatif transportasi umum seperti yang telah dijanjikan selama ini.
"Gagasan ini benar-benar gila," kata pekerja kantoran Hoang Thuy Duong, yang mengendarai sepeda motor untuk bekerja setiap hari. "Sepeda motor adalah alat transportasi terbaik di Hanoi. Saya ragu pihak berwenang dapat menggantinya dengan kendaraan umum.”
Lien Nguyen, warga ibukota Hanoi, adalah salah satu contoh yang memanfaatkan sepeda motor sebagai ladang mencari nafkah. Lien memiliki sebuah perusahaan ojek sepeda motor yang dioperasikan oleh pengemudi perempuan, dan usahanya itu diberi bernama “I Love Hue Tour”. Menurut laporan CNN, lusinan turis datang tiap harinya ke Hanoi untuk berlibur dan memakai jasa ojek perempuan milik Lien ini.
Hanoi sendiri tidak memiliki sistem transportasi umum yang memadai. Hanya bus umum yang sekadar menyumbang 12 persen dari kebutuhan angkutan transportasi kota. Pembangunan skytrain kota sendiri telah berulang kali tertunda dan dijadwalkan akan mulai dibangun tahun depan. Pejabat berjanji akan meningkatkan transportasi umum sampai menjadi sekitar 50 persen pada 2030, saat sepeda motor resmi benar-benar dilarang.
Sejatinya, proposal pengajuan pelarangan penggunaan sepeda motor di Hanoi bukanlah yang pertama. Tahun 2016 lalu pernah mencuat rencana serupa, dengan target kota ini bersih dari sepeda motor di tahun 2025. Namun, rencana ini diragukan sendiri oleh para pemangku kebijakan: menteri dan pejabat terkait lainnya.
Kali ini, seperti dilaporkan VietNamNet, Direktur Departemen Transportasi Vu Van Vien sudah memiliki perencanaan, menyusul proposal terbaru ke Dewan Rakyat Hanoi, soal pelarangan sepeda motor yang diundur hingga 2030. Ada tiga tahap yang harus dilakukan pemerintah. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah melakukan tinjauan atas semua kendaraan pribadi pada tahun 2017-2018.
Tahap kedua: mengembangkan sistem transportasi umum yang dimulai tahun 2017 sampai 2020 untuk memenuhi target kebutuhan transportasi umum terlayani 55 persen. Tahap terakhir: pembatasan sepeda motor secara bertahap pada jam, hari, dan tempat tertentu, mulai 2025 sampai benar-benar dilarang total pada akhir 2030.
Ada negara padat penduduk di Asia lainnya seperti Cina di mana sepeda motor sudah lama dilarang secara bertahap di kota-kota besar. Namun, warganya tak kehilangan akal. Mereka memakai sepeda elektrik sebagai pengganti sepeda motor. Tentu saja ini lebih hemat energi, berbiaya rendah, dan relatif ramah lingkungan.
Ada 200 juta pengguna sepeda elektrik meluncur lincah di jalanan kota-kota Cina. Dalam laporan Forbes 2016, sepeda listrik di Cina menjadi bisnis besar. Sebanyak 35 juta unit terjual setiap tahunnya. 700 pabrik berdiri dan rantai industrinya bernilai $30 miliar di Cina. Pemerintah kemudian menertibkan kendaraan roda dua ini. Lebih dari 10 kota besar di Cina, termasuk Beijing, Shanghai, Guangzhou, Xiamen, dan Shenzhen membatasi penggunaannya, bahkan melarang.
Di Indonesia sendiri, penggunaan sepeda motor tak jauh berbeda dengan Vietnam. Data resmi Badan Pusat Statistik mencatat ada 104.812.552 unit kendaraan bermotor di Indonesia pada 2016, dari jumlah total penduduk 258 juta. Jumlah kendaraan bermotor ini meningkat tiap tahunnya dari 2014 yang berada pada angka 92.976.240 unit.
Sementara itu, penjualan sepeda motor menurut data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada 2016 ada di angka 5.931.285 unit, menurun dari penjualan 2014 yang mencatatkan angka 7.867.195 unit dan 2015 sebanyak 6.480.155 unit.
Belum ada peraturan yang menyiasati banyaknya pengguna atau unit sepeda motor di Indonesia, kendati korban jiwa karena kecelakaan lalu lintas menggunakan sepeda motor mencapai belasan ribu. Data Korlantas Polri di tahun 2014 sampai bulan September menyebut ada 81.597 kasus kecelakaan sepeda motor yang merenggut 12.171 korban jiwa.
Jakarta sebagai ibukota Indonesia dengan tingkat populasi dan jumlah kendaraan tinggi hanya punya Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2014 yang membatasi lalu lintas sepeda motor pada jalan dan waktu tertentu.
Jika peraturan pelarangan sepeda motor diterapkan di Indonesia, reaksinya tidak akan berbeda jauh dari warga Hanoi di Vietnam. Belum memadainya transportasi umum memenuhi kebutuhan mobilitas warga dan penggunaan sepeda motor sebagai sarana pengais rezeki seperti ojek online dapat menjadi faktor utama penolakan.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani