Menuju konten utama

6 Kisah Anak Durhaka Terhadap Orang Tua

Kisah anak durhaka bisa jadi dongeng penghantar tidur sekaligus media belajar anak untuk selalu berbakti kepada orang tua. Berikut kumpulan kisah-kisah itu.

6 Kisah Anak Durhaka Terhadap Orang Tua
Ilustrasi Hari Ibu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Berbagai kisah anak durhaka bisa jadi dongeng penghantar tidur atau pengisi waktu luang sang buah hati. Selain itu, orang tua juga bisa menjadikan kisah anak durhaka ini, sebagaimedia belajar, agar anak selalu berbakti dan hormat kepada orang tua.

Kisah anak durhaka ini umumnya berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Oleh karena itu, kisah-kisah ini kaya akan muatan lokal yang penuh dengan pesan moral. Dengan rutin membacakan kisah anak durhaka ini, berbagai nilai moral dan kebjiaksanaan para leluhur bangsa bisa terus lestari.

Kemudian, lewat membacakan kumpulan kisah anak durhaka ini secara rutin kepada anak, orang tua bisa menjadikan dongeng-dongeng ini sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan literasi anak.

6 Kisah Anak Durhaka Kepada Orang Tua

Ilustrasi anak membantah

Ilustrasi anak membantah. foto/istockphoto

Ada beberapa kisah anak yang durhaka kepada orang tua populer yang bisa dijadikan media pembelajaran kepada anak. Beberapa cerita anak durhaka itu di antaranya adalah Kisah Juraij yang berlatar agama Islam. Kemudian ada cerita Malin Kundang yang merupakan legenda rakyat populer berasal dari Sumatera Barat. Lalu ada juga Kisah Si Lancang yang berasal dari Kabupaten Kampar, Riau.

Berikut adalah tiga kisah anak durhaka tersebut, ditambah tiga kisah anak yang durhaka kepada orang tua lainnya, seperti Si Boko yang berasal dari Sumatera Barat, lalu ada Sampuraga yang berasal dari Sumatera Utara, terakhir ada Hikayat Amat Rhang yang berasal dari Aceh.

Kisah Juraij

Kisah ini tentang seorang ahli ibadah bernama Juraij yang konon durhaka pada ibunya. Kisah ini ada dalam riwayat hadits yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW.

Juraij adalah seorang lelaki dari Bani Israil. Ia sangat rajin beribadah, bahkan saking rajinnya, ia juga memiliki rumah ibadah sendiri.

Suatu hari, ibu Juraij datang untuk menemui anaknya itu. Namun, ketika itu Juraij sedang beribadah. Saat Juraij mendengar namanya dipanggil, Juraij merasa ragu antara menjawab ibunya atau melanjutkan salatnya.

Namun, Juraij justru memilih untuk melanjutkan salatnya. Ibu Juraij pun memangilnya untuk kedua kali. Juraij pun kembali memilih untuk meneruskan salatnya.

Mendapat respon itu dari anaknya, ibu Juraij tidak menyerah dan memanggil untuk ketiga kalinya. Mendengar ibunya memanggil kembali untuk ketiga kali, dalam hati Juraij berpikir, "Ibuku atau salatku?' Namun, sekali lagi, Juraij memilih untuk melanjutkan salatnya.

Ibu Juraij pun marah. Lalu ia berdoa, "Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij, kecuali jika engkau melihat wajah perempuan-perempuan pelacur." Setelah berdoa seperti kepada Allh, ibu Juraij pun pergi meninggalkan anaknya itu.

Waktu pun terus berjalan. Suatu ketika seorang wanita yang melahirkan anak hasil perzinahan dihadapkan kepada seorang raja.

Raja bertanya, "Siapa yang menghamilimu?"

Wanita itu menjawab, "Dari Juraij."

Raja bertanya lagi, "Pemilik tempat ibadah itu?"

Wanita itu menjawab, "Ya."

Raja kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan tempat ibadah milik Juarij hingga tempat ibadah itu roboh. Juarij pun dibawa kepada sang Raja. Juarix kemudian diikat dan ditarik melewati para wanita pelacur sambil tersenyum dan para pelacur itu ditampilkan di hadapannya di tengah kerumunan orang.

Sang raja berkata, "Apa yang mereka tuduhkan kepadamu?"

Juraij menjawab, "Apa yang mereka tuduhkan terhadapku?"

Raja berkata, "Mereka menuduhmu sebagai ayah anak ini."

Juraij bertanya, "Di mana bayi itu?" Mereka menjawab, "Itu, bayi yang ada di pangkuannya."

Juraij mendekati bayi itu dan bertanya, "Siapa ayahmu?'

Bayi itu menjawab, "Penggembala sapi."

Setelah itu, sang raja pun merasa bersalah telah menuduh Juraij. Raja akhirnya menawarkan untuk membangun kembali tempat ibadah Juarij dari emas ataupun perak. Namun, Juarij menolak. Juarij hanya ingin rumah ibadahnya dibangun seperti bentuk awalnya. Setelah itu Juraij tersenyum seakan teringat sesuatu.

Sang raja bertanya, "Kenapa engkau tersenyum?"

Juraij menjawab, "(Aku tertawa) karena suatu perkara yang sudah kuketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku,"

Kisah ini memberi pesan kepada semua anak, bahwa doa seorang ibu adalah doa yang sangat ampuh, apalagi bila doa itu disampaikan oleh seorang ibu yang teraniaya atau sudah dikecewakan oleh anaknya. Selain itu, kisah ini juga memberi pesan agar selalu menghormati orang tua, karena orang tua sejatinya adalah wakil Tuhan yang nyata yang ada di dunia.

Kisah Malin Kundang

Ilustrasi Malin Kundang

Ilustrasi Malin Kundang. wikimediacommons/domain publik

Pada zaman dahulu, di sebuah desa nelayan di Air Manis, Sumatra Barat, hiduplah satu keluarga nelayan. Karena kebutuhan keuangan keluarga, sang ayah akhirnya memutuskan untuk pergi merantau menyebrangi lautan.

Namun, sang ayah tidak pernah kembali ke kampung dan meninggalkan istrinya, Mande Rubayah. Sang istri kemudian membesarkan anak mereka, Malin Kundang, seorang diri.

Beranjak dewasa, Malin pergi merantau untuk merubah nasib. Ia menaiki sebuah kapal dagang. Dalam pelayaran itu, kapal yang ditumpangi mengalami musibah. Malin pun terdampar di sebuah pantai. Malin akhirnya tinggal dan bekerja di sana.

Malin bekerja dengan sangat rajin dan menjadi sangat sukses. Malin memiliki 100 orang pekerja dan sejumlah kapal dagang sendiri. Malin pun berhasil mempersunting anak seorang saudagar kaya.

Sementara itu, Ibu Mande tidak pernah mendapatkan kabar apapun dari Malin. Selama bertahun-tahun, Ibu Mande hanya bisa memandangi laut sambil berdoa agar anaknya selamat dan kembali ke desa.

Suatu ketika, Malin bersama istri dan beberapa anak buah kapal pergi berlayar menggunakan kapal yang besar. Malin pun merapat ke kampung halamannya.

Warga desa, termasuk Ibu Mande yang melihat kapal besar berlabuh, beramai-ramai berkumpul di tepi pantai. Mereka ingin menyambut kapal yang dikira milik seorang sultan atau pangeran itu.

Dari kejauhan, Ibu Mande melihat dan menyadari bahwa yang ada di atas kapal itu adalah Malin. Segera setelah kapal berlabuh dan Malin dan istrinya itu turun dari kapal, Ibu Mande berlari mendekati Malin dan istrinya.

Dari dekat, Ibu Mande melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu adalah Malin. Ia kemudian memeluk Malin, sambil memanggil namanya dan bertanya tentang kabarnya.

Istri Malin yang berdiri di dekat Malin, terkejut melihat seorang wanita tua berpakaian compang-camping memeluk suaminya sambil mengaku sebagai ibunya. Selama ini Malin memang mengaku bahwa kedua orang tuanya adalah bangsawan dan sudah meninggal.

Karena malu kepada istrinya, Malin kemudian mendorong ibunya dan berkata kasar kepada Ibu Mande. Malin tidak mengakuinya sebagai ibu dan mengatakan bahwa ibunya tidak seperti Ibu Mande yang kotor dan miskin. Setelah itu, Malin memerintahkan istri dan anak buahnya untuk bergegas kembali untuk berlayar.

Ibu Mande yang sudah tua terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati sampai pingsan. Setelah akhirnya tersadar, Ibu Mande berlutut dan berdoa kepada Tuhan. Ibu Mande memaafkan perbuatan Malin. Tapi, jika pemuda itu adalah benar Malin Kundang, maka Ibu Mande mengutuknya untuk menjadi sebuah batu.

Setelah Ibu Mande berdoa, langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan deras dan badai pun muncul. Kapal Malin yang sedang berlayar pun hancur berkeping-keping disambar petir.

Keesokan harinya ketika badai sudah reda, puing-puing kapal yang sudah berubah menjadi batu tersapu ombak ke suatu pulau. Di antara puing-puing yang terdampar di pantai, ada satu bongkahan batu yang berbentuk seperti tubuh manusia yang menunduk, beserta ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri yang berenang di sela-sela batu itu.

Konon bongkahan batu itu adalah tubuh Malin yang dikutuk menjadi batu. Sementara ikan-ikan di sekitarnya adalah serpihan tubuh istri Malin yang sedang mencari suaminya.

Kisah Si Lancang

Zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk di Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Ibunya bekerja menggarap ladang orang lain, sementara si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.

Pada suatu hari, si Lancang merasa sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang banyak agar kelak menjadi orang kaya. Ia pun meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke negeri orang.

Walaupun berat hati, akhirnya ibunya mengizinkan si Lancang pergi. Namun, ibunya berpesan agar jika sudah kaya Lancang diharapkan untuk pulang dan tidak melupakan ibunya.

Si Lancang pun berjanji tidak akan melupakan jika ia sudah kaya nanti. Lalu ibu si Lancang berkata “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Ibu akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan.” Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya.

Tahun berjalan terus. Si Lancang pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Namun, di kampung halaman si Lancang, ibu si Lancang masih hidup miskin seorang diri.

Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Akhirnya kapal si Lancang merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang.

Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. Teman Lancang lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada ibu si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.

Betapa senangnya hati ibu si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.

Sesampainya di pelabuhan, ibu si Lancang memberanikan diri naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. Ibu si Lancang pun mengatakan bahwa ia adalah ibu dari si Lancang.

Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan ibuku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang.

Ibu si Lancang didorong hingga terjerembab. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.

Sesampainya di rumah,wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesungitu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan airsusuku. Namun setelahkaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.

Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong yang jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan.

Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir dipercaya seabgai air mata si Lancang yang menyesal karena telah durhaka kepada ibunya.

BATU MALIN KUNDANG

Pengunjung melihat Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis, Padang, Sumatra Barat, Jumat (16/12). Sebagian wisatawan sengaja membawa anak mereka ke objek wisata tersebut antara lain untuk memetik pelajaran dari legenda Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu karena durhaka kepada orang tua. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/kye/16

Kisah Si Boko

Si Boko adalah seorang anak yang berasal dari keluarga miskin. Karena itu si Boko ingin merantau untuk merubah nasib keluarganya. Ia pun akhirnya meminta izin kepada ibunya untuk merantau guna merubah nasib.

Si Boko pun akhirnya pergi merantau. Di tempat perantauan ia bekerja keras, banting tulang dan bertekad ingin merubah nasib diirinya dan keluarga. Si Boko pun berhasil menjadi orang kaya.

Suatu ketika si Boko pergi belayar. Ia pun singgah di sebuah daratan yang tidak ia sadari adalah tanah kelahirannya. Menyadari ada kapal yang menepi, ibu Boko yang selalu menantikan kepulangan anaknya itu segera belari menuju kapal itu. Ia pun melihat anaknya itu, dan memberanikan diri menegur Boko.Ibu si Boko memberanikan diri mengatakan bahwa ia adalah ibunya.

Namun malang, Boko justru tak mengakui ibunya. Boko pun berniat melanjutnya pelayarannya kembali. Ibu Boko tetap berkeras bahwa ia adalah ibu si Boko. Bahkan ia sampai ikut naik ke atas kapal dan memeluk Boko.

Boko tetap tidak bergeming dan tetap tidak mengakui ibunya. Kemudian dalam perjalanan tersebut muncullah badai. Badai itu akhirnya membuat kapal Boko pecah. Padahal waktu itu kapal Boko sangat besar dia membawa satu lemari emas dan kapalnya juga dilengkapi tungku atau disebut “jarangan”.

Akibat kapal itu porak poranda, ibu Boko pun terlemar ke lautan dan terombang ambing di atas laut lepas. Ia sangat marah kepada anaknya. Akhirnya ia pun bersumpah dan berdoa agar anaknya dihukum. Sumpah ibu Boko di dengar oleh penumpang kapal lainnya, sehingga mereka berteriak histeris atau “berkuai kuai” agar sumpah itu dibatalkan, namun sumpah sudah terlanjur diucapkan.

Setelah badai reda, muncullah daratan baru berbentuk Pulau. Pulau itu bernama Pasumpahan. Pulau itu adalah pulau tempat ibu Boko bersumpah saat ia marah besar kepada anak laki-laki satu-satunya itu. Sedangkan daratan besar di depan Pulau Pasumpahan konon adalah Si Boko yang menjadi batu.

Sedangkan pulau kecil berupa batu karang berbentuk lemari adalah lemari emasnya Boko. Ada juga Pulau Batu Jarang yang terbentuk dari tungku Kapal Si Boko, juga ada Pulau Sikuai tempat penumpang kapal lainnya berkuai-kuai.

Sampuraga

Kisah yang berasal dari Sumatera Utara ini merupakan cerita rakyat populer di masyarakat Mandailing. Kisah ini tentang seorang anak bernama durhaka bernama Sampuraga.

Dikisahkan, Sampuraga hidup di Padang Bolak bersama ibunya yang berstatus janda. Suatu hari, Sampuraga pun meminta izin untuk merantau ke daerah Mandailing. Sampuraga pun akhirnya berhasil dan dapat hidup berkecukupan. Ia kemudian menikah dengan saudagar kaya di daerah itu.

Sang ibu yang mendengar kabar itu pun datang ke pesta pernikahan sang anak. Namun, setelah tiba di Mandailing, Sampuraga tak mau mengakui ibunya dan mengusirnya. Sang ibu pun sakit hati, dan memohon kepada Tuhan agar anaknya diberi pelajaran.

Tak lama, terjadi gempa yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan suhul. Selain gempa, hujan besar juga turun di daerah tersebut. Beberapa hari setelahnya, penduduk desa tiba-tiba menemukan gundukan tanah dan batu kapur yang dari bawahnya muncul air panas.

Air panas tersebut terus memancar dan kini air panas itu menjadi sebuah waduk. Warga menamai waduk air panas itu dengan sebutan Sampuraga.

Hingga saat ini, waduk Sampuraga masih ada dan dikelola dengan baik sebagai sebuah destinasi wisata kolam air panas. Wisata Sampuraga berada di Desa Sirambas, Kecamatan Panyabungan Barat, Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Hikayat Amat Rhang

BATU LEGENDA AMAT RAMANYANG

Perahu nelayan melintas di dekat batu legenda yang dikenal dengan sebutan batu Amat Ramanyang di Krueng Raya, Aceh Besar, Aceh, Minggu (12/3). Cerita tentang batu legenda Amat Ramanyang tidak berbeda dengan cerita Malin Kundang yakni anak durhaka yang dikutuk perahu menjadi batu dan kini menjadi salah satu objek wisata di Provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc/17.

Dahulu kala di Aceh, tepatnya di sekitar Krueng atau Sungai Peusangan, hidup seorang janda tua bernama Mak Minah. Mak Minah hidup dalam kemiskinan bersama dengan putra semata wayangnya, Amat Rhang.

Amat Rhang bekerja sebagai buruh tani di desa. Amat Rhang pun tak tahan dengan kemiskinannya yang mendera. Ia pun memutuskan untuk merantau.

Sebelum berangkat, Mak Minah berpesan kepada Amat Rhang untuk tidak melupakan kewajibannya berbuat baik dan selalu beribadah. Nasihat dari ibunya tersebut selalu diingat oleh Amat Rhang dan dijadikan bekal merantau.

Setelah tiba di negeri seberang, Amat Rhang kemudian diterima bekerja sebagai kuli angkut oleh seorang saudagar kaya. Selama bekerja di sana, Amat Rhang dikenal sebagai seorang pekerja yang baik, taat beribadah, dan jujur.

Ia kemudian menikah dengan putri dari majikannya yang merupakan saudagar kaya. Amat Rhang kemudian mewarisi usaha dagang dari sang mertua.

Setelah menjadi saudagar kaya, Amat Rhang sangat sibuk hingga ia lupa beribadah. Suatu ketika, Amat Rhang rindu dengan kampung halamannya. Amat Rhang begitu rindu dengan ibunya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya di kampung halaman.

Ia kemudian mempersiapkan diri untuk kembali ke kampung halaman bersama dengan istri dan para pengawalnya. Di kampung halamannya, Mak Minah yang mendengar kabar pulangnya Amat Rhang sangat gembira. Ia pun menunggu kedatangan sang anak di bibir dermaga.

Ketika kapal yang ditumpangi Amat Rhang bersandar di dermaga, Mak Minah yang sudah tak bisa menahan rasa rindunya berlari menemui sang anak sambil memanggil namanya.

Namun, Amat Rhang tidak mengakui bahwa Mak Minah adalah ibunya. Amat Rhang malu mengakui sang ibu di depan istrinya. Amat Rhang kemudian meminta para pengawalnya untuk menyingkirkan ibunya. Sang ibu pun melemparkan kutukan terhadap Amat Rhang.

Ketika kapal Amat Rhang baru saja berlayar, tiba-tiba turun hujan badai. Setelah itu, kapal yang membawa rombongan Amat Rhang berubah menjadi sebuah bukit. Bukit tersebut saat ini dikenal dengan nama Bukit Lamreh di Aceh Besar.

Demikianlah enam kisah anak durhaka yang bisa dijadikan bahan pembelajaran mengenai rasa hormat dan berbakti kepada orang tua. Dengan rutin membacakan kisah-kisah ini sedari dini, anak akan selalu ingat pesan moral yang ada dalam kisah-kisah ini, serta mampu menerapkan pesan-pesan tersebut dalam keseharian si anak.

Baca juga artikel terkait HARI IBU atau tulisan lainnya dari Lucia Dianawuri

tirto.id - Edusains
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Lucia Dianawuri & Yulaika Ramadhani