tirto.id - Sudah sejak lama manusia ingin menciptakan makhluk hidup tanpa proses pembuahan alami. Yakni tanpa melewati rangkaian pembuahan sel telur oleh sperma. Pada tahun 1885, Hans Adolf Eduard Driesch melakukan eksperimen yang menghasilkan petunjuk bahwa sel yang dipisahkan dapat tumbuh menjadi organisme lengkap. Tujuh belas tahun kemudian, Hans Spemaan memperjelas temuan Hans Driesch.
Spemaan bereksperimen dan menemukan fakta bahwa embrio pada hewan dapat dibuat non-alami berdasarkan proses nuclear transfer atau transplantasi inti sel terdahulu. Atas temuannya, ahli embriologi asal Jerman itu dianugerahi Nobel Kedokteran tahun 1935 karena berhasil membuka jalan para ilmuwan untuk melakukan transplantasi inti sel dengan material genetik lengkap. Ini menjadi dasar untuk pengembangan metode kompleks dalam kloning.
Selama bertahun-tahun kemudian, para ilmuwan terus berlomba menyempurnakan teknik dan menggabungkan berbagai metode untuk meningkatkan peluang keberhasilan kloning. Proses ini berjalan seiringan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler dan rekayasa genetik. Hewan seperti ikan dan katak telah berhasil dikloning oleh para ilmuwan sepanjang pengembangan ini.
Pada 22 Februari 1997, tepat hari ini 25 tahun lalu, tim peneliti dari Roslin Institute Edinburgh pimpinan Ian Wilmut memublikasikan informasi di jurnal Nature tentang kesuksesannya dalam mengkloning domba.
Melansir Time, mereka melakukan kloning dengan metode Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). Melalui metode ini, mereka berupaya mengambil DNA dari satu sel domba hamil sebagai donor. Kemudian sel donor itu sengaja dibuat kekurangan nutrisi agar berhenti membelah diri. Pada saat bersamaan, sel telur dari domba jenis lain juga diambil yang kemudian inti sel telurnya dibuang. Setelah itu, sel telur tersebut ditempatkan berdekatan dengan sel donor. Lalu dialiri listrik secara pelan agar terjadi proses pembentukan inti sel baru yang juga mengandung DNA baru. Maka terjadilah pembelahan sel hingga embrio muncul. Kemudian embrio ini ditanamkan di rahim domba betina pengganti.
Atau sederhananya: sel domba X diambil dan dibiakkan di laboratorium secara bersamaan dengan sel telur domba Y untuk mendapatkan sel telur normal. Para ilmuwan kemudian menanamkan hasil “racikan” itu ke domba betina pengganti.
Proses ini dalam praktiknya menemui jalan terjal dan berulang kali mengalami kegagalan. Dari 277 percobaan, para peneliti hanya mendapatkan 29 embrio yang mampu bertahan hingga seminggu. Semua embrio yang bertahan itu ditanamkan ke rahim domba pengganti. Namun hanya satu yang mampu bertahan selama berbulan-bulan. setelah 148 hari, embrio yang tersisa itu sukses melahirkan domba hasil kloning pada 5 Juli 1996 dengan nama Dolly.
Keberhasilan ini menjadi titik balik dalam pengembangan kloning. Bila umumnya kloning berasal dari sel embrio, dalam eksperimen Wilmut kloning berasal dari sel dewasa. Selain itu, kelahiran Dolly juga menandai keberhasilan manusia melakukan kloning mamalia untuk pertama kalinya—yang selama bertahun-tahun dipercaya mustahil dilakukan. Terlebih, hasil SCNT efektif menghasilkan kloning hewan yang kuat.
Inilah yang menyebabkan kemunculan Dolly dirayakan sebagai euforia kesuksesan ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang teoretis, kloning Dolly dianggap sebagai revolusi nyata di bidang bioteknologi karena menciptakan perspektif penelitian baru dalam biologi molekuler maupun teori evolusi.
Tapi di sisi lain, kemunculan Dolly yang mendobrak batasan penciptaan melahirkan perdebatan moralitas dan etika: Apakah pantas manusia berperan sebagai pencipta makhluk hidup? Apalagi keberhasilan ini diduga menjadi batu loncatan untuk melakukan tindakan yang lebih visioner: kloning manusia.
Ian Wilmut sendiri sudah sedari awal menduga bahwa penemuannya kelak memicu keprihatinan etis di seluruh dunia, khususnya perihal upaya mengkloningkan manusia. Pasalnya, SCNT diduga kuat dapat berjalan efektif jika diterapkan pada sel manusia hingga menghasilkan bayi. Namun, ia menegaskan bahwa penelitiannya murni untuk tujuan genetika. Ia juga tidak setuju dengan kemungkinan kloning manusia karena sangat tidak etis melakukan eksperimen terhadap manusia.
Dengan keberhasilan Dolly, para peneliti dapat mempelajari penyakit genetik dan menghindarinya di masa depan. Maka itu, dalam makalah penelitiannya, agar lebih netral secara moral, ia tidak menggunakan kata “kloning”, tapi menggunakan “Somatic Cell Nuclear Transfer”. Namun, bagaimapun juga para peneliti dan publik sudah paham bahwa tindakannya disebut sebagai kloning.
Tidak lama berselang sejak publikasi Dolly terbit, berbagai pihak mengeluarkan pernyataannya tentang kloning. Bahkan di antaranya terlihat menegaskan sikap tentang larangan kloning manusia. Vatikan, misalnya, menjadi salah satu yang pertama mengutuk kloning. Melalui buletin resminya L'Osservatore Romano 26 Februari 1997, Vatikan menyatakan sikap bahwa “baik dalam penelitian ilmiah dan eksperimen ada batasan yang tidak boleh dilanggar, baik dari sudut pandang etis maupun dari sudut pandang alam.”
Sementara WHO menyebut kloning manusia sebagai "sesuatu hal yang tidak dapat diterima secara etis karena akan melanggar beberapa prinsip dasar. Ini termasuk penghormatan terhadap martabat manusia dan perlindungan keamanan materi genetik manusia."
Sementara mereka yang mendukung kloning biasanya mendasarkan argumennya pada harapan bahwa kloning dapat menciptakan manusia “super”, tahan terhadap penyakit, dan sebagainya. Masalahnya, sepanjang penelitian, prosesnya dikhawatirkan akan mengancam keselamatan manusia yang jadi objek penelitian.
Bila kloning manusia mengacu pada proses pembuatan Dolly yang banyak mengalami kegagalan, berapa banyak anak yang lahir dengan “gagal”? Belum lagi jika kloning berhasil, bagaimana efek kloning reproduksi terhadap hubungan sosial manusia? Seberapa besar potensi manusia hasil kloning untuk tidak dikomodifikasikan sebagai produk penelitian?
Lain halnya dengan kloning tumbuhan dan hewan. Melansir riset Fermin Roland Schramm berjudul “The Dolly Case, The Polly Drug, and The Morality of Human Cloning” (1999), kloning terhadap dua makhluk hidup tersebut pada dasarnya tidak menimbulkan konflik moral yang besar selama dianggap perlu untuk kesejahteraan manusia dan penderitaan hewan dapat dihindari. Biasanya, pertentangan muncul dari segi etika lingkungan dan etika hewan. Namun, kondisi ini tentu berbeda dengan upaya kloning manusia karena menabrak aturan bioetika.
Perdebatan ini terus berlangsung selama bertahun-tahun kemudian setelah Dolly lahir. Terlebih pada tahun 2000-an, para ilmuwan sudah berhasil melakukan kloning terhadap primata, yakni monyet dan kera—hewan yang sejatinya memiliki kemiripan genetik dengan manusia.
Namun, Russel Blackford di The Conversationmenyebut bahwa belum ada langkah yang dapat dilakukan secara efektif dan aman di masa mendatang ihwal kloning manusia. Jika dipaksakan terjadi kloning melalui SCNT, kemungkinan kelahiran cacat akan sangat tinggi.
Jika mengesampingkan masalah etika dan moral, sampai sejauh ini tampaknya tidak ada alasan kuat untuk melarang kloning manusia—kecuali mungkin untuk sementara, berdasarkan argumen tentang keselamatan. Oleh karena itu, seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa seseorang di masa depan akan dapat melakukan kloning terhadap manusia, tentu dengan memperhitungkan keamanan.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi