tirto.id - Panas menyengat di Jalan Jarak, kawasan bekas lokalisasi Dolly di Surabaya, pada Selasa siang (20/9/2016). “Sampeyan mencari Mbak-Mbak ya Mas?” sapa Arief (38), lelaki kurus yang tangannya bertato, setengah berbisik menawarkan jasa pekerja seks komersial (PSK) yang disebutnya Mbak-Mbak. “Kalau memang cari, saya bisa pilihkan buat sampeyan. Saya tahu Mbak-Mbak seperti apa selera sampeyan,” rayuan mautnya keluar ketika melihat lawan bicara masih berpikir untuk menjawab.
Arief beroperasi di sekitar kafe yang menyuguhkan berbagai jenis kopi sebagai hidangan, di Jalan Jarak yang membelah wilayah bekas lokalisasi Dolly. Dia rupanya tak sekadar bicara, karena kemudian menyodorkan tiga nama, Mita, Laras dan Widya. “Ketiganya dulu di Gang Dolly dan bukan Jarak. Jadi sampeyan gak perlu ragu soal servisnya,” kata Arief sembari mengacungkan jempol kanannya.
Lokalisasi Dolly yang tersebar di lima RW di wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, memang terbagi menjadi dua lokalisasi. Pertama, lokalisasi Gang Dolly --sebenarnya Jalan Kupang Gunung Timur I– serta deretan wisma yang terletak di sisi selatan Jalan Jarak. Kedua, lokalisasi Jarak yang letaknya tepat di seberang jalan lokalisasi Dolly.
Saat masih beroperasi, ada perbedaan mendasar antara lokalisasi Dolly dan Jarak, yakni kualitas dari para PSK yang ada. "Mbak-Mbak" di Dolly memang lebih muda dan cantik sehingga memiliki tarif yang lebih tinggi, berkisar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu untuk sekali kencan. Sedangkan Jarak yang areanya justru lebih luas, kualitas "Mbak-Mbak" dan tarifnya di bawah Dolly. Para "Mbak" yang sebelumnya beroperasi di Dolly dan mulai berumur, harus rela bergeser operasi ke wilayah Jarak apabila tetap ingin bertahan di kawasan merah tersebut.
Berapa tarif "Mbak-Mbak" yang ditawarkan Arief tadi? Dia menyebut Rp300 ribu untuk Mita dan Laras, sedangkan Widya Rp250 ribu untuk kencan sekitar satu jam. “Itu sudah termasuk bayar kamar di sekitar sini. Kalau sampeyan mau bawa ke hotel, kamar hotelnya sampeyan bayar sendiri,” kata Arief yang mengaku mendapat fee dari para "Mbak" tadi antara Rp35 ribu hingga Rp50 ribu.
Bisnis prostitusi tampaknya tak bisa hilang begitu saja di bekas lokalisasi Dolly yang secara resmi telah ditutup oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini pada 18 Juni 2014. Masih ada yang melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi, memanfaatkan berbagai hotel yang letaknya jauh dari Dolly atau kamar-kamar tertentu di beberapa rumah kost di wilayah tersebut.
Harga Rumah Naik
Kawasan Dolly yang pernah disebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara dengan 1.449 PSK dan 313 mucikari itu memang telah berubah wajah. Jika dulu berbagai wisma, karaoke, atau salon berderet di Jalan Jarak, kini hanya tersisa bekas-bekasnya. Wisma atau salon berubah menjadi toko komersial seperti mini market, counter handphone dan pulsa, pangkas rambut, air isi ulang, bengkel motor dan aksesorinya atau warung kopi.
Adapun Gang Dolly atau Jalan Kupang Gunung Timur I juga telah berubah wajah meski masih tersisa beberapa bangunan rumah dengan kaca etalase yang dulu dipergunakan para "Mbak-Mbak" menunggu para tamunya.
Di ujung jalan Kupang Gunung Timur I, tepatnya rumah nomor 1A yang terdri dari tiga lantai, kini dijadikan usaha pangkas rambut “Abassy”. Dulu, tempat itu dikenal orang sebagai “Salon Ari”. Menurut Ahmad Fauzy (23) pemilik Abassy, dia membuka pangkas rambut sejak dua bulan lalu. “Saya sewa tempat ini Rp23 juta untuk dua tahun,” katanya kepada Tirto.id, pada Minggu (18/9/2016) .
Fauzy baru memanfaatkan ruang etalase eks Salon Ari untuk bisnis pangkas rambutnya. Selain ruang etalase, masih ada satu kamar dan satu kamar mandi di lantai bawah. Sedangkan di lantai dua, terdapat empat kamar berukuran 2 x 2 meter persegi. Masih ada satu kamar lagi di lantai tiga. Kondisi keenam kamar tersebut gelap dan pengab penanda lama tak dipergunakan. Interior di dalamnya pun sama, bentuk ranjang dari betonan semen untuk meletakkan kasur, serta sepetak kecil lantai toilet dan keran untuk berbilas di ujung ranjang.
Fauzy sendiri mengaku masih pusing untuk memanfaatkan keenam kamar tersebut. “Mungkin bakal saya sewakan untuk kamar kost. Tapi entah, apa ada yang mau menyewa,” katanya.
Buntut penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak memang berimbas pada harga sewa dan harga jual rumah di kawasan tersebut. Untuk harga rumah misalnya, bisa naik hingga tiga kali lipat. Jika dulu masih kawasan lokalisasi, rumah warga di berbagai gang Putat Jaya di Jarak dengan luas tanah sekitar 100 meter persegi sekitar Rp100 juta, kini melenting menjadi Rp300 juta hingga Rp350 juta.
“Kalau dulu siapa yang mau beli, wong di sebelah-sebelahnya jadi wisma lokalisasi?” kata Basir, warga Jalan Putat Jaya. Senin malam (19/9/2016). Hal yang paling menakjubkan dari lokalisasi Jarak, tak lain berimpitannya wisma prostitusi dan rumah warga nonprostitusi. Pembedanya hanyalah tulisan mencolok di pagar atau depan rumah, yakni “Rumah Tangga” untuk rumah warga yang normal.
Nama Dolly Dipertahankan
Suasana malam di Dolly juga sudah berubah total. Jika dulu sekitar pukul 22.00, kehidupan malam mulai berdenyut cepat, kini justru mulai terlihat sepi layaknya perkampungan lain di Kota Buaya. Semakin larut, kawasan tersebut juga turut terlelap. Kecuali di beberapa sudut tempat warung kopi yang buka 24 jam, tempat para lelaki berkumpul untuk sekedar ngobrol melewatkan malam.
Kehidupan malam yang sepi itu memang menyisakan duka bagi banyak warga yang dulu “menggantungkan” hidup dari kehidupan malam di Dolly. Dari total 15 RW di Kelurahan Putat Jaya, sebanyak lima RW menjadi tempat lokalisasi dengan total jumlah penduduk sekitar 10 ribu orang.
Saat masih menjadi lokalisasi, banyak warga yang membuka toko di rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan para Mbak-Mbak dan tamu-tamunya. Mulai dari rokok, sabun, shampo, atau mie instan hingga beras. Begitu lokalisasi ditutup dan tak ada lagi denyut kehidupan malam, satu per satu toko milik warga pun ikut tutup. Kondisi inilah yang merupakan pekerjaan rumah besar bagi Walikota Risma dan jajarannya.
“Memang hal terberat adalah mengubah mindset warga asli untuk mau mengubah cara mendapatkan penghasilan. Sebab dulu mereka memang berada di zona nyaman, dimanjakan dengan keberadaan dunia malam yang mendatangkan banyak uang,” kata Yunus, Camat Sawahan kepada tirto.id, pada Selasa (20/9/2016).
Sementara ketika ditanya soal keberadaan bisnis prostitusi secara sembunyi-sembunyi di wilayahnya, Yunus punya jawaban tersendiri. “Kalau soal itu, apa bedanya dengan prostitusi online di luar sana? Siapa yang bisa memberantas habis hal seperti itu?” katanya sembari menekankan pihaknya terus memantau dan menindak jika memang ada mucikari yang berani melakukan bisnis prostitusi secara terbuka.
Walikota Risma sendiri bukannya tak menyadari pentingnya memberi mata pencaharian bagi warga asli di bekas lokalisasi. Sejak lokalisasi ditutup, Risma menginstruksikan agar dibentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bisa dilakukan oleh warga agar memiliki sumber mata pencaharian yang baru. Maka terbentuklah 13 UKM. Yakni pembuatan sepatu, tempe “Bang Jarwo”, batik “Putat Jaya”, konveksi, sablon, bandeng, manik-manik, samiler Samijaya (kerupuk singkong), minyak rambut, atau minuman. Batik Putat Jaya sendiri terdiri dari tiga kelompok, yakni Canting Surya, Albujabar dan Jarak Arum.
Keberadaan berbagai UKM tersebut, menurut Camat Yunus, telah bisa memberi penghidupan bagi sekitar 500 warga. “Tapi kami terus berupaya memfasilitasi para warga yang ingin dan mau memiliki usaha atau bekerja di UKM yang sudah ada,” katanya.
Berbagai upaya tampaknya terus diupayakan Risma. Salah satunya dengan meresmikan kawasan Dolly sebagai kampung wisata. Pada Minggu (21/2/2016), Risma meresmikan “Dolly, Kampung Wisata Penuh Cerita”. Nama Dolly dipertahankan mengingat nama itu sudah terlanjur mengindonesia dan bahkan mendunia.
Berbagai gang yang ada diberi tema sesuai keberadaan UKM di dalamnya. Sebut saja “Gang Samijali” untuk Gang Putat Jaya IV-A yang merupakan sentra pembuatan kerupuk singkong. Atau “Gang Remo”, nama tarian khas Surabaya, untuk Gang Putat Jaya III-A. Nama tersebut disematkan karena di dalamnya memang ada tempat latihan bagi generasi muda yang belajar tari Remo. Juga “Gang Batik” untuk Putat Jaya VIII-B.
Risma sendiri mengaku bakal terus berupaya memberdayakan ekonomi di kawasan eks lokalisasi melalui berbagai macam pelatihan keterampilan. “Dari pelatihan tersebut, warga diharapkan memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan,” kata Risma, di Balai Kota, pada Jumat (23/9/2016).
Ada harga yang harus dibayar untuk setiap kebijakan yang diambil. Risma memahami bahwa dia harus membayar kebijakannya menutup lokalisasi Dolly dengan mencarikan berbagai sumber penghidupan baru bagi warga yang tinggal di bekas lokalisasi tersebut. Tak mudah memang, tetapi bukan berarti tak bisa.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti