tirto.id - "Got on the bus and there was this tosser with his bag on the seat like other people didn't want to sit down. Tosser."
Sekilas tak ada yang salah dari kalimat itu. Hanya menunjukkan kekesalan pada orang egois yang menaruh tas di kursi bus. Hingga kita tahu bahwa tosser adalah idiom Bahasa Inggris Britania Raya untuk menyebutkan orang yang terlalu banyak bermasturbasi sehingga mengurangi cairan otak. Dengan kata lain: idiot.
Kalimat makian dari kaum Brits memang terdengar mengasyikkan. Ia bisa sepahit brotowali, tapi tetap terdengar anggun dan berkelas seperti komposisi “Unaccompanied Cello Suite No. 1, BWV 1007”. Kata makian dalam bahasa Inggris Brits memang tidak terlalu populer. Setidaknya kalah populer dengan kata makian American English yang populer berkat film Hollywood. Tapi kekayaan dan idiomnya bisa bikin kita tertawa hingga pipis di celana.
Kata fanny, misalkan. Meski sekilas terdengar manis dan merupakan nama normal bagi perempuan manapun, orang Brits biasa menggunakan kata itu sebagai kata pengganti vagina. Dalam makian, ia digunakan untuk menggambarkan seorang atau benda yang tolol. Ada pula kata belled, sebuah sinonim untuk penis, digunakan untuk menghina orang.
Kata makian di Inggris dan Eropa circa abad 18 dan 19 sempat menjadi kata-kata dalam kasta paling bawah dan dibenci. Karenanya kata makian itu kerap berusaha dikunci karena tabu. Mereka yang melontarkan kata makian akan dianggap amoral dan perlambang sampah masyarakat.
Untuk memaki, maka orang-orang berusaha memakai idiom untuk memperluas makna. Mereka mencomot nama benda, kegiatan mengasyikkan, hingga bagian tubuh, untuk menjadi kata makian.
Misalkan kata bollock. Ini adalah kata yang berarti biji pelir. Kemudian kata ini meluas jadi makian untuk orang-orang brengsek. Ada pula kata yang mengalami peyorasi seiring berubahnya standar moral orang Brits. Kata bloody yang dulu dianggap normal, sekarang dianggap sebagai makian yang menyinggung.
Pada tahun 1693, drama Maids Last Prayer menggunakan kata bloody dalam salah satu kalimatnya. Henry Fielding menggunakan kalimat bloody dalam Tom Jones, novel Bildungsroman-nya yang terkenal, yang terbit pada 1794.
Dari buku Holy Sh*t: A Brief History of Swearing yang ditulis oleh Melissa Mohr, kata bloody, oleh para kelas menengah, dianggap kata kasar yang hanya dipakai oleh "...orang-orang kelas bawah yang dungu nan bebal." Pada kenyataannya, kalimat ini masih dipakai hingga sekarang. Menurut penulis Irlandia, George Bernard Shaw, kata bloody digunakan oleh 4/5 warga Brits, termasuk Irlandia, Skotlandia, juga Wales.
Beberapa waktu lalu, Ofcom, sebuah lembaga perancang aturan penyiaran di Britania Raya, mewawancara lebih dari 200 orang perihal kata-kata yang dianggap kasar dan ofensif. Ada sekitar 150 kata makian yang disebutkan. Mulai dari yang berhubungan dengan anggota tubuh manusia, gender, etnis, hingga seksualitas. Semua kata makian itu lantas dikelompokkan menjadi empat bagian: mild, medium, strong, strongest.
Karena berkaitan dengan kebijakan penyiaran televisi, maka pengelompokan ini didasarkan pada calon penonton. Untuk kategori mild, kata-katanya dianggap oke untuk dilihat dan didengar anak-anak. Pada kelompok medium, kata-kata itu secara umum tidak bisa ditayangkan sebelum jam 9 malam, alias tidak boleh ditayangkan pada saat prime time. Pada kelompok strong, kata-kata dalam kelompok ini hanya bisa ditayangkan untuk konten orang dewasa.
Shaw benar. Kata bloody meski dianggap kasar, ternyata tidak kasar-kasar amat. Kata itu berada dalam kelompok mild, bersama dengan madah macam arse, damn, git, crap, atau cow. Menariknya, kata makian yang membawa-bawa nama tuhan, seperti god, goddamn, atau Jesus Christ masuk dalam kata makian kategori mild.
Sementara kata makian macam arsehole, bollocks (dasar biji, lu!), feck, shit, juga son of a bitch masuk dalam kategori medium. Diksi yang masuk dalam serapah kategori strong adalah bastard, beaver (arti aslinya tentu merujuk pada berang-berang), dan yang berkaitan dengan perkakas kelamin: cock, dick, dickhead, pussy, dan fanny. Lalu apa kata-kata makian yang amat kurang ajar nyaris tak terampunkan bagi orang-orang Britania itu? Ternyata hanya tiga: cunt, fuck, dan motherfucker.
Pada dasarnya, nyaris semua peradaban umat manusia punya kosakata makian masing-masing. Kalimat makian ini juga bisa jadi penanda kreativitas manusia. Karenanya, kalimat makian berkembang tidak hanya berupa satu kata. Bisa penggabungan dua, tiga, atau empat kata sekaligus. Misalkan kata fucktwat, yang penggabungan dua kata. Atau bloody fucking arsehole, kombo tiga kata makian sekaligus.
Indonesia sendiri punya banyak sekali variasi kata makian. Dari Sabang sampai Merauke punya kata makian masing-masing. Banyak dari kata-kata ini diambil dari kehidupan sehari-hari: nama binatang, perkakas tubuh manusia, benda tak elok dilihat pun dicium (macam feses), hingga kegiatan.
Salah satu kalimat makaian yang paling populer, bahkan mungkin memang yang paling populer, adalah jancuk. Kata makian yang berasal dari Jawa Timur ini tidak memiliki arti baku. Ia bisa diartikan sebagai keparat, brengsek, kalimat makian dan kemarahan, juga keheranan. Di era internet, kalimat jancuk ini mengalami penyederhanaan bentuk, yang banyak dipakai oleh anak-anak muda. Maka lahirlah kata coeg yang akrab dengan generasi milenial.
Kalimat makian lain seperti bajinguk, jingan, populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan di Sumatera, yang terkenal hingga nasional adalah pap ma kah (Aceh), pukimak (Medan dan dikenal di seluruh Sumatera), pantek (Padang), hingga kampang (Palembang). Di Makassar, makian yang paling tajam adalah telaso. Di Papua, banyak yang memaki dengan menggunakan kata cukimai, walau kata ini juga banyak ditemukan di daerah lain dan secara pengucapan masih mirip dengan pukimai. Sedangkan di Bali, makian terkasar adalah naskleng. Kalau di Jakarta, kata ngentot cukup sering dipakai, kata yang arti harfiahnya adalah bersetubuh (lihat addendum di bagian akhir naskah).
Sama seperti kata makian dalam Bahasa Inggris yang mengalami peyorasi dan perubahan makna, begitu pula kalimat makian dalam Bahasa Indonesia dan daerah. Kata jancuk, misalkan. Akan menjadi sapaan hangat nan bersahabat jika diucapkan kepada kawan baik. Bisa pula menjadi pujian yang tulus. Misal: jancok, arek iku cek uayune (Jancuk, anak itu cantik banget). Begitu pula kata-kata seperti asu, pukimak, juga naskleng yang kerap dilontarkan dalam tongkrongan sehari-hari.
Pada akhirnya, manusia memang tidak bisa melepaskan diri dari memaki. Kata-kata memang tak bisa dipenjara. Apalagi cuma oleh norma sosial. Bahkan, makalah berjudul Taboo Word Fluency and Knowledge of Slurs yang dimuat dalam jurnal Language Sciences mengubah persepsi banyak orang tentang memaki. Dari makalah itu, dijelaskan kalau orang yang bisa mengeluarkan kalimat makian terbanyak dalam satu menit, cenderung punya IQ yang lebih tinggi ketimbang orang yang punya kosakata makian lebih sedikit.
"Kajian itu menyimpulkan bahwa kekayaan kosakata makian adalah pertanda kekuatan retorikal yang mereka miliki," tulis John Stanley dari Business Insider.
Karena itu saya tak heran kalau seorang kawan yang terkenal cerdas dan jenius --dia jago bermain gitar, peneliti media, dan sekarang sedang menempuh studi master di Eropa-- bisa melontarkan kalimat sumpah serapah yang sangat otentik dalam sebuah guyonan bersama kawannya.
"Tokai micin berbumbu sate, lu!"
========
*) Terjadi perubahan kalimat, sebelumnya berbunyi: "Kalau di Betawi, orang biasa memaki dengan kata ngentot, kata yang arti harfiahnya adalah bersetubuh." (perubahan dilakukan pada 1 Juli 2017, pukul 09.00 WIB).
Addendum (ditambahkan pada 1 Juli 2017, pukul 09.30):
Banyak pembaca yang bertanya, sekaligus mempertanyakan, dari mana referensi kalimat yang diubah di atas (dan muncul dalam infografis yang kemudian beredar di media sosial). Kalimat yang diubah di atas menggunakan buku Kamus Sehari-hari Bahasa Betawi yang disusun oleh Sukanta (Penerbit Grasindo, 2010) sebagai rujukan. Dalam buku tersebut, tercantum di halaman 38, "entot" sebagai kata dasar "ngentot" masuk menjadi lema tersendiri.
Dengan mempertimbangkan beberapa catatan yang kuat dan kritik yang solid dari pembaca, redaksi merasa perlu melakukan perubahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kendati penulis mempunyai referensi sebagai dasar kalimat tersebut, sehingga tidak bisa juga dikatakan asal-asalan tanpa rujukan, tidak berarti kalimat tersebut dengan sendirinya solid. Penting untuk menengok referensi lain, misalnya Kamus Dialek Jakarta karya Abdul Chaer.
Mengingat ini pembahasan bahasa yang, dalam banyak segi, biasanya kompleks, tidak hitam putih, sekaligus dinamis. Terlebih merujuk Betawi, kelompok sosial yang menghuni Jakarta, kota yang paling melting-pot di Indonesia, tempat pertemuan berbagai anasir kebudayaan yang satu sama lain terus tumbuh, bergerak dan saling mempengaruhi -- termasuk dalam hal bahasa. Mana yang "asali" Betawi dan mana yang imbuhan dari khasanah kebudayaan lain amat mungkin bercampur dan, jika tak cukup jeli, bisa melahirkan kekeliruan analisis.
Sukanta sendiri, penulis Kamus Sehari-hari Bahasa Betawi yang dirujuk, menulis: "Kamus sehari-hari bahasa betawi ini merupakan jawaban atas ragam bahasa Betawi yang lahir dari paduan bahasa Nusantara dan asing yang terserap dan kini akrab digunakan dalam percakapan sesama warga Betawi ataupun dengan suku lain di Indonesia (huruf miring dari redaksi)."
Belakangan teringat, misalnya, makian "ngentot lu" yang masuk dalam buku Humor Mahasiswa Jakarta karya Prof. James Danandjaja, ahli folklore dari Universitas Indonesia, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan sekitar tiga dekade silam. Prof. James Danandjaja memasukkan makian itu dalam buku yang bertajuk "Jakarta", bukan "Betawi". Pilihan yang rasanya lebih tepat untuk mengakomodasi dinamika antara bahasa "yang asali Betawi" dengan bahasa "yang kontemporer dari Jakarta".
Mengikuti saran salah seorang pembaca, redaksi berencana menurunkan naskah tersendiri terkait aspek dan perkembangan kontemporer dalam bahasa Betawi -- sekaligus sebagai pertanggungjawaban redaksi guna menjadikan kritik dari pembaca sebagai bahan konstruktif untuk pendalaman topik. Terima kasih, sekaligus permohonan maaf, kepada pembaca yang menyampaikan keberatan, kritik dan catatannya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti