tirto.id - Nilu Gunasekara, perempuan asal Srilanka, memegang canting di tangan kanannya. Dia mencoba menggoreskan ujung canting yang berisi cairan malam panas, mengikuti pola yang sudah tergambar di kain bahan batik. Sejurus kemudian, Gunasekara tersenyum dan geleng-geleng kepala.
“Amazing..., it was difficult to do,” kata Gunasekara yang mengunjungi Rumah Batik, di Gang Putat Jaya VIII-B, pada Selasa (20/9/2016). Dia adalah salah seorang dari 18 peserta delegasi Colombo Plan yang mengunjungi kawasan bekas lokalisasi Gang Dolly dan Jarak, di Kecamatan Sawahan, Surabaya.
Para delegasi Colombo Plan itu memang sedang menggelar pertemuan di Kota Buaya. Pertemuan yang menggelar tema “Sharing Best Practise on Women and Leadership” itu sengaja memilih Surabaya yang dipimpin oleh seorang perempuan, Tri Rismaharini.
Saat mengunjungi kawasan Gang Dolly, mereka tak hanya melihat bagaimana kehidupan warga di bekas lokalisasi, tapi juga diajak berkeliling melihat berbagai sektor UKM yang difasilitasi Pemkot Surabaya bagi warga yang tinggal di bekas lokalisasi.
Selain mendengar dan mencoba membatik bersama ibu-ibu anggota UKM Putat Arum, mereka juga berbelanja berbagai kain batik yang dijual Rp150 ribu hingga Rp2 juta di Rumah Batik.
Menurut Fitri Anggraeni, Ketua UKM Jarak Arum, sebanyak 25 kain batik laku terjual. “"Lumayan hari ini total penjualan mencapai Rp7 juta, kini batik eks lokalisasi Jarak dikenal dunia," katanya.
Lokalisasi Liar
Apa yang terjadi di Dolly, tampaknya tak bakal terjadi di bekas lokalisasi Kalijodo di Jakarta yang sudah rata dengan tanah untuk dijadikan ruang terbuka hijau dan taman ramah anak. Itulah perbedaan mendasar antara Dolly dan Kalijodo. Jika dulu Gang Dolly merupakan lokalisasi resmi yang berada di perkampungan warga, Kalijodo berdiri di areal fasilitas umum yang dimanfaatkan secara liar oleh warga untuk menjadi lokalisasi. Tentu, warga di Dolly memiliki sertifikat atas rumah yang mereka huni dan miliki.
Hal itu disadari sepenuhnya oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Kami kasusnya beda. (Kalijodo) ini kan memang jalur hijau yang diperjualbelikan," kata Ahok, beberapa waktu sebelum menutup Kalijodo pada 29 Februari 2016.
Menurut Ahok, lahan Kalijodo merupakan ruang hijau yang kemudian didirikan bangunan liar, dan setelah itu disalahgunakan untuk praktik prostitusi, perjudian, serta penjualan minuman keras. Berbeda dengan Dolly yang merupakan lokalisasi di perkampungan warga.
Oleh sebab itu, Ahok harus menyiapkan rumah susun Pulogebang sebagai ganti bagi warga Kalijodo. Ahok tak perlu terlalu pusing karena jumlah warga yang harus direlokasi hanya sekitar 300 kepala keluarga. Sementara Risma, dia memang tak perlu berpikir soal relokasi tetapi harus tetap memikirkan pesangon bagi 1.449 PSK yang masing-masing besarnya Rp5 juta atau sekitar Rp7,2 miliar.
Kalijodo memang sangat jauh berbeda dengan Dolly. Jumlah terakhir PSK di Kalijodo sebelum ditutup tercatat 126 orang. Bandingkan dengan Dolly yang total terdapat 1.449 orang PSK saat ditutup pada 18 Juni 2014.
Karena tak perlu merelokasi warga, wajar jika persoalan pasca penutupan justru membuat Risma lebih pusing dibandingkan Ahok. Walikota Risma harus berpikir keras mencarikan sumber nafkah baru bagi warga asli Dolly setelah kehidupan malam tak lagi berdenyut.
Anggota Komisi A, DPRD Surabaya Adi Sutarwiyono mengungkapkan, Risma mendapat dukungan yang kuat saat menutup Dolly. saat Risma menyatakan bakal menutup Dolly, dukungan terhadap Risma begitu kuat dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh agama, akademisi, maupun warga masyarakat.
“Dukungan terhadap Risma luar biasa. Kami di DPRD bahkan harus hati-hati bicara untuk mengingatkan walikota tentang berbagai hal yang harus disiapkan pemerintah daerah. Kami berhati-hati agar tak dicap antipenutupan Dolly,” kata Adi kepada Tirto.id, pada Senin (19/9/2016).
Adi yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan itu mengaku fraksinya menjadi serba salah atas rencana Risma tadi. “Maklum, mayoritas warga di wilayah Dolly maupun Jarak merupakan konstituen kami,” katanya. Berbagai keluhan dan penolakan dari Dolly disampaikan kepada Fraksi PDIP.
Satu hal yang menarik dari Adi, tak lain aksi nekat Risma terkait penutupan Dolly dan Jarak. “Kalau mau jujur, saat itu Walikota belum mempunyai exit plan pasca penutupan Dolly. Bagi Risma yang penting ditutup dulu, baru nanti dicarikan jalan keluar bagi setiap permasalahan yang muncul,” katanya.
Benar saja, kini Risma memang harus bekerja keras mencarikan berbagai solusi untuk memberi warga asli Gang Dolly mata pencaharian yang baru. Lokalisasi sudah tertutup, tetapi jalan keluar masih belum terbuka lebar. Masalahnya tentu tidak sesederhana menutup Kalijodo yang memang berdiri di atas lahan yang tidak sah dan melibatkan "pekerja" yang lebih banyak.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti