Menuju konten utama

Konflik Berulang, Payung Hukum Pekerja Gig Sangat Dinanti

Sistem platform hari ini terbukti menghasilkan dan memperparah konflik antara driver daring dan konsumen.

Konflik Berulang, Payung Hukum Pekerja Gig Sangat Dinanti
Pengendara ojek daring menunggu pesanan melalui telepon pintarnya di Salatiga, Jawa Tengah, Senin (28/4/2025). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho./tom.

tirto.id - Perselisihan antara pengemudi (driver) ojek online (ojol) atau pengantar makanan/paket daring dan konsumen kembali terjadi. Kali ini, perselisihan terjadi di Sleman dan berakhir dengan kericuhan besar. Masalah ini bermula dari dugaan penganiayaan yang dilakukan pelanggan ShopeeFood terhadap kurir dan kekasihnya yang ikut mengantar makanan pada Kamis, pekan lalu.

Kejadian itu bermula ketika AD, pengemudi ShopeeFood, menerima order makanan dari TTW (25) pada Kamis (3/7/2025) sekitar pukul 20.45 WIB. AD saat itu mendapat pesanan ganda dan berinisiatif mengabari TTW bahwa pesanan kemungkinan akan datang tidak tepat waktu.

Usai pesanan selesai dibuat toko, AD yang turut membawa AML, kekasihnya, meluncur menuju lokasi TTW di Desa Sidoarum, Godean, Sleman.

Namun, jalanan macet karena adanya kirab budaya di Jalan Godean. Itu menyebabkan keterlambatan pesanan sekitar 5 menit. Sampai di lokasi, TTW memprotes AD atas keterlambatan pengantaran itu. Ketika membantu menjelaskan, AML justru mendapatkan tindak kekerasan berupa jambakan dan cakaran.

Imbas kejadian ini, pada Jumat (4/7/2025) malam hingga Sabtu (5/7/2025) dini hari, ratusan pengemudi ojol dan kurir daring melakukan aksi solidaritas dengan mendatangi rumah TTW. Namun aksi tersebut berujung kericuhan yang berimbas pada perusakan satu unit mobil polisi.

Pada Senin (7/7/2025), aparat kepolisian menetapkan tiga tersangka kasus penganiayaan AML yang merupakan kekasih driver pengantar makanan. Tersangka utama yakni Takbirdha Tsalasiwi Wartyana alias TTW (25), beserta kakak TTW berinisial THW (32), dan ayah TTW berinisial RTW (58).

Dua tersangka lain yang ditahan adalah BAP (18) dan MTA (18). Keduanya, diduga terlibat dalam perusakan mobil polisi ketika massa pengemudi ojol menggeruduk rumah TTW.

Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Wahyu Nugraha Agha Ari Septyan, menyampaikan bahwa TTW, THW, dan RTW telah ditahan di Polresta Sleman sejak Minggu (6/7/2025).

"Peran TTW dalam insiden tersebut adalah menarik baju korban dan meneriakkan kata-kata kasar. THW menarik dan mendorong korban hingga beberapa kali terjatuh, sementara RTW menarik rambut dan tangan korban," ujar Wahyu dalam konferensi pers di Polresta Sleman, Senin (7/7/2025).

Konferensi Pers Polresta Sleman

Polresta Sleman menggelar Konferensi Pers Ungkap Tersangka Kasus Dugaan Kekerasan Driver ShopeeFood dan Pengrusakan Mobil Polisi pada Senin, 7 Juli 2025 Aula Polresta Sleman. tirto.id/ Abdul Haris

Sebelumnya, Ketua Forum Ojol Yogyakarta Bergerak (FOYB) DI Yogyakarta, Rie Ramawati, sebagai perwakilan massa pengemudi ojol menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas insiden kericuhan di Sleman itu. Rie menyatakan bahwa para koordinator sudah memperingatkan massa agar tidak melakukan kerusuhan karena hanya berniat mendesak TTW melakukan permohonan maaf secara terbuka.

Terkait mekanisme double order dari aplikasi yang memicu persoalan, Rie menilai hal itu juga menjadi dilema bagi pengemudi dan kurir ojol. Pengemudi tak bisa menolak ketika ada double order karena itu memengaruhi poin. Di sisi lain, tambahan ongkos kirim yang diterima oleh pengemudi tak sebanding dan cuma berkisar Rp2.000 sampai RP2.500.

“Secara spontan dan disinyalir ada juga provokator [saat solidaritas], ada juga kemungkinan bukan driver ikut-ikutan karena di Bantulan tidak ada koordinator, semua di polresta [saat kerusuhan],” kata Rie dalam keterangan kepada media.

Absennya Payung Hukum

Peristiwa di Sleman ini adalah perselisihan antara pengemudi atau kurir daring dan pelanggan yang kesekian kali.Perselisihan semacam itu juga sering kali terjadi. Tidak jarang, cekcok antara keduanya berujung kekerasan, baik secara fisik maupun verbal.

Korbannya bisa datang dari kedua belah pihak, meskipun karena relasi yang timpang, pengemudi ojol lebih rentan menjadi sasaran tindakan sewenang-wenang dari pelanggan.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online (Ojol) Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyatakan bahwa sektor transportasi daring memang belum memiliki payung hukum (legal standing) yang kuat serta perlindungan hukum yang spesifik. Itulah sebabnya konflik antara pengemudi daring dan pelanggan terus berulang.

Sayangnya, perusahaan aplikasi atau aplikator dibebaskan dari tanggung jawab hukum pidana atau perdata saat terjadi cekcok imbas sistem yang mereka buat.

“Kejadian demi kejadian konflik seharusnya sudah harus menjadi perhatian atensi serius dari pemerintah dan negara agar hadir memberikan perlindungan hukum yang kuat berupa undang-undang atau setara UU seperti perppu,” kata Igun kepada wartawan Tirto, Senin (7/7/2025).

Dia menyarankan agar sistem aplikasi, khususnya metode pengambilan order, dirombak. Menurut Igun, idealnya adalah satu driver, satu pelanggan order.

Pengkategorian pengemudi layanan transportasi daring

Pengemudi layanan transportasi daring (ojek online) menunggu pesanan di kawasan Braga, Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/6/2025). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc.

Kejadian di Sleman, kata dia, diduga terjadi imbas driver menerima order ganda sehingga butuh waktu lebih lama memproses pesanan serta mengantarnya ke beberapa titik order.

Dia menilai hal tersebut murni kesalahan aplikator yang ingin mengambil untung besar dari sistem multiorder. Sayangnya, aplikator tak memperhitungkan bahwa pelanggan makanan juga memiliki toleransi waktu menunggu pesanannya. Oleh karena itu, keterlambatan rawan berujung pada konflik antara pelanggan dan driver pengantar.

“Penyelesaian konflik ideal adalah customer service pihak platform ikut aktif menghubungi pihak pelanggan sebagai pemesan bahwa akan mengalami keterlambatan. Serta, pada aplikasi seharusnya dibuatkan laporan detail bahwa pemesanan akan sampai berapa lama dan akan ada antaran ke beberapa titik,” ucap Igun.

Di sisi lain, pihak ShopeeFood menepis tudingan terjadi keterlambatan pengiriman makanan hingga berjam-jam yang dilakukan kurirnya. Head of Business Development ShopeeFood Indonesia, Rizkyandi Ramadhan, menyatakan bahwa keterlambatan pengiriman makanan yang dilakukan AD maksimal 8 menit karena kendala pada kondisi lalu lintas.

Dia menjelaskan bahwa sistem ShopeeFood secara otomatis memberikan estimasi waktu pesanan yang disesuaikan dengan jenis pengiriman yang dipilih oleh pelanggan di aplikasi. Dia juga menyayangkan kejadian yang menimpa AD dan kekasihnya serta insiden kericuhan usai aksi solidaritas pengemudi daring.

"Estimasi waktu pengiriman dapat berubah tergantung pada kesiapan pihak merchant, ketersediaan mitra pengemudi, kondisi cuaca, kondisi lalu lintas, maupun kondisi lainnya baik yang terduga atau tidak. Jika ada perubahan, sistem secara otomatis memperbarui estimasi waktu yang ditampilkan di aplikasi," ujar Rizkyandi dalam keterangan tertulis, Senin (7/7/2025).

Menteri UMKM usulkan ojol masuk kategori UMKM

Pengendara ojek daring mengantar barang di Cideng, Jakarta, Rabu (10/3/2025). Menteri Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengungkapkan pemerintah akan memasukkan pengemudi ojek online ke dalam kategori pelaku UMKM melalui revisi Undang-Undang UMKM yang ditargetkan dibahas pada 2026 agar mempunyai payung hukum yang jelas. ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/Spt.

Perlindungan Pekerja Gig Dinanti

Pakar Ketenagakerjaan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Tidar, Arif Novianto, menilai absennya perlindungan hukum dan status pekerjaan yang jelas bagi pekerja gig seperti pengemudi daring membuat mereka sangat rentan, termasuk terhadap kekerasan dari konsumen.

Dalam sistem kemitraan yang disebut Arif “semu”, pengemudi daring tidak diakui sebagai pekerja formal. Alhasil mereka tidak mendapatkan jaminan hukum, perlindungan ketenagakerjaan, ataupun saluran keluhan yang adil. Relasi kerja yang dikaburkan secara sistemik itulah yang berujung negara dan aplikator sering lepas tangan saat terjadi konflik atau kekerasan.

“Konflik antara konsumen dengan driver serta kerentanan yang dialami driver ini tidak muncul secara alamiah. Ia didesain oleh platform yang menempatkan driver dalam posisi subordinat di hadapan konsumen,” kata Arif kepada wartawan Tirto, Senin (7/7/2025).

Di balik jargon perkembangan ekonomi digital, sistem kerja gig mengalihkan seluruh risiko pada para pekerja. Sementara itu, konsumen dimanjakan sebagai pusat orientasi bisnis. Hal Ini dinilai Arif menciptakan relasi kuasa yang timpang.

Itu membuat driver seakan “boleh” dimaki-maki, dinilai buruk tanpa ada banding, atau dianiaya. Sementara itu, perusahaan aplikator berlindung di balik sistem aplikasi sambil menghitung untung tanpa perlu repot bertanggungjawab.

Sistem platform hari ini terbukti menghasilkan dan memperparah konflik antara driver daring dan konsumen. Salah satu contohnya adalah fitur multiple-order yang dibuat demi efisiensi dan profit perusahaan. Sistem itu berjalan tanpa sepengetahuan atau persetujuan konsumen.

Ketika keterlambatan terjadi, yang disalahkan adalah driver, bukan aplikator yang merancang sistem itu. Perusahaan aplikator, kata Arif, menciptakan ilusi efisiensi dengan mengorbankan relasi sosial antara konsumen dan driver.

“Belum lagi dengan adanya program seperti aceng [argo goceng], yaitu sistem bayaran murah Rp5 ribu per order, yang memaksa driver mengambil order sebanyak mungkin demi mengejar target pendapatan tertentu. Akibatnya, beban kerja meningkat, tekanan emosional makin tinggi, dan potensi konflik dengan konsumen pun melonjak,” terang Arif.

UNJUK RASA PENGEMUDI OJEK DARING

Sejumlah pengemudi layanan ojek daring berunjuk rasa di depan kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/8/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang masih terdapat celah yang membuat pekerja gig seperti driver daring tak dianggap setara dengan konsumen.

Kadang, konsumen sendiri dinilai tidak sadar dengan layanan yang mereka pilih dan menimbulkan konsekuensi, seperti waktu antar yang lebih lama. Sedangkan, pekerja gig hanya menjalankan sistem.

“Harusnya, driver dan konsumen akhir dianggap sebagai konsumen semua dan setara. Driver pun bisa menilai dan mengadukan perlakuan konsumen kepada platform,” ucap Huda kepada wartawan Tirto, Senin (7/7/2025).

Sistem platform, kata Huda, seharusnya dapat memberitahukan jenis layanan yang dipesan oleh konsumen lewat estimasi waktu tempuh atau pemberitahuan bahwa sedang ada lebih dari satu pemesan secara transparan. Sistem pemberitahuan itu dinilai dapat meminimalisasi kejadian seperti kerusuhan di Sleman terulang kembali.

Sementara itu, Peneliti Bidang Ekonomi dari The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, menegaskan tanpa perlindungan hukum yang tegas dan jelas bagi sektor pekerja gig, kejadian konflik antara pelanggan dan driver daring akan terus terjadi. Perlu ada pengaturan yang mengatur pertumbuhan pekerja gig di Indonesia yang saat ini sudah semakin banyak.

Rusta mendorong pemerintah segera membenahi regulasi perlindungan hukum bagi seluruh jenis pekerja sektor ekonomi gig. Regulasi itu mesti mengatur hak dan kewajiban pekerja, perlindungan sosial, keselamatan dan kesetaraan kerja, hingga perlindungan kekerasan.

“Hal ini sangat penting untuk memastikan ekosistem dan relasi yang sehat bagi para pemangku kepentingan di sektor ini,” kata Rusta kepada wartawan Tirto, Senin (7/7/2025).

Janji Kementerian Ketenagakerjaan pada Februari 2025 lalu soal pengaturan pekerja gig seperti driver daring amat dinanti realisasinya. Tidak seharusnya driver dan konsumen ditempatkan dalam suatu relasi yang bertentangan.

Aplikator juga tidak bisa cuci tangan apabila terjadi konflik antara driver dan pelanggan. Harapannya, segala konflik dapat diselesaikan dengan baik dan adil tanpa kekerasan dan anarki.

Baca juga artikel terkait REGULASI OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi