tirto.id - Debat Capres ke-4 bertema pertahanan dan keamanan serta hubungan luar negeri pada Sabtu (30/3) lalu menyisakan sejumlah pertanyaan tentang program riil dari kedua capres. Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, khususnya, menyampaikan beberapa pernyataan yang bertentangan terkait kedua isu yang didedah selama debat.
Dalam penyampaian visi misinya di awal acara, Prabowo menyampaikan pernyataan pembuka tentang Pancasila sebagai hasil dari kompromi besar para pendiri bangsa. Ia menutup penyampaian visi misi dengan penekanan bahwa anggaran pertahanan dan keamanan yang kecil perlu ditambah dan kebijakan luar negeri akan difokuskan untuk menjalin hubungan baik dengan semua negara.
“Di bidang hubungan internasional, kita menganut seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak. Kita akan baik dengan semua negara, dengan semua kekuatan di seluruh dunia,” jelas Prabowo.
“Kita akan baik, kita akan mencari hubungan yang saling menguntungkan, tetapi juga kita akan mempertahankan dan membela rakyat kita yang utama.”
Kendati demikian, ketika memasuki segmen ketiga dalam debat tersebut pada pembahasan bidang pertahanan-keamanan dan hubungan internasional, Prabowo seolah menolak pendekatan "bersahabat" melalui diplomasi. Saat itu ia sedang menanggapi pernyataan capres nomor urut 01, Joko Widodo.
Alih-alih menyampaikan bagaimana Indonesia meminimalisir terciptanya "musuh" dalam politik internasional, pernyataan Prabowo justru terdengar ingin mendorong pendekatan politik luar negeri yang lebih agresif.
Pada tema pertahanan dan keamanan, ia mengutip adagium sejarawan Yunani kuno Thucydides: “The strong will do what they can, and the weak suffer what they must” ("Yang kuat akan berbuat sekehendaknya, yang lemah harus menderita").
Alasannya sederhana: Indonesia dianggap tak memiliki anggaran yang cukup agar tak dipandang lemah oleh negara lain. Menurut Prabowo, situasi ini terjadi karena sejumlah kekayaan Indonesia yang bocor ke luar negeri, sebuah retorika yang konsisten ia sampaikan sejak kampanye Pilpres 2014.
“Karena itu kita lemah mau kita diplomasi apa, ini duta besar di sini, yourexcellency, welcome, apakah kita sadar bahwa sebenarnya kita diejek, dia senyum di depan kita, tapi we have nothing, we have no power,” jelasnya.
Diplomasi Nice Guy
Pernyataan serupa kembali diungkapkan Prabowo dalam sesi pertanyaan bidang hubungan internasional. Prabowo memilih bersikap skeptis menanggapi pernyataan Jokowi yang menjabarkan pencapaiannya selama memerintah.
Jokowi mengatakan bahwa semasa ia memimpin Indonesia berhasil memanfaatkan posisinya sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia untuk menjalankan peran mediator dalam konflik internasional, misalnya di Afghanistan dan Rakhine, Myanmar.
“Negara kita Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Saya kira, itulah kekuatan diplomasi kita di forum-forum internasional,” kata Jokowi.
Dalam pandangan Prabowo, diplomasi tak cukup hanya dengan menjadi mediator. Diplomasi sebuah negara dan upaya memperjuangkan kepentingan nasional “hanya bisa dan harus” disokong oleh kekuatan militer.
“Diplomat dibayar untuk menjadi orang baik, tapi dia tidak segan dia hitung kekuatan kita. Pak Jokowi, tolong, penasihat militernya. Bukan saya tidak percaya sama TNI, kapal selam berapa yang kita miliki, jenisnya berapa, kemampuannya berapa, pesawat berapa. Kita negara seluas Eropa, berapa skuad drone fighters yang kita punya, peluru kendalinya berapa,” ucap Prabowo.
“Pak [Jokowi], diplomasi kalau hanya senyum-senyum menjadi nice guy, yah begitu-begitu saja Pak.”
Ungkapan diplomasi sebagai pekerjaan nice guy ini kembali diulang Prabowo ketika Jokowi mengajukan pertanyaan terkait kondisi Rakhine di Myanmar kepada Prabowo. Dalam argumennya, Prabowo mengatakan tidak ada yang salah dengan Indonesia bermain peran nice guy sebagai mediator. Namun menurutnya, Indonesia belum dihormati oleh negara-negara asing.
“Kita tidak dihormati di ASEAN. Kita tidak dihormati oleh komunitas wartawan asing di Jakarta ... Indonesia negara yang punya potensi besar dan selalu akan punya potensi besar. Itu ejekan mereka kepada kita. Jadi kalo kita mau jadi nice guy, mediator, monggo,” kata Prabowo.
Prabowo menutup pernyataan dengan janji bahwa ia dan pasangan calon wakil presidennya, Sandiaga Uno, akan menjadikan Indonesia negara kuat dan dihormati karena rakyatnya sejahtera.
Caranya? Dengan menghentikan impor bahan makanan dari luar negeri.
Retorika yang Inkonsisten
Kontradiksi dalam retorika Prabowo juga dirasakan oleh Evan Laksmana, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS). “Saya rasa memang wajar kalau banyak yang bingung. Saya sendiri juga bingung,” sebutnya kepada Tirto.
Evan menilai, kebingungan tersebut muncul karena debat capres kemarin bukanlah debat yang bertujuan mempromosikan program terkait hubungan luar negeri maupun pertahanan dan keamanan, namun lebih pada upaya masing-masing kandidat untuk memperoleh skor politik (political points) dan menyerang satu sama lain.
“Ide atau proposal kebijakannya sendiri, menurut saya, tidak menjadi fokus mereka,” terang Evan.
Evan menilai kedua kandidat tidak memberi perhatian khusus pada kebijakan luar negeri karena hanya segelintir masyarakat Indonesia yang memang peduli akan isu tersebut. Akibatnya, retorika yang muncul hanya menyentuh hal-hal di permukaan, tidak mendetail. “Yang penting kubu satu bisa melawan atau menyerang kubu yang lain,” ujarnya.
Karena poin kampanye menjadi lebih penting dalam debat tersebut, lanjutnya, retorika Prabowo pun inkonsisten. Pasalnya, Prabowo membutuhkan argumen untuk menyerang pencapaian pemerintah Jokowi melalui diplomasi populisnya terkait isu Rohingya di Rakhine, Myanmar, serta isu Palestina dan Afghanistan.
“Agak susah bagi Pak Prabowo untuk menyerang record [Jokowi] ini. Saya rasa memang, ya, terus ditekankan yang penting adalah kekuatan militer dan seterusnya,” kata Evan.
Demikian pula dalam visi misi pertahanan-keamanan. Melalui debat keempat tersebut dan dokumen visi misi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evan juga mengatakan kesulitan untuk memprediksi bagaimana kebijakan Prabowo terkait sektor pertahanan dan keamanan.
“Secara kerangka umum, tidak ada sesuatu yang sangat menonjol, tidak ada sesuatu yang kita bisa disagree [tidak setuju], tidak ada sesuatu yang kita bisa kritisi, karena memang semuanya umum,” terangnya.
Argumen Jokowi yang berlatar belakang sipil, menurut Evan, selalu direspons oleh Prabowo dengan menonjolkan statusnya sebagai mantan anggota TNI. Evan menilai bahwa Indonesia dapat terjebak pada pola pikir masa lalu jika Prabowo menjabat sebagai presiden.
Pola pikir masa lalu yang dimaksud Evan adalah pemikiran bahwa “kita harus menaikkan anggaran pertahanan, kita harus mampu menolak asing”. Evan juga menyatakan bahwa kenaikan anggaran pertahanan tidak dapat begitu saja dibandingkan dengan negara lain. Sebagai catatan, Prabowo membandingkan anggaran pertahanan Indonesia dengan Singapura ketika berdebat.
Evan mengatakan perbandingan tersebut kurang tepat karena setiap negara memiliki pertimbangan strategis yang unik, bisa jadi karena faktor fiskal atau situasi pertahanan-keamanan.
“Isu yang penting adalah bukan masalah besar jumlah anggaran pertahanan, tapi bagaimana kita mengelola alokasi dan efisiensinya,” ujar Evan. “Kita tidak hidup di era di mana anggaran pertahanan bisa dengan sederhana dipatok ke negara tetangga lain, atau dengan serta merta pakai retorika 'asal Indonesia kuat', sementara persoalan-persoalan lain tidak dipertimbangkan. Ini tidak bisa.”
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf