tirto.id - Jejak penerbangan di Hindia Belanda, dalam catatan seorang penerbang KNIL bernama M. van Haselen dimulai sejak tahun 1890. Penerbangan tersebut dilakukan oleh angkatan darat di Batavia dan Aceh dengan menggunakan balon kabel.
“Sampai 1914 masih dilakukan terbang dengan balon, tetapi tidak lama kemudian peralatan tersebut disimpan dan tidak digunakan lagi,” tulisnya dalam Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara: Sebuah Rintisan Penerbangan Militer Hindia-Belanda 1914-1939 (2005).
Ia mencatat bahwa kecelakaan pesawat pertama di Hindia Belanda terjadi pada 14 Februari 1916. Korbannya bernama J.P. Michielsen, seorang Letnan Jenderal, Komandan Tentara Kepala Departemen Peperangan di Hindia Belanda. Kecelakaan tersebut terjadi di Kalijati, Subang, saat ia menjadi penumpang pesawat Glenn Martin TA yang dibawa oleh penerbang H. Terpoorten, Letnan Satu Artileri Penerbang.
“Suatu hari yang nahas, padahal sebenarnya penerbangan itu sudah ditangguhkan selama satu jam karena cuaca tidak mendukung. […] Tinggal landas berlangsung biasa, tetapi naiknya sangat lambat. Dari ketinggian kurang lebih 40 meter pesawatnya jatuh. […] Pesawatnya hancur berantakan. Kecelakaan pesawat terbang yang pertama kali terjadi dengan korban meninggal. Dengan demikian, daftar mereka yang jatuh telah dimulai,” tulis van Haselen.
Dua tahun kemudian atau 1918, kecelakaan pesawat yang diawaki militer terjadi juga di Bandung, tepatnya di Sukamiskin, saat pesawat Glenn Martin TT4 yang dibawa oleh Johan Engelbert van Bevervoorde (selanjutnya ditulis Engelbert) bersama Letnan Sneep jatuh dan menabrak gudang bambu.
Engelbert tewas bersama pesawatnya yang terbakar, sementara Sneep berhasil diselamatkan. Peristiwa tersebut sempat menghentikan aktivitas penerbangan di Hindia Belanda.
“Akibatnya, turun kegiatan sampai pertengahan 1919. Boleh dikatakan, setelah itu tidak ada lagi penerbangan, hanya satu penerbangan dilakukan oleh Letnan Leendertz di Sukamiskin,” imbuh van Haselen.
Dalam riwayat penerbangan militer di Hindia Belanda, Engelbert yang lahir di Makassar pada 26 Juni 1881 termasuk salah satu orang yang dihormati. Pada usia 19 tahun ia berhasil dalam ujian masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda, dan menyelesaikan pendidikannya selama tiga tahun.
Setelah lulus, tepatnya pada 23 Juli 1903, ia berpangkat Letnan Dua Infanteri Angkatan Darat Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Pada 10 November 1903, ia meninggalkan Belanda menuju Batavia dan ditempatkan di batalion ketujuh KNIL.
Warsa 1905 saat di Bone, Sulawesi Selatan terjadi konflik bersenjata, ia sertakan dalam batalion kesembilan dan terjun dalam pelbagai operasi militer. Dalam penugasannya, ia sempat terluka saat melakukan patroli pengintaian di daerah Baroepoe dan Pangala.
Serangan yang dilancarkan kepada Engelbert dan pasukannya terjadi di sebuah kampung yang mengibarkan bendera putih. Pertempuran berlangsung sengit, yang menyebabkan ia dan pasukannya terluka dan sebagian lagi tewas terbunuh.
Selama penugasannya di Sulawesi, ia terlibat dalam operasi militer dari 12 Juli 1905 sampai 1 Agustus 1906. Hal ini membuatnya dipromosikan menjadi Letnan Satu berdasarkan Keputusan Kerajaan pada 28 Maret 1907 Nomor 96. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Ksatria dalam Ordo Militer William atas kiprahnya selama penugasan di Sulawesi.
Setelah menjalani pelbagai penugasan lainnya, pada April 1913 Engelbert sempat cuti dan pergi ke Belanda untuk mengikuti pelatihan sebagai penerbang militer pada Departemen Penerbangan di kota Soesterberg, Utrecht, Belanda, selama sembilan bulan dan berhasil meraih sertifikat internasional. Sementara karier militernya terus menanjak karena pada 18 November 1916 ia dipromosikan menjadi kapten.
Awal 1917 ia kembali ke Hindia Belanda dan ditempatkan di kantor subsisten di Batavia dan diperbantukan di Departemen Penerbangan. Setahun sebelumnya ia juga sempat ditugaskan ke Amerika Serikat untuk urusan penerbangan di Hindia Belanda.
Pada tahun yang sama, Engelbert berangkat ke Kalijati, Subang, untuk menangani berdirinya Sekolah Penerbang. Saat itu penggunaan pesawat di daerah pergunungan seperti di Pringan masih diragukan karena dianggap terdapat remous atau gerak udara vertikal dan berputar secara tiba-tiba di lapisan atas.
“Untuk itu, dilakukan penelitian mengenai cerita tentang lubang-lubang di udara apakah memang betul adanya,” tulis van Haselen.
Dari Sukamiskin ke Simpang Wastukancana-Tamansari
Untuk membuktikan anggapan bahwa penerbangan di daerah pergunungan di Hindia Belanda aman dilakukan, Engelbert melakukan penerbangan ke Cileunca, yakni sebuah daerah dekat Gunung Malabar. Selain itu ia juga terbang dari Kalijati dengan melewati Lembang di daerah Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Burangrang, dan lain-lain.
Pada April 1918, ia terbang di sekitar Darangdan, Rajamandala, Cianjur, Cipanas, Bogor, Meester Cornelis, Batavia, Kerawang, Cikampek, dan Pegaden Baru, lalu kembali ke Kalijati. Totalnya 330 kilometer dilalui tanpa mendarat dalam waktu tiga jam tiga menit.
Penerbangan yang dilakukan Engelbert di sejumlah daerah pergunungan tersebut mematahkan anggapan tentang lubang-lubang di udara yang dapat membahayakan penerbangan.
Untuk mendukung Sekolah Penerbangan, selain di Kalijati, Subang, di daerah dekat Bandung pun sempat dipakai sebagai bandara, yakni di Rancaekek dan Sukamiskin. Curah hujan tinggi yang menyebabkan bandara terus-terusan basah, akhirnya Rancaekek tidak dapat digunakan dalam waktu lama.
Keputusan untuk tidak lagi menggunakan lapangan Rancaekek, membuat lapangan Sukamiskin diproyeksikan sebagai lapangan tetap yang dilengkapi dengan pelbagai bengkel. Selain itu, lapangan Sukamiskin pun rencananya akan dipakai sebagai tempat pendidikan bagi calon penerbang.
Di Sekolah Penerbang, Engelbert bertugas selaku instruktur kepala yang menguji para siswa dalam melakukan penerbangan orientasi dan pengintaian. Pada 11 September 1918 saat melakukan latihan terbang di Sukamiskin bersama penerbang Sneep, pesawat Glenn Martin TT4 yang dibawa Engelbert mengalami kecelakaan. Pesawat tersebut jatuh miring dan menabrak sebuah gudang bambu lalu terbakar.
“Berkat tindakan yang berani Letnan Schlimmer dan lebih-lebih Sersan van Dalem, maka Sneep dapat diselamatkan dengan susah payah. Akan tetapi, sayang sekali Kapten Engelbert van Bevervoorde tewas dalam pesawat yang terbakar. Bersama dia, hilang juga kekuatan yang mendorong Bagian Penerbangan untuk maju,” tulis van Haselen dalam Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara: Sebuah Rintisan Penerbangan Militer Hindia-Belanda 1914-1939 (2005).
Untuk mengenang jasa-jasanya, pada November 1918 dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari K.A.R. Bossscha, B. Coops (Walikota Bandung), G.K. Dijkstra (Komandan KNIL), dan lain-lain untuk membuat monumen peringatan Engelbert. Pada 24 Maret 1924, monumen patung dada tersebut diresmikan, dulu patung tersebut diletakkan di posisi yang sekarang bernama simpang Jalan Wastukancana dan Jalan Tamansari, dekat sebuah jembatan yang memotong Sungai Cikapundung.
Keberadaan patung dada tersebut sempat diabadikan dalam sebuah kartu pos. Hal ini dicatat oleh Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2015). Foto dalam kartu pos tersebut diambil dari arah Jalan Tamansari yang memotret sebuah belokan sungai Cikapundung lengkap dengan jembatannya, juga simpang jalan tempat patung dada Engelbert diletakkan.
“Pada awalnya, jalan memperoleh namanya dari pionir penerbangan Engelbert van Bevervoorde, yang tewas dekat Bandung pada 1918,” tulis Johannes Raap.
Menurut Haryoto Kunto dalam dua bukunya tentang sejarah Bandung, yakni Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) dan Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (2014), patung dada tersebut sempat mencelakakan seorang siswa MULO yang melaju dari arah Jalan Tamansari atau dari sekitar daerah kampus UNISBA sekarang.
“Rem sepedanya blong. Dengan kecepatan tinggi sepeda meluncur dan membentur Monumen Pahlawan Penerbang Engelbert van Bevervoorde yang terletak di simpang Jalan Wartukancana dan Jalan Tamansari sekarang, dan anak tersebut meninggal dunia,” tulisnya.
Saat mengetahui kejadian tersebut, Walikota B. Coops langsung memerintahkan membongkar patung dada Engelbert untuk dialihkan ke pinggir jalan. “Biar monumen pahlawan, tapi dia tidak berhak mencabut nyawa seorang anak!” ucapnya.
Sekarang, monumen patung dada Engelbert berada di Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda.
Editor: Suhendra