tirto.id - Malam baru akan menjelang ketika Walikota Bandung Ridwan Kamil mendatangi panti pijat Illvision, di Jalan Ir H Juanda, Dago, Kota Bandung, pada Jumat pekan lalu. Waktu baru menunjukan pukul lima sore ketika Kang Emil, begitu sapaan Ridwan Kamil, memimpin operasi penggerebekan tempat mesum berkedok panti pijat. Pegawai dan pelanggan pun dibuatnya kaget.
Sebuah video tayangan di Youtube, menunjukkan seorang terapis wanita berpakaian ketat kepergok sedang di dalam kamar ketika Kang Emil mengecek satu persatu ruangan di lokasi yang awaknya dicurigai sebagai tempat prostitusi itu. “Jangan difoto,” ujar wanita dari balik pintu kepada petugas.
Di ruangan lain, Kang Emil memergoki seorang terapis dan pelanggan panti pijatnya dalam keadaan tanpa busana. Dia pun menyuruh keduanya segera memakai handuk.
Kang Emil kemudian beranjak pergi menuju ruangan lain. Di ruangan itu, Kang Emil mendapati puluhan wanita berkumpul. “Jangan pakai HP! Simpan HP-nya!” kata Kang Emil seraya melipat kedua tangan ke belakang. Puluhan wanita pun tersipu malu. Mereka membelakangi Kang Emil beserta para petugas yang ikut penggerebekan.
Emil kemudian meminta para wanita itu untuk mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk didata. Dia pun menyegel tempat yang dijadikan lokasi pemuas syahwat itu
“Tidak ada yang dilarang bekerja di Kota Bandung, setuju? Tidak ada hal-hal yang dipersulit oleh Pemkot Bandung, selama yang namanya bisnis itu ikut aturan,” tegas Kang Emil.
Bandung dan Stigma Saritem
Prostitusi di Kota Bandung sama seperti kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Medan dan Surabaya. Di kota-kota itu, prostitusi menjadi masalah sendiri dalam problem perkotaan. Jika di Jakarta dulu ada Kramat Tunggak, di Surabaya juga ada lokalisasi tersohor, yaitu Gang Dolly. Sementara di Bandung, Saritem menjadi nama lokalisasi tersohor di kota yang juga dikenal sebagai Paris Van Java itu.
Saritem ada sejak zaman kolonial tahun 1838. Keberadaanya sempat menjadi pusat perhatian ketika Walikota Bandung Dada Rosada, pada tahun 2007, menutup lokaliasi tersebut. Melalui peraturan daerah, Dada Rosada menutup Saritem. Kini kabarnya, geliat pekerja malam masih berlangsung meski samar-samar.
Pada masa kolonial, keberadaan Saritem tak lebih menjadi tempat para serdadu Belanda melampiaskan hasrat badaniahnya. Kala itu, para kupu-kupu malam di Saritem dipajang berjejer dengan menggunakan kebaya di depan rumah.
Nama Saritem sendiri diambil dari gadis belia pedagang jamu asal Kota Kembang. Sosoknya selalu memikat lelaki Belanda. Saritem dipercaya sebagai sosok gadis kota kembang berkulit putih dan berwajah cantik. Karena kecantikannya, Saritem kemudian dijadikan gundik oleh lelaki Belanda. Sejak saat itu, Saritem pun naik strata. Dia dipanggil dengan sebutan “Nyi Saritem”.
Belakangan, Saritem mendapat permintaan mencarikan perempuan untuk dijadikan teman kencan para serdadu. Apalagi lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan markas militer serdadu Belanda. Sejak saat itulah, wanita-wanita cantik berseliweran di Saritem. Mereka datang dari daerah sekitar Bandung seperti Garut, Sumedang, Cianjur, hingga Indramayu.
Sebetulnya banyak versi mengenai sosok Saritem. Ada juga yang mengatakan Saritem berkulit hitam manis dan memiliki nama asli Sari. Sementara versi lain menyebutkan, nama lokaliasi itu diambil dari nama seorang penjaga warung remang-remang yang berada di sekitar wilayah tersebut. Kini, denyut prostitusi dekat dengan Stasiun Bandung itu pun tinggal sejarah. Namun, namanya masih melekat dan menjadi bagian sejarah Kota Bandung.
Sebenarnya wajar jika Walikota Ridwan Kamil dibuat geram dengan prostitusi berkedok jasa spa dan pijat. Bisnis prostitusi memang selalu mencari wajah baru. Sama seperti halnya di Jakarta, prostitusi tak lagi harus identik dengan lokalisasi.
Penggerebekan yang dilakukan Ridwan Kamil di Illvision menandakan masih maraknya bisnis prostitusi di kota-kota besar di Indonesia. Illvision hanyalah salah satu contoh modernisasi prostitusi. Aneka ragam cara dilakukan agar bisnis ini langgeng, mulai dari berkedok salon dan spa, hingga prostitusi online. Satu diberantas, satu tumbuh lagi. Selama syahwat manusia masih ada, selama itu pula bisnis ini akan ada.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti