Menuju konten utama

Koalisi Sipil Sebut RUU KUHAP Lemahkan KPK Berantas Korupsi

Koalisi menilai, ada 9 poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi mengganggu penanganan tindak pidana korupsi, salah satunya menghilangkan wewenang UU Tipikor.

Koalisi Sipil Sebut RUU KUHAP Lemahkan KPK Berantas Korupsi
Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menilai revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi memicu pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan fungsi penindakan hukum.

Kelompok sipil menilai, sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi menurunkan efektivitas, fleksibilitas, dan independensi KPK pada aspek tindak pidana korupsi (Tipikor).

“Alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, RUU KUHAP justru memberikan birokrasi pada upaya pro justitia yang selama ini berjalan di KPK,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi dalam keterangannya, Rabu (23/7/2025).

Mereka menyoroti 9 poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi mengganggu penanganan tindak pidana korupsi. Pertama, adanya pertentangan norma peralihan yang tercantum dalam Pasal 329 dan 330 RUU KUHAP yang berpotensi menghilangkan ketentuan acara pidana khusus dalam pemberantasan korupsi.

“Pasal 329 dan 330 RUU KUHAP mengedepankan asas lex posterior derogat legi priori, yang bertentangan dengan prinsip kekhususan dalam UU KPK dan UU Tipikor (lex specialis),” terang mereka.

Kedua, koalisi juga menyoroti Pasal 327 yang dapat membatasi KPK dalam menyelesaikan perkara yang sedang berjalan dengan hanya menggunakan KUHAP dan mengabaikan hukum acara khusus yang dimiliki KPK.

Selain itu, koalisi menyoroti penyempitan definisi dalam penyelidikan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 8 RUU KUHAP. Pasal tersebut dinilai tidak mencerminkan standar KPK yang mewajibkan bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan sehingga berisiko menghambat efektivitas kerja awal KPK.

Keempat, RUU KUHAP mengandung pembatasan upaya dan koordinasi yang birokratis. Dalam upaya paksa, hanya bisa dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa.

“Tidak menjangkau saksi atau pihak lain yang kerap krusial dalam kasus korupsi. Selain itu, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahapan mengancam independensi kerja KPK,” tulisnya.

Berikutnya, adanya potensi pelemahan mekanisme penyadapan. Koalisi mengatakan RUU KUHAP mengatur penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke undang-undang khusus. Hal ini mengabaikan wewenang KPK untuk menyadap sejak penyelidikan. Koalisi menilai, hal ini berpotensi menghambat operasi tangkap tangan (OTT).

Lalu, RUU KUHAP juga dinilai berpotensi menunda penanganan perkara melalui prapreadilan. Berdasarkan Pasal 154 RUU KUHAP, sidang pokok perkara tidak bisa dimulai sebelum proses praperadilan selesai. Hal ini berpotensi dijadikan taktik penundaan oleh tersangka korupsi.

Ketujuh, adanya ketidakjelasan kewenangan dalam perkara konektivitas. Menurut koalisi, RUU KUHAP belum mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan kewenangan KPK menangani korupsi oleh aparat militer. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perkara yang melibatkan unsur militer dan sipil.

Selanjutnya, adanya tumpang tindih perlindungan saksi dan korban. RUU KUHAP hanya mengakui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pelaksana perlindungan saksi. Sehingga, kewenangan KPK diabaikan, yang mana sebagaimana diatur dalam UU KPK.

“Mengabaikan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK, yang berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi dan keterlambatan,” tulisnya.

Terakhir, koalisi menilai kewenangan penyidikan dan penuntutan terancam. Pasal 8 ayat (3) RUU KUHAP membuka celah transaksional baru. Pada sistem tersebut, seluruh berkas perkara yang berasal dari penyidik tertentu, termasuk penyidik KPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada penyidik Polri sebelum sampai ke tangan penuntut umum.

Koalisi menilai hal tersebut menciptakan dua masalah sekaligus, yakni pertama, adanya potensi penghambatan administratif dalam jalur koordinasi yang tidak perlu.

Kedua, adanya kerawanan manipulasi proses hukum, termasuk kemungkinan intervensi dalam hal waktu, substansi, atau bahkan keputusan apakah perkara akan dilanjutkan ke penuntutan atau tidak.

Baca juga artikel terkait RUU KUHAP atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher