tirto.id - Sejak masa klasik, di Nusantara banyak ditemui saluran air buatan manusia, misalnya Kali Chandrabaga dan Gomati peninggalan masa Tarumanegara.
Di Jawa bagian timur, tepatnya di Kediri, terdapat Kali Serinjing tinggalan masa Mataram Kuno. Saluran atau sungai buatan itu dibangun untuk merekayasa air sungai agar tidak lagi meluap dan banjir. Kanal ini juga dimanfaatkan sebagai sumber air untuk pertanian.
Di era kolonial, pembangunan kanal terus berlanjut. Maklum, Belanda yang kala itu menguasai Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak saluran air buatan.
Di Belanda, kanal digunakan sebagai sarana transportasi. Tak hanya itu, menurut Dimas Wihardyanto dan Ikaputra dalam "Pembangunan Permukiman Kolonial Belanda di Jawa: Sebuah Tinjauan Literatur" yang terbit dalam Nature, National Academic Journal of Architecture (Vol. 6, No. 2, 2019), kanal-kanal di Belanda juga berfungsi sebagai sanitasi dan keamanan.
Di Indonesia, Belanda di antaranya membangun sejumlah kanal di Jakarta dan Semarang. Beberapa bahkan masih dapat ditemui pada masa kini. Salah satunya adalah Kali Baru Timur atau dulu bernama Oosterslokkan.
Kanal ini mengalir dari Bogor sampai Jakarta, sejalan dengan arah aliran Sungai Ciliwung. Sungai ini menjadi saksi kehidupan manusia sejak masa prasejarah. Hal itu diketahui dari beberapa temuan di beberapa tempat di sepanjang daerah aliran Sungai Ciliwung.
"Setidaknya ada 18 situs yang terletak di sepanjang daerah aliran Sungai Ciliwung antara Jatinegara dan Depok,” tulis Tim Kompas dalam Ekspedisi Ciliwung: Laporan Jurnalistik Kompas: Mata Air, Air Mata (2009, hlm. 77).
Penghubung Pesisir dan Pedalaman
Kiwari, Bogor dan Jakarta sudah terhubung dengan jalan raya, jalan tol, dan jalur kereta api. Namun dulu, Sungai Ciliwung menjadi salah satu pintu masuk menuju kawasan Bogor selain jalur darat.
Seorang penjelajah Portugal bernama Tome Pires, pernah berkunjung ke Jawa pada abad ke-16. Dalam satu kesempatan ia pernah berkunjung ke Dayo yang lokasinya berada di sekitar Bogor sekarang. Melalui bukunya, Suma Oriental, Tome Pires menulis dari Pelabuhan Sunda Kelapa menuju Dayo ditempuh selama dua hari perjalanan.
Sungai Ciliwung berperan penting sebagai penghubung pusat kerajaan yang berada di pedalaman dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Juga dengan pelabuhan-pelabuhan lain seperti seperti Banten, Pontang, Cigede, dan Tangerang.
Sejak akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC telah beberapa kali melakukan ekspedisi ke bagian selatan Batavia. Akhir abad ke-17, VOC mengirim ekspedisi dua kali, pertama di bawah kepemimpinan Scipio dan Adolf Winkler.
Ekspedisi dilanjutkan oleh Abraham van Riebeck di awal abad selanjutnya. Ekspedisi-ekspedisi ini membuahkan hasil manis, yaitu berhasil menemukan sisa-sisa kota yang berasal dari masa sebelumnya.
Pada ekspedisi pertama, Scipio membuka daerah itu dengan mendirikan beberapa kampung karena dia turut membawa pasukan pekerja di bawah kepemimpinan Letnan Tanujiwa.
Sejarawan Mumuh M. Zakaria dalam bukunya, Kota Bogor, Studi Tentang Perkembangan Ekologi Kota Abad ke-19 hingga ke-20 (2010), menulis bahwa Tanujiwa bersama pasukannya mendirikan pula perladangan dan kampung-kampung lainnya dengan Kampung baru sebagai pusat pemerintahan.
Kampung-kampung itu kelak berkembang menjadi kabupaten. Daerah ini semakin dikenal setelah salah satu kampungnya dijadikan tempat peristirahatan. Sejak itu daerah ini dikenal dengan nama Buitenzorg--sekarang Bogor.
Munculnya Kampung Baru dan kampung-kampung lain di sekitarnya membuat VOC memikirkan cara untuk mengangkut barang-barang atau hasil pertanian dari pedalaman ke Batavia maupun sebaliknya.
"VOC lalu membuat saluran air yang digunakan untuk melancarkan distribusi produk dari Buitenzorg dan sebagai sumber air bagi lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang ada di sebelah timur Sungai Ciliwung,” tulis J. Faes dalam Geschiedenis van Buitenzorg (1092, hlm. 63).
VOC menunjuk Demang Marta Wangsa untuk melakukan penggalian saluran itu pada 1739. Sang Demang memanfaatkan aliran Sungai Ciliwung sebagai sumber air bagi kanal buatan.
Pembuatan saluran lalu dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal van Imhoff pada 1749. Ia tak hanya melanjutkan pembangunan, tapi juga memperpanjang aliran saluran hingga ke Batavia dan akhirnya selesai pada 1753, lengkap dengan beberapa pintu air di sepanjang alirannya.
Tak hanya pintu air, satu pengatur aliran air sederhana berupa bendung juga dibangun di mulut saluran yang berada di sekitar Katulampa.
Namun, belum sempat digunakan, saluran ini langsung bermasalah karena kurangnya debit air sehingga tak dapat dimanfaatkan untuk sarana pengangkutan.
Oosterslokkan masih membutuhkan pasokan air tambahan karena debit air dari aliran Sungai Ciliwung masih kurang. Untuk mengatasai masalah itu, pada 1776 pemerintah membangun saluran lain bernama Westerslokkan.
Menurut Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010), Westerslokkan merupakan saluran buatan yang menghubungkan Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Saluran ini akan membuat debit air di Oosterslokkan bertambah karena mendapatkan aliran air dari Sungai Cisadane.
Kanal Pelayaran Oosterslokkan Gagal
Meski sudah mendapatkan debit air tambahan dari Westerslokkan, VOC harus mengubur dalam-dalam rencananya untuk menjadikan Oosterslokkan sebagai sarana pelayaran karena kondisinya mulai rusak.
"Pada awalnya Oosterslokkan akan digunakan sebagai kanal pelayaran, tetapi [gagal] karena kerusakan pada kanal yang mengalami kebocoran yang sulit diatasi," tambah Restu Gunawan.
Pada akhirnya, Oosterslokkan hanya digunakan sebagai sumber irigasi bagi tanah-tanah partikelir yang ada di sepanjang alirannya.
Pada abad setelahnya, muncul gagasan untuk kembali menghidupkan rencana menjadikan Oosterslokkan sebagai kanal pelayaran. Gagasan ini muncul pada masa Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Jean Chretien Baud (1833-1836).
"Saat itu Oosterslokkan akan direncanakan sebagai penghubung antara Batavia dan Buitenzorg selain Jalan Raya Pos," tulis surat kabar Algemeen Handelsblad, edisi 11 November 1912. Namun, gagasan itu hanya sebatas rencana, tak pernah menjadi kenyataan.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi