Menuju konten utama

Kontroversi 'Anjay': Ketika Semua Masalah Tak Harus Berakhir Pidana

Tak semua masalah harus diselesaikan dengan pidana, contohnya, kontroversi kata 'anjay' yang menurut Komnas PA dapat merendahkan martabat.

Kontroversi 'Anjay': Ketika Semua Masalah Tak Harus Berakhir Pidana
Ilustrasi makian. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerbitkan pernyataan berjudul ‘Hentikan Menggunakan Istilah Anjay’ pada 29 Agustus lalu. Surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum Arist Merdeka Sirait dan Sekretaris Jenderal Dhanang Sasongko itu mengatakan dalam konteks tertentu ‘anjay’ mengandung unsur kekerasan dan merendahkan martabat seseorang.

Oleh karenanya, sebagaimana judul surat, mereka menganjurkan “lebih baik jangan menggunakan kata anjay, ayo kita hentikan sekarang juga.”

Mereka tak hanya menganjurkan, tapi juga mengingatkan bahwa karena berkonotasi negatif dan merendahkan martabat, pengucap kata ‘anjay’ telah melakukan kekerasan atau bullying sehingga “dapat dipidana”.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, bila ‘anjay’ memicu seseorang tersinggung, maka itu memang dapat menjadi delik aduan penghinaan. Dalam KUHP, tindak pidana penghinaan bertujuan merendahkan martabat orang lain secara sengaja dan bermaksud diketahui umum.

Apa yang penting dari hal itu adalah konteks penggunaan ‘anjay’. Batu uji penegak hukum berada di sini jika ada yang mengadu.

“Penegak hukum harus menguji itu. Kalau mau dijadikan pidana, harus dilekatkan pada konteks, objek, dan posisi kasus,” jelas Erasmus ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (31/8). “Jika ‘anjay’ diketahui umum adalah kata yang tidak merendahkan martabat, maka hilang unsur pidananya.”

Banyak kata yang jika dilepaskan dalam konteks tampak seperti menghina, seperti ‘anying’ maupun ‘jancuk’. Namun kalau dilekatkan ke konteks, kata tersebut justru bisa jadi tanda keintiman.

‘Anjay’ merupakan pelesetan dari kata ‘anjing’, yang mengalami perubahan bunyi dan bentuk. Secara pragmatik, kata akan ditentukan apakah bermakna sesuai kamus atau beda konteks, ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Endang Aminudin Aziz, Selasa (1/9/2020). “Karena kata tidak bermuatan apa pun hingga digunakan dalam konteks. Fenomena ‘anjay’ harus dilihat konteksnya,” ujarnya.

Untuk menilai makna kata perlu memerhatikan penutur, mitra tutur, apa yang dibicarakan, di mana, dan kapan pembicaraan terjadi. Variabel inilah yang berkontribusi dalam pemaknaan sebuah kata.

Hal serupa dikatakan pengajar di Departemen Linguistik Universitas Indonesia Totok Suhardijanto. Ia berpendapat kata ‘anjay’ tidak serta merta berkaitan dengan kata asal, ‘anjing’. “Pemakaian kata ‘anjay’ tak sesederhana untuk memaki, ada juga untuk menunjukkan kekaguman, keterkejutan, atau ketakjuban terhadap sesuatu,” ucap Totok kepada reporter Tirto, Selasa (1/9/2020).

Atas dasar itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan ‘anjay’ tak mesti berujung pidana. Pemidanaan dalam contoh kasus ini, penghinaan, adalah upaya paling akhir.

Polisi juga tak perlu repot-repot jika ada yang mengaku karena perkara ini. Alih-alih melanjutkan perkara, “polisi dapat memediasi,” kata Asfin kepada reporter Tirto, Senin (31/8/2020). Kepolisian bisa menjadi mediator kasus sesuai angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana maupun Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Ia juga menganjurkan delik penghinaan diubah dari penjara ke perdata saja, aspirasi yang sebetulnya telah diupayakan LSM yang fokus mengadvokasi reformasi hukum sejak beberapa tahun lalu.

Asal Usul

Komnas PA tak ujug-ujug mengeluarkan rilis tersebut. Mereka melakukan itu sebagai respons terhadap Lutfi Agizal, yang menyebut ‘anjay’ “dapat merusak moral bangsa”--judul video yang dia buat dan unggah di Youtube.

Lutfi Agizal juga ternyata menghubungi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti pada 28 Agustus sekira pukul 10.00. Aduannya sama, bahwa kata tersebut tidak baik. Retno lantas mengarahkannya untuk membuat pengaduan online resmi.

Ia juga meminta Retno menjadi narasumber di saluran Youtubenya.

Beda dengan Komnas PA, KPAI masih menganalisis aduan tersebut. “Maka KPAI belum memutuskan dan menyimpulkan apa pun terkait kasus ‘anjay’ yang dilaporkan Lutfi,” kata Retno kepada reporter Tirto, Senin (31/8/2020).

Sebagai lembaga negara, Retno bilang KPAI menjunjung tinggi kehati-hatian dan tidak terburu-buru. Jika diperlukan KPAI akan meminta pendapat ahli bahasa, katanya. Meski begitu, secara prinsip KPAI memang fokus menjaga anak-anak dari konten-konten negatif di internet dan media sosial.

Baca juga artikel terkait MAKIAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino