Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Kelam George Stinney Jr, Remaja yang Dieksekusi Mati

Stinney dituduh membunuh dua anak perempuan kulit putih. Dia diinterogasi di sebuah ruangan kecil, sendirian tanpa orang tuanya, tanpa pengacara.

Kisah Kelam George Stinney Jr, Remaja yang Dieksekusi Mati
Header Mozaik George Stinney Jr. tirto.id/Fuad

tirto.id - Dua jenazah anak kecil berkulit putih ditemukan di selokan dangkal di hutan wilayah Alcolu, South Carolina pada 1944. Dari rumor yang beredar, Betty June Binnicker yang berusia 11 tahun dan Mary Emma Thames, 7 tahun, sedang mengumpulkan bunga ketika mereka diikuti, diserang, dan dipukuli dengan sangat parah hingga tengkorak mereka retak. Sontak penemuan jenazah ini menggemparkan seluruh kota.

Pada dekade 1940-an, penduduk kota di sana terbagi dua berdasarkan warna kulit: putih dan hitam. Tempat ibadah mereka pun terpisah. Green Hill Missionary Baptist Church dikenal sebagai gerejanya orang kulit hitam, sedangkan Clarendon Baptist Church adalah tempat ibadah khusus kulit putih. Dari gereja Green Hill hanya diperlukan beberapa menit berjalan kaki untuk mencapai selokan dangkal tempat jenazah itu dibuang.

Kecurigaan dengan segera jatuh pada seorang anak laki-laki kulit hitam berusia 14 tahun bernama George Stinney Jr. Kecurigaan itu didasari oleh informasi yang menyebutkan bahwa Stinney bersama saudara perempuannya, Amie Ruffner, merupakan orang terakhir yang melihat dua gadis kecil itu ketika berada di sebuah ladang dekat Alcolu.

George Junius Stinney Jr. adalah remaja kelahiran 21 Oktober 1929 yang sejak lahir tinggal di Pinewood, Carolina Selatan, AS. Ia anak bungsu dari delapan bersaudara di keluarga Stinney.

Mendengar informasi itu, polisi negara bagian langsung bergerak cepat. Tanpa bukti dan saksi lebih lanjut, mereka mendatangi rumah Stinney, memborgolnya bersama kakak laki-lakinya, sementara dua adik perempuan mereka bersembunyi di halaman belakang rumah.

Tanpa kehadiran orang tua mereka yang malam itu sedang pergi, polisi menggelar interogasi singkat dan menyatakan bahwa Stinney telah mengakui perbuatannya. Tiga bulan kemudian, Stinney diganjar hukuman mati.

Masalahnya, saudara-saudara Stinney yakin bahwa pengakuannya itu merupakan manipulasi pihak kepolisian. Stinney dijadikan kambing hitam dalam kasus pembunuhan sadis ini. Stinney diinterogasi di sebuah ruangan kecil, sendirian tanpa orang tuanya, tanpa pengacara.

Di masa itu, hak pendampingan penasihat atau pengacara memang belum diatur secara legal.

Akhirnya setelah interogasi, mereka menggiring Stinney ke pengadilan. Dalam ruang sidang yang tak mengizinkan satupun warga kulit hitam masuk, Stinney diwakili oleh seorang pengacara pajak yang tidak pernah memperdebatkan kasus pidana.

Persidangan itu juga gagal menghadirkan satupun saksi karena satu-satunya bukti resmi yang memberatkan Stinney adalah kenyataan bahwa ia telah berbicara dengan gadis-gadis itu sehari sebelumnya. Meskipun kurangnya bukti nyata, Stinney didakwa melakukan pembunuhan.

Harian The Washington Postmenulis tentang persidangan ini. Setelah persidangan dua jam dan pertimbangan juri, yang semuanya berkulit putih, selama 10 menit, Stinney dinyatakan bersalah atas pembunuhan pada 24 April dan dijatuhi hukuman mati dengan metode kursi listrik. Hal ini sah secara hukum karena pada saat itu, usia 14 tahun sudah dikategorisasi sebagai usia tanggung jawab pidana.

Stinney dieksekusi pada 16 Juni 1944, hanya 83 hari setelah jenazah Betty dan Marry ditemukan. Ia disetrum di penjara negara bagian South Carolina, dan menjadi orang termuda yang dieksekusi di Amerika Serikat pada abad ke-20. Perawakan Stinney yang kecil membuat tali kursi listrik tidak pas untuknya, dan di kemudian hari menjadi salah satu faktor utama munculnya isu ketidakadilan dalam kasus ini.

Infografik Mozaik George Stinney Jr

Infografik Mozaik George Stinney Jr. tirto.id/Fuad

Keadilan yang Datang Terlambat

Pada peringatan lima puluh tahun eksekusi saudara laki-lakinya, Katherine Robinson, anak sulung dari dua saudara perempuan Stinney, menceritakan bahwa George dan Amie pergi keluar untuk menggembalakan sapi milik keluarga mereka dan kemudian mereka kembali ke rumah.

Dua puluh tahun kemudian pada awal tahun 2014, baik Katherine maupun Amie Ruffner, memberikan rincian lebih lanjut. Di bawah sumpah, mereka bersaksi bahwa George, bersama dengan Amie yang berusia tujuh tahun, telah membawa sapi dari gudangnya di belakang rumah mereka dan membawanya melintasi rel kereta api ke suatu tempat yang terlihat dari rumah tersebut.

Saat itulah mereka melihat dua gadis muda berkulit putih muncul mendorong sepeda mereka. Dua gadis itu berhenti untuk menanyakan apakah Stinney tahu di mana mereka bisa memetik bunga. Katherine yang berusia sembilan tahun berada di dalam rumah ketika ia mendengar dua gadis itu mengobrol dengan saudaranya. Amie mengaku bahwa ia tidak mengenali gadis-gadis kulit putih tersebut. Sejauh yang ia tahu, keduanya belum pernah ke desa bagian Hitam sebelumnya.

“Bagi Katherine dan Amie, itu hanyalah hari biasa. Namun, di bagian Alcolu tempat kedua gadis itu tinggal, hari itu benar-benar sama sekali tidak biasa. Saat sore hari semakin larut, Betty June dan Mary Emma tidak kembali ke rumah. Ibu Betty June yang kembali ke rumah mereka sekitar pukul 04.30 dan langsung merasakan ada yang tidak beres,” tulis Eli Faber dalam bukunya The Child in the Electric Chair: The Execution of George Junius Stinney Jr. and the Making of a Tragedy in the American South (2021:28).

Pada tahun-tahun berikutnya, ketidakadilan yang terjadi di seputar persidangan Stinney mulai menyedot perhatian publik. Kurangnya faktor keadilan, perwakilan hukum yang tidak memadai, dan kurangnya bukti fisik, termasuk keadaan yang dipertanyakan seputar pengakuan Stinney melahirkan begitu banyak kecurigaan.

George Frierson, sejarawan kelahiran Alcolu, mulai menyelidiki kasus ini pada 2004 setelah sebuah artikel kecil di surat kabar lokal mengingatkannya akan kasus tersebut. Semakin banyak ia meneliti, ia semakin yakin dengan ketidakbersalahan Stinney. Frierson pun mengambil langkah memperjuangkan pembebasan George dari tuduhan.

Berbekal penelitian bertahun-tahun, dengan cermat ia meninjau berkas kasus, menemukan bukti baru, dan mengungkap kelemahan mencolok dalam proses persidangan awal.

Semakin meningkatnya tekanan dari para pendukung Stinney Jr., sistem hukum AS akhirnya meninjau kembali kasus tersebut. Pada 2014, hukuman terhadap George dibatalkan oleh Hakim Pengadilan Wilayah, yang mencatat bahwa George belum menerima persidangan yang adil dan hak konstitusional Amandemen Keenamnya telah dilanggar. Tujuh puluh tahun setelah dihukum mati, George Stinney Jr. dibebaskan secara hukum.

Kisah George Stinney Jr. menjadi pengingat akan salah satu masa paling kelam dalam sejarah hukum Amerika Serikat. Hingga kini, kasusnya diabadikan sebagai simbol kemampuan manusia yang melawan ketidakadilan sistemik dan keharusan untuk memperbaiki kesalahan sejarah.

Baca juga artikel terkait RASISME KULIT HITAM atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Hukum
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Nuran Wibisono