tirto.id - Karyo menahan diri untuk membongkar bangunan permanen miliknya yang berdiri di seberang bantaran Kali Baru, Desa Mekarsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Bangunan rumah miliknya itu hanya berjarak sekitar lima meter dari bibir kali. Tapi, sebagian tampak muka depan huniannya itu terpaksa dibongkar sebagian—digusur atas nama normalisasi sungai dan pelebaran kali.
“Makanya ini nanti dulu dirapihin, takutnya mundur [lagi],” ujar Karyo sembari merapikan puing-puing sisa bongkaran rumahnya saat ditemui Tirto, Jumat (25/4/2025).
Jarak batas aman bangunan yang dibongkar berdasarkan informasi awal diterima Karyo sekitar lima meter dari bantaran kali. Sementara jarak rumahnya dengan kali terbilang pas, yang artinya seharusnya tidak kena dampak dari penggusuran tersebut. Tapi belakangan, beredar informasi diperlebar menjadi 10 meter dari bibir kali.
“Awalnya kata Pak RW, ini sudah aman, karena ini sudah ada jalan kan kecil di sini. Tapi belakangan diminta mundur lagi,” ucap dia.
Surat pemberitahuan untuk pembongkaran sudah dikirim sejak sebelum Lebaran. Warga diminta mengosongkan bangunan rumah mereka yang berada di atas sepanjang hingga samping Kali Baru usai Idulfitri. Sebab area tersebut bakal dibongkar demi normalisasi sungai.Tapi sayangnya, hingga eksekusi tiba, tidak ada kepastian kompensasi maupun ganti rugi yang didapat para korban gusur ini.
“Kalau di (wilayah) Gabus dikasih surat pemberitahuan, kan kumpul rapat. Sudah rapat, dikasih tahu. Dan mereka dikasih kompensasi umpama Rp5 juta,” ujarnya. Alih-alih mendapat kompensasi atau ganti rugi, pria berusia 58 tahun itu justru diminta untuk membongkar paksa hunianya bersamaan dengan beberapa rumah lainnya yang masuk ke dalam wilayah RT02 RW06, Desa Mekarsari, Tambun Selatan. Hal itu terpaksa dilakukan atas tekanan pihak pemerintah daerah setempat.“Jadi gak ada kompensasi cuma surat doang dikasih pemberitahuan gitu aja. Ini semua ngebongkar sendiri, makanya di sini tidak ada yang pakai beko, semua bongkar sendiri kesadaran kita,” ungkapnya.
Karyo sendiri bukan orang baru. Ia sudah tinggal dan menetap di rumah tersebut sejak 1996. Selama puluhan tahun itu, tidak pernah ada masalah pembongkaran atau penggusuran. Pun jika memang digusur, kata Karyo, seharusnya bangunan-bangunan liar yang berada di atas kali saja. Bukan justru menyasar bangunan rumah miliknya yang jaraknya masih cukup aman.
“Kalau mau digusur boleh, yang penting kompensasi atau ganti ruginya,” tegas Karyo yang mengklaim memiliki surat izin bangunan dan sertifikat hak milik (SHM).Ketua RT02 RW06, Desa Mekarsari, Syarifuddin, mengatakan sejauh ini memang ada 20 warganya yang memiliki SHM yang terdampak pembongkaran. Namun dari jumlah tersebut, hanya 10 orang yang terpaksa rumahnya kena gusur yang jaraknya berkisar 5-10 meter dari bibir kali.“Di depan ada 10 kena dampak dari gusuran,” ujarnya saat ditemui di salah satu pendopo, Jumat (25/4/2025).Rata-rata, kata Syarifuddin, seluruh bangunan milik warganya adalah permanen. Kini mereka harus merelakan bangunan tersebut tergusur tanpa ganti rugi maupun kompensasi. “Minimal ada bantuan sedikit banyaknya seperti di Gabus,” imbuh dia.- Ketua RW02 Desa Mekarsari, Asep Bunyamin

Lain cerita, kata dia, jika bangunan liar semi permanen yang ada di bantaran atas kali. Sedari awal, mereka sudah sadar bila suatu saat bangunan miliknya akan dibongkar.
Mereka tidak akan mempersalahkan pembongkaran ini karena memang sadar telah menyalahi aturan dan tidak memiliki izin bangunan atau sertifikat resmi.
“Namanya kebijakan dari Pak Dedi (Gubernur Jawa Barat) tidak boleh ada bangunan di atas tanah kali. Kita sebagai sebagai pemilik tempat kita ada tanah atau sertifikat hak milik,” kata dia.Dalam kesempatan sama, Ketua RW02 Desa Mekarsari, Asep Bunyamin Choir, menuntut keadilan warganya yang terdampak dari penggusuran tersebut. Mereka yang memang memiliki sertifikat hak milik tidak boleh diperlakukan sama, sehingga mesti ada kompensasi.
“Kompensasi harus ada untuk orang yang mau pindah misalnya, atau untuk bongkarnya. Sifatnya nggak adil kalau begini. Di wilayah Cikarang Bekasi Laut (CBL) dikasih,” katanya kepada Tirto, Jumat (25/4/2025).Selain masalah ganti rugi maupun kompensasi, Syafruddin selaku Ketua RT02 RW06 Desa Mekarsari itu juga mendesak pemerintah daerah untuk segera melakukan tindak lanjut terhadap sisa-sisa lahan yang sudah terbongkar. Sebab, sebagian puing-puing dan urukan sampah terbengkalai begitu saja dan menganggu pengguna jalan.“Sudah selesai pembongkaran, selanjutnya buat apa? Jangan didiemin. Dia punya akses mobil juga. Kalau memang mau dibuat jalan, harus dipercepat,” ujar Syafruddin.
Di sisi lain, Camat Tambun Selatan, Sopian Hadi, mengaku sudah melapor ke Bupati Bekasi terkait masalah kompensasi warga yang terdampak. Pihaknya bahkan sudah meminta agar menggunakan dana alokasi desa untuk proses penertiban bangunan liar tersebut.
“Saya sudah bicarakan dalam rapat mingguan bersama para kepala desa yang wilayahnya, ada bangunan liar dan berdiri di tepi saluran. Dana alokasi desa menjadi andalan,” ujar Sopian.Tak Ada Ganti Rugi
Sementara itu, Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, menyatakan tidak akan memberikan kompensasi bagi pemilik bangunan liar yang dibongkar. Alasannya, mereka telah melanggar karena mendirikan bangunan di atas daerah aliran sungai (DAS)."Yang melanggar kan yang memiliki bangli, bukan kita pemerintah. Kalau kita mau perhitungan di situ sudah belasan bahkan puluhan tahun," ujar Ade di Cikarang Pusat kepada wartawan, dikutip Jumat (25/5/2025).
Selama ini, pemerintah telah membiarkan bangunan liar berdiri di lokasi yang tidak seharusnya. Namun, kali ini pemerintah disebut berniat mengambil tindakan tegas demi mengatasi banjir agar tak kembali terjadi.
"Kita sebagai pemerintah, ya mengiyakan saja. Tapi sekarang harus ada perubahan, harus ada terobosan karena mengingat banjir, lahan air serapannya sudah tidak ada lagi," ucap Ade.
Ade menyebut penertiban bangunan liar bertujuan untuk mencegah bencana banjir sekaligus mempercantik bibir sungai. Ini jugai sesuai dengan arahan dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Tindakan penertiban bangunan liar ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi asli bantaran sungai sebagai area resapan air. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi banjir yang terjadi di sejumlah titik rawan banjir di Kabupaten Bekasi. Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi Dedi Supriadi menegaskan, Pemerintah Kabupaten Bekasi sepenuhnya mendukung langkah Gubernur Jawa Barat dalam menata lingkungan sebagai bentuk mitigasi bencana banjir.
Selain penertiban bangunan liar, langkah lanjutan yang akan dilakukan adalah normalisasi dan pelebaran kali serta sungai di Kabupaten Bekasi guna meningkatkan kapasitas daya tampung air.
“Dengan normalisasi dan pelebaran sedimen sungai, kami berharap banjir di Kabupaten Bekasi dapat dicegah dengan lebih efektif,” ujar Dedi dikutip dari keterangan tertulisnya.
Pemda Bekasi berharap upaya ini dapat mempercepat proses normalisasi kali sehingga aliran air lebih lancar dan risiko banjir dapat diminimalisir. Selain itu, dukungan penuh dari masyarakat menjadi faktor penting dalam keberhasilan program ini.
Ke depan, Pemkab Bekasi berencana akan terus berkoordinasi dengan Pemda Provinsi Jabar dan BBWS Citarum untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan secara menyeluruh, termasuk melalui normalisasi, pelebaran sungai, serta perbaikan infrastruktur pendukung.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































