Menuju konten utama

Sepeda Motor: Sebab atau Solusi Kemacetan?

Ketika memutuskan untuk melarang penggunaan sepeda motor, pemerintah kota Hanoi barangkali menengok kepada Saudara Tua bangsa-bangsa Asia: Cina. Selain menjuarai perlombaan jumlah penduduk, Cina juga merupakan pasar sepeda motor terbesar di dunia, dan merekalah yang mula-mula menerapkan pelarangan sebagai alat kontrolnya.

Sepeda Motor: Sebab atau Solusi Kemacetan?
Pelarangan lalu lintas sepeda motor di Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Selatan diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 2014 dan konsekuensinya disediakan bus tingkat gratis. [ANTARAFOTO/Andika Wahyu]

tirto.id - Pada 2013, wacana pelarangan sepeda motor beredar di Vietnam. Jalanan di kota-kota besar negeri itu, Hanoi dan Ho Chi Minh, misalnya, serba semrawut dan mampat; dan yang lebih buruk, kecelakaan lalu lintas merenggut 26 nyawa dan menyebabkan 81 orang cedera saban hari. Terduga, salah satu sebab utamanya ialah sepeda motor.

Secara keseluruhan ada 37 juta sepeda motor di negara itu, sedangkan mobil jauh lebih sedikit, yaitu 1,6 juta unit. Maka, tak mengherankan ketika 54 persen dari 27 ribu peserta survei tajaan kanal Vietnam Television Corporation (VTC) setuju penggunaan sepeda motor dibatasi. Hanya 8,3 ribu orang yang menyatakan bahwa pembatasan semestinya menunggu transportasi umum membaik dan 3,8 ribu orang menolak pelarangan dengan dasar hak asasi.

Dari 5,5 juta kendaraan yang beredar di Hanoi, 4,9 juta di antaranya ialah sepeda motor. Pertambahan sepeda motor baru mencapai 8 hingga 20 ribu unit setiap bulannya, padahal, jumlah penduduk kota itu hanya 7,7 juta orang.

Jesse Pizarro Boga, jurnalis Filippina yang pernah tinggal selama setahun di Hanoi, menulis di blognya tentang keadaan itu: “Menurutmu, bagaimana perasaanku mengendarai sepeda kayuh yang mungil, melawan lautan pemotor? Takut. Luar biasa takut. Tapi, dua bulan di Hanoi telah membuatku menumbuhkan sepasang pelir tambahan (menjadi dua kali lipat lebih berani).”

Pekan lalu, situs berita otomotif asal Malaysia, Paultan.org, meneruskan kabar dari koran Vietnam Thanh Mien News: Pemerintah Hanoi akhirnya memutuskan bahwa pada 2025 sepeda motor mesti enyah dari kota tersebut.

Sembilan tahun memang bukan tempo singkat, tetapi tak ada jaminan bahwa ia memadai. Vietnam Breaking News melaporkan: Nguyen Phi Thuong, anggota dewan direksi Hanoi Transport and Services Corporation, menyatakan bahwa saat ini jasa angkutan bus di Hanoi hanya sanggup melayani sekitar 8-10 persen kebutuhan masyarakat. Andai sepeda motor hendak disingkirkan, tentu moda transportasi yang lain mesti menggantikan perannya. Salah satunya, bus umum mesti dilipatgandakan.

Menurut sejumlah pakar lalulintas, keputusan menyingkirkan sepeda motor itu berpeluang jadi bumerang. Sekitar 70 hingga 80 persen penduduk Hanoi dan kota-kota besar lain di Vietnam mengandalkan sepeda motor dalam perjalanan ulang-alik rumah-tempat kerja mereka. Bila kendaraan publik tak siap pada 2025, hajat hidup sebagian besar warga Hanoi terancam.

Phnam Sanh, salah seorang pakar transportasi yang menolak pelarangan, menyatakan bahwa halangan utama bagi perbaikan lalulintas berskala besar dalam tahun-tahun mendatang adalah keadaan sosial dan ekonomi Vietnam sendiri. Singkatnya, perluasan jalan, pembuatan jalur metro, serta pelipatgandaan bus (seperti direncanakan pemerintah Hanoi) bukan kerja gaib yang bermodal kemenyan serta bisa seketika rampung. Selain itu, juga ada soal kepadatan populasi serta gelombang besar pekerja migran yang rutin menghantam ibukota.

Hingga kini Vietnam adalah pasar sepeda motor terbesar keempat di dunia, setelah Cina, India, dan Indonesia.

Bukit Kuburan Sepeda Motor

Ketika memutuskan untuk melarang penggunaan sepeda motor, pemerintah kota Hanoi barangkali menengok kepada Saudara Tua bangsa-bangsa Asia: Cina. Selain menjuarai perlombaan jumlah penduduk, Cina juga merupakan pasar sepeda motor terbesar di dunia, dan merekalah yang mula-mula menerapkan pelarangan sebagai alat kontrolnya.

Menurut data keluaran Statista, sepanjang dekade ini jumlah penjualan tahunan sepeda motor di Cina senantiasa ajek di atas 20 juta unit. Dalam rentang Juli 2015 hingga Juli 2016 saja ada 18,72 juta sepeda motor baru di negara tersebut.

Meski wilayah negerinya jauh lebih luas daripada hampir setiap negara di planet ini, salah satu masalah utama di kota-kota besar Cina ialah kepadatan lalu lintas. Demi mengurai perkara tersebut, Beijing melarang sepeda motor secara total sejak 1985, lebih dari tiga dekade silam.

Kemudian Guangzhou menyusul secara bertahap. Sejak 1998, kota itu berhenti menerbitkan pelat nomor baru untuk sepeda motor dan melarang sepeda motor dari daerah lain memasuki kawasan kota; 2004, pelarangan di sejumlah jalan utama dan pusat kota pada jam-jam lepas kepadatan; 2007, pelarangan di seluruh jalan utama dan pusat kota selama 24 jam setiap hari; dan pada awal 2008, pelarangan menyeluruh akhirnya diterapkan. Sejak saat itu, setiap sepeda motor yang kedapatan melintas akan disita oleh petugas yang berwenang.

Hasil dari kebijakan itu, menurut pemerintah kota Guangzhou, ialah penurunan masalah lalulintas sebesar 50 persen dan kecelakaan sebesar 40 persen. Baru-baru ini, Guangzhou—juga Beijing dan Shanghai—merilis undang-undang baru yang berisi pelarangan terhadap sepeda listrik.

April silam, Daily Mail merilis sejumlah foto kolong Jembatan Nantou, Shenzhen, Cina Selatan. Jika ada sedikit saja paranoia dalam benak anda, tentu sukar untuk tak membayangkan robot rongsokan raksasa akan bangkit dari tempat itu buat memusnahkan umat manusia. Di kolong itu, ratusan ribu sepeda motor, sepeda listrik, dan sepeda roda tiga sitaan pemerintah kota Shenzhen bertumpuk.

Menyusul Beijing, Shanghai, dan Guangzhou, Shenzen kini menerapkan pelarangan terhadap sepeda motor dan kendaraan roda dua/tiga lainnya. Dalam sebuah operasi selama 11 hari pada bulan ini, otoritas telah menyita sekitar 18 ribu kendaraan. “Keberhasilan” itu, menurut bocoran dokumen yang dilaporkan situs on.cc, tak lepas dari janji kepolisian lokal untuk memberi insentif kepada para opsir seturut jumlah tangkapan masing-masing.

Sementara ini, sasaran otoritas Shenzhen memang hanya kendaraan-kendaraan yang tidak berlisensi. Namun, sebagaimana yang sudah-sudah, ia adalah bagian dari program yang lebih besar, yakni pelarangan alat transportasi rakyat kebanyakan.

Bagaimana dengan Jakarta?

Sebagaimana di kota-kota besar Vietnam dan Cina, sepeda motor adalah alat transportasi andalan di Jakarta. Pada 2003, sehari-hari terdapat 3,9 juta unit sepeda motor lalu-lalang di Jakarta, sedangkan mobil tak sampai separuhnya, hanya 1,6 juta. Tujuh tahun kemudian, menurut laporan Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral-UGM) pada 2013, jumlah sepeda motor berlipat menjadi 8,77 juta unit dan mobil menjadi 2,3 juta.

Dari segi kepemilikan: 72 persen keluarga di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mempunyai sepeda motor. Keluarga yang memiliki dua sepeda motor atau lebih diperkirakan sebanyak 22 persen dari keseluruhan. Sebagai bahan perbandingan, keluarga yang memiliki mobil hanya 25 persen, dan 3 persen dari keseluruhan tercatat punya 2 mobil atau lebih.

Dalam sehari, rata-rata ada sekitar 1,1 ribu kendaraan pribadi baru di kawasan ini. Pertumbuhan yang besar itu, menurut laporan Pustral-UGM, disebabkan oleh populasi dan ekonomi yang senantiasa menggemuk, plus urbanisasi atau perpindahan orang dari pelbagai daerah di Indonesia ke Jakarta.

Di atas kertas, keadaan itu dapat dibaca sebagai tengara baik, namun di jalan, kita tahu, tak demikian adanya. Saban hari kekokohan kuda-kuda moral dan kelenturan syaraf para pemakai jalan, terutama pada jam-jam sibuk, diuji habis-habisan. Pilihan buat melindas kaki pemotor yang main serobot dan meludahi kaca mobil yang pengemudinya gila mengklakson selalu ada. Soalnya adalah sanggup menahan diri atau tidak.

Di Jakarta, pertambahan jumlah kendaraan sama sekali tidak berimbang dengan perluasan jalan. Dalam setahun, kepemilikan kendaraan bertumbuh hingga lebih dari 10 persen, sementara pembangunan jalan hanya 0,01 persen.

Menurut sebuah laporan dari Direktorat Jenderal Transportasi Darat pada 2012, berdasarkan jumlah kendaraan dan daya tampung jalan, kecepatan perjalanan rata-rata di Jabodetabek adalah 23,6 kilometer per jam. Andai tak ada perbaikan yang signifikan, pada 2020 mereka memperkirakan kecepatan itu bakal turun jadi cuma 15,2 km/jam.

Kini sekurangnya terdapat 771 titik macet di Jabodetabek, mulai dari di dekat lampu-lampu lalulintas hingga perlintasan kereta api.

Kembali soal perkiraan kecepatan perjalanan, laporan “The Study on Integrated Urban Transportation Master Plan for Jabodetabek” (SITRAMP) yang ditaja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan “Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration Project” (JUTPI) dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian memberikan data yang lebih spesifik. Pada 1985, kecepatan rata-rata perjalanan dalam rute Pasar Minggu – Manggarai pada puncak kemacetan pagi hari adalah 26,3 km/jam, pada 2000 terjadi penurunan menjadi 16,1 km/jam, dan pada 2011 tinggal 6,1 km/jam saja.

Keadaan serupa terjadi pula dalam rute Cilandak – Monas: 24,7 km/jam (1985), 19,2 km/jam (2000), dan 9,4 km/jam (2011).

Sebenarnya, dalam rentang 2002 hingga 2010, ada perubahan yang relatif signifikan dalam hal pemilihan moda transportasi di Jakarta. Pada 2002, terdapat 743 ribu perjalanan per hari. 41 persennya ditempuh dengan sepeda motor, 9 persen dengan mobil, dan 20 persen dengan kendaraan umum. Sedangkan pada 2010, dalam 1,1 juta perjalanan, pengguna sepeda motor jauh berkurang menjadi 21 persen, penumpang kendaraan umum meningkat jadi 43 persen, dan pengemudi mobil bertambah jadi 12 persen. Tetapi, mungkin perubahan itu belum memadai.

Terdesak oleh situasi semacam ini, pemerintah provinsi Jakarta bisa saja mengambil jalan pintas sebagaimana di Cina atau pasang ancang-ancang untuk mengambil jalan pintas seperti di Vietnam. Toh sudah ada arah ke sana. Sejak akhir 2014, para pengendara sepeda motor tak lagi boleh melintasi sejumlah jalan utama, antara lain MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat. Pada 2017, setelah penerapan sistem electronic road pricing (ERP) untuk mobil, pelarangan itu akan diperluas ke Jalan Rasuna Said dan Jalan Sudirman.

Pada Mei lalu, di Balai Kota, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengkonfirmasi rencana tersebut. Tetapi ia menyatakan satu prasyarat lain sebelum perluasan pelarangan diterapkan: pelebaran trotoar Jalan Sudirman. "Kami mau bikin lebar, toko-toko dan gedung kami buka pagarnya. Orang enak jalan kaki. Kalau dia capek, naik bus. Kalau macet, tinggal menyeberang, naik bus Transjakarta,” ujarnya.

Sejauh ini, dibandingkan Hanoi dan Shenzhen, pemerintah provinsi Jakarta berlaku jauh lebih manusiawi terhadap para pengguna sepeda motor. Namun, bila suatu saat pelarangan menyeluruh hendak diterapkan, ada baiknya situasi di sejumlah kota lain, kota-kota yang didominasi mobil dan justru mempertimbangkan sepeda motor sebagai solusi kemacetan, dijadikan bahan perhitungan terlebih dahulu.

Roda Dua di Melbourne

Melbourne City Council (MCC) mencatat sekitar 75 persen kendaraan yang memasuki kawasan inti kota pada pukul 7 hingga 10 pagi adalah mobil, sementara sepeda dan sepeda motor, sekalipun dijumlahkan, tidak sampai 15 persen. Hasilnya adalah kemacetan. Mobil-mobil hanya bisa mengisar sekilan demi sekilan seperti binatang besar pemalas dan para pengemudinya menonton sepeda motor yang melintas dengan luwes dari balik kaca jendela seperti orang puasa menonton iklan sirup di televisi.

Alan Davies, penulis Melbourne Urbanist, menyatakan bahwa semakin lama semakin banyak pemakai jalan yang meninggalkan mobil dan mencari moda transportasi alternatif untuk menuju tempat kerja, sekolah, dan lain-lain. Sebagian besar beralih kepada kendaraan umum dan sepeda, tetapi banyak pula yang mulai menggunakan sepeda motor. Dalam rentang 2006 hingga 2014, ujarnya, jumlah sepeda motor yang memasuki kawasan kota pada puncak kemacetan pagi hari mengalami peningkatan sebesar 73 persen, sementara mobil berkurang dua persen.

Dibandingkan mobil, sepeda motor lebih murah baik dalam hal pembelian maupun pengoperasian sehari-hari. Karena ramping, sepeda motor juga lebih gesit dalam kemacetan. Menurut laporan Motorcycle Plan 2015-18 yang dirilis MCC: “Perjalanan 30 kilometer di wilayah metropolitan Melbourne pada jam-jam sibuk memakai motor bisa tiga kali lebih cepat ketimbang memakai mobil.”

Selain itu, menurut Davies, ada pula keuntungan sosial. Sepeda motor lebih hemat bahan bakar dan menghasilkan lebih sedikit karbon. “Hanya 1,3 liter per 100 kilometer,” tulisnya.

Tetapi Davies tidak naif. Ia tahu bahwa sepeda motor bukan solusi tunggal atas kemacetan di kotanya. Ia menyatakan pergeseran dari mobil ke sepeda motor itu memerlukan visi jangka panjang dan keberanian politis. Sejumlah soal penting lain, seperti kebijakan publik, mesti pula disusun sebagai bagiannya.

“Sepeda motor hanya salah satu bagian dari jalan keluar,” tulis Davies “Tetapi ia bisa menjadi bagian penting darinya.”

Baca juga artikel terkait OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Otomotif
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti