Menuju konten utama
Miroso

Kisah Para Tukang yang Membangun Meja Makan

Keberadaan para “tukang” masak ini menduduki peranan penting dalam hajat-hajat orang Indonesia.

Kisah Para Tukang yang Membangun Meja Makan
Header Miroso Tukang di Meja Makan. tirto.id/Tino

tirto.id - Anthony Bourdain dalam Kitchen Confidential: Adventures in the Culinary Underbelly (2000) menyebut memasak sebagai sebuah bentuk kriya pertukangan. Bourdain menganalogikan masakan adalah katedral-katedral besar di Eropa yang berdiri kokoh sampai hari ini berkat tangan-tangan terampil para tukang yang menopang kerja-kerja arsitek.

“Good cook is a craftsman, not an artist," tulisnya.

Arsitek cum penulis Avianti Armand dalam sebuah wawancara dengan BBC melihat konsep tukang sebagai keterampilan dan nilai hidup yang dilakoni para pembuat bangunan terhadap material bangunan. “Arsitektur tidak pernah merupakan hasil alone genius,” cetusnya. Menurut Avianti, untuk mendapatkan pengetahuan material bangunan, arsitek harus banyak berdiskusi dengan para tukang.

Di masyarakat yang menempatkan setiap fase hidup sebagai sebuah ritual, keberadaan para “tukang” masak ini menduduki peranan penting dalam hajat-hajat orang Indonesia. Mereka yang diminta untuk memasak ini bisa siapapun. Dari yang memang kesehariannya berjualan makanan sampai orang-orang biasa. Balas jasanya bisa berupa nominal tertentu atau sejumlah bahan pokok dan lauk pauk hajatan buat si tukang dan keluarganya.

Para tukang masak ini punya tanggung jawab besar. Ada pameo bahwa kesuksesan suatu hajatan bukan dari dekorasi megah atau hiburan yang meriah, tapi justru dari perut-perut tetamu yang kenyang terisi. Ketika tidak ada cibiran tamu dari hidangan yang disajikan, maka disitulah pencapaian tertinggi si empunya hajat.

Untuk itulah tukang masak ini harus punya kemampuan teknis sampai non-teknis. Dari menghitung porsi menu, berbelanja bahan baku, mengatur tenaga kerja di dapur, manajemen waktu masak, sampai menangkal gangguan-gangguan supranatural. Mau heran tapi itulah Indonesia.

Masyarakat Bali mengenal mancagera yang tidak hanya menjadi kepala tukang masak tapi juga harus menguasai penyajian persembahan untuk para dewa. Kelalaian pada aspek spiritual ini bisa berakibat fatal. Masakan bisa tiba-tiba basi atau tidak pernah matang. Laporan Kompas tahun 2019 menyebutkan tidak ada pelajaran formal untuk menjadi mancagera walaupun ia harus rajin membuka lontar yang berisi aturan tentang sesaji seperti Dharma Caruban.

Di Pesisir Selatan, Sumatera Barat sosok kepala tukang masak berhubungan erat dengan “dukun rumah”. Jika ada indikasi gangguan-gangguan magis seperti nasi yang tak kunjung masak, air yang tidak mau mendidih, atau api tungku yang nyalanya kecil, “dukun rumah” ini akan melihat apakah ada orang-orang sekeliling yang berniat jahat. Pihak-pihak yang punya itikad buruk ini kadang menanam beberapa benda di sekitar tungku yang punya kekuatan magis untuk mengganggu tugas tukang masak.

Dalam praktiknya, para tukang biasanya punya spesialisasi sendiri-sendiri. Dari memasak nasi, lauk, sampai menyeduh teh. Dalam tradisi masak basamo yang kerap dilakukan masyarakat Minang tiap ada hajatan penting, biasanya ada pembagian tugas per rumah tangga untuk memasak lauk pauk.

“Masak basamo biasanya dilakukan di rumah yang punya acara. Kalau rumahnya tidak muat, nanti dibagi tanggung jawabnya ke rumah lain,” kata Meira Sabila, perantau asal Bukittinggi yang kini bermukim di Bogor, Jawa Barat.

Menurut perempuan dari suku Guci ini ada beberapa faktor yang dijadikan patokan dalam pembagian tugas memasak. Mulai dari reputasi, kedekatan dengan empunya hajat, juga kecocokan waktu.

“Jadi ada rumah yang secara khusus mempunyai spesialiasi memasak rendang. Juga ada yang terkenal dengan masakan asam padehnya,” ujarnya.

Sementara dalam hajatan masyarakat Yogyakarta dan sekitar, urusan menyeduh teh memiliki divisi khusus beranama patehan. Tugasnya menyiapkan unjukan sebagai elemen penting dalam ideologi USDEK yakni unjukan (minuman), sop (sup), daharan (makanan utama), es, dan kundur atau pamit pulang. Tukang patehan ini umumnya adalah laki-laki yang memiliki kompetensi mulai dari mengoplos teh, merebus air dalam tungku kayu, sampai menyeduh teh yang ternyata ada hitungan-hitungan komposisi takaran dan waktunya.

Konsep tukang ini mengingatkan dengan konsep ndandakke yang familiar di pengalaman kuliner personal saya. Ndandakke atau “membuatkan” dalam bahasa Jawa secara sederhana adalah meminta tolong kepada orang-orang yang dianggap mumpuni untuk membuatkan sebuah sajian dengan memberikan bahan-bahan mentah buat diolah. Bisa dari penjual makanan, keluarga, atau kenalan dekat. Di regional Jawa Tengah, praktik ini bahkan menjadi model bisnis kuliner.

Mendiang Bondan Winarno dalam buku 100 Mak Nyus Joglosemar (2017) menyebut penjual nasi goreng babat di Semarang awalnya hanya membawa bumbu, babat rebus, serta tungku kayu berikut perlengkapan masak di pikulannya.

“Bila kita ingin makan nasi goreng, kita keluar dengan membawa nasi putih dan penjaja akan menggoreng nasi putih kita dengan babat dan bumbu-bumbunya,” tulis Pak Bondan.

Infografik Miroso Tukang di Meja Makan

Infografik Miroso Tukang di Meja Makan. tirto.id/Tino

Saat tinggal di Muntilan, Magelang, saya bersinggungan dengan praktik ndandakke yang mirip dengan cerita Pak Bondan. Jika sedang ingin makan nasi goreng campur bakmi alias magelangan atau nasi godog, orang tua saya tinggal menunggu Pak Urip si penjual bakmi dan nasi goreng lewat depan rumah Simbah. Sepiring nasi putih dalam beberapa saat sudah menjadi seporsi magelangan atau sego godog hangat dengan citarasa bawang putih yang dominan serta aroma asap khas arang kayu yang menguar.

Kocaknya, Pak Urip kerap lupa menghitung kebutuhan bahan baku. Jadilah ia acap meminta beberapa siung bawang putih atau beberapa sendok garam dapur ke pelanggannya. Oleh Pak Surip pemberian dari pelanggannya ini dibarter dengan ekstra topping seperti kulit ayam atau balungan (tulang).

Ada pula cerita Juan, kawan SMA saya. Ia adalah pelanggan martabak telur Pak Mun yang mangkal di Jalan Sayangan samping klenteng Hok An Kiong, Muntilan. Seringkali ia membawa telur sendiri dari rumah untuk didandakke menjadi martabak telur oleh Pak Mun.

“Tidak semua penjual mau dengan cara ini,” kata Juan yang kerap ndandakke martabak mulai dari SMA sampai ia lulus kuliah.

Untuk seporsi martabak yang dibandrol Rp25 ribu, ia mendapat potongan harga 5 ribu rupiah jika membawa telur sendiri. Ia juga pernah ndandakke nasi goreng di warung bakmi dekat rumahnya.

“Yang penting harus tanya dulu ke penjualnya,” kata Juan yang saat ini menjadi guru olahraga di sebah SD negeri di Sukoharjo.

Momen hari raya atau hajat keluarga menjadi interaksi dengan para craftsman untuk ndandakke. Untuk abon misalnya, Simbah memasrahkan pengerjaannya pada adik perempuannya. Selepas Iduladha, daging sapi hak shohibul qurban milik Simbah diolah oleh Mbah Mah, nama adik perempuan simbah, menjadi abon sapi yang tiada lawan. Abon Sapi ini suwiran dagingnya begitu konkrit. Berpuluh kali lebih tebal dan padat dari abon olahan pabrik yang biasa dijadikan lauk sarapan darurat saat ibu lupa masak. Warnanya coklat berkilauan dari kuatnya jejak gula merah. Jejak bumbu ketumbar serta lengkuasnya menapak dengan kuat.

Buat Simbah, abon ini begitu sakral. Ditempatkannya dalam stoples beling dan diletakkan tersembunyi lemari makan dengan tumpukan perabot pecah belah sebagai kamuflase. Beberapa cucu yang tahu harta karun ini kadang mencuri kesempatan mengambil beberapa tangkup abon untuk dimakan layaknya kudapan. Satu kali, dua kali, praktik lancung ini berhasil dilakukan. Tapi nasib apes selalu datang tanpa permisi.

Simbah menangkap basah para berandal cilik ini, termasuk saya, saat sedang asyik masyuk mengudap abon. "Dinggo lawuh, ora digadoni! (dipakai buat lauk makan nasi, bukan dibuat cemilan)!” begitu omelan Simbah. Saat ini stoples beling Simbah sudah tidak lagi terisi abon Mbah Mah yang sudah meninggalkan kami semua beberapa tahun lalu. Al-Fatihah.

Sosok crafter yang lain adalah istri Pak Mar, bekas sopir Pakde saat dulu menjadi anggota dewan di Kabupaten Magelang. Saat saya menikah sepuluh tahun silam, Pakde secara khusus membawakan wajik pandan dalam perjalanan sekitar lima ratus kilometer dari Muntilan menuju Bogor.

Wajik Ny. Week boleh merajai seantero eks Karesidenan Kedu, tapi selera saya tetaplah wajik pandan buatan istri Pak Mar. Wajik ini memenuhi semua syarat akreditasi: tidak terlalu lembek, tapi juga tidak ngletis atau berbutir. Saat dimakan tangan pun tidak lengket karena sudah matang sempurna. Wajik ini hadir hampir di semua hajat cucu-cucu Simbah. Buat saya, wajik ini punya kisah harunya sendiri.

Beberapa hari sebelum keluarga besar berangkat ke Bogor untuk pernikahan saya, Pak Mar datang ke rumah Pakde. Diantarkannya beberapa loyang wajik pandan warna hijau pucat buatan istrinya tanpa mau dibayar sepeserpun. Rupanya beliau tahu saya keranjingan wajik buatannya saat masih menumpang di tempat Pakde selama SMA. Dan wajik ini adalah kado pernikahan dari Pak Mar.

Keberadaan para tukang ini menunjukkan masakan sesungguhnya adalah sebuah kerja kolektif yang membentuk identitasnya sendiri.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Fakhri Zakaria

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Fakhri Zakaria
Penulis: Fakhri Zakaria
Editor: Nuran Wibisono