Menuju konten utama

Tindak Kejahatan Para "Wakil Tuhan"

Sejumlah kasus kejahatan hakim muncul salah satunya karena lemahnya pengawasan.

Tindak Kejahatan Para
Header Mozaik Hakim Terjerat HUkum. tirto.id/Ecun

tirto.id - Baru-baru ini, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh advokat Zico Leonard D. Simanjuntak.

Bersama dua panitera, mereka diduga terlibat dalam kasus perubahan putusan perkara nomor 103/PUU-XX/2022 mengenai uji materi UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Zico mencurigai ada kata-kata yang keluar dari substansi yang dibacakan saat putusan mengenai pencopotan Hakim Aswanto yang kontoversial. Kata-kata yang berbeda dengan salinan itu adalah kata “dengan demikian” yang dibacakan pada putusan oleh hakim Saldi Isra, menjadi “ke depan” dalam kalimat yang sama.

Hakim Aswanto merupakan hakim konsitusi yang diusulkan DPR dan harusnya masa jabatannya berakhir pada tahun 2029 mendatang. Namun, DPR malah mencopotnya pada September 2022.

Beberapa pengamat menyebut pencopotan tersebut karena alasan politis, salah satunya karena kinerja Aswanto yang kerap menganulir UU yang diusulkan DPR.

Zico mengerucutkan nama menjadi dua hakim yang dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK).

"Saya sampaikan ke MKMK bahwa saya mencurigai dua nama hakim, tidak boleh saya sebut. Berarti ada satu pelaku yang mengubah dan ada satu yang memberitahu isi putusannya supaya diubah," ujar Zico, sebagaimana dilansir medcom.id pada Kamis, 9 Februari 2023.

Kejahatan di Lingkaran Hakim

Korupsi merupakan salah satu masalah utama yang ada di Indonesia, tak terkecuali dalam dunia kehakiman. Terdapat banyak kasus hakim yang tersandung korupsi, suap, pemakaian narkoba, atau kasus kriminal lainnya, yang membuat publik meragukan sistem peradilan.

Contoh paling fenomenal adalah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ditangkap KPK pada 2013 dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2014 atas penerimaan suap dalam pengurusan putusan gugatan pilkada di berbagai daerah.

Selain itu, Akil juga divonis atas pencucian uang melalui perusahaan fiktif, C.V Ratu Samagat, yang dikelola istrinya. Perusahaan ini dalam berkasnya disebut menjalankan usaha perdagangan, jasa administrasi umum, perkebunan, perkantoran, hingga kontraktor.

Namun dalam aktivitasnya sehari-hari, perusahaan ini tak pernah terlihat. Malah bangunan yang dijadikan alamat kantornya di Griya Parit Tokaya, Pontianak, selalu sepi.

Rp57,6 miliar dari hasil korupsi kemudian mengendap di rekening perusahaan fiktifnya. Ada juga dalam bentuk tanah dan kendaraan senilai Rp65 miliar lebih.

Dari perbuatannya itu ia didakwa enam lapis dakwaan: suap di enam daerah (Gunung Mas, Lebak, Empat Lawang, Palembang, dan Lampung Selatan) senilai kurang lebih Rp40 miliar, suap di empat wilayah sengketa pilkada (Buton, Morotai, Tapanuli Tengah, Jawa Timur) senilai hampir Rp15 miliar, dan suap konsultan di lima daerah sengketa pilkada (Merauke, Asmat, Boven Digoel, Jayapura dan Nduga) sebesar Rp125 juta.

Ia juga didakwa menerima suap sebesar Rp7,5 miliar untuk penolakan keputusan KPU Banten, pencucian uang beserta penggelapan kekayaan melalui CV Ratu Samagat dan penggelapan kekayaan melalui Muhtar Ependy dengan total jumlah Rp157,8 miliar.

Dakwaan terakhir, ia melakukan pencucian uang dan tidak melaporkan harta kekayaan saat menjabat anggota DPR periode 1999-2009 dan saat menjadi hakim konstitusi periode 2008-2013.

Menurut data Tempo dalam Akil Mochtar: Rekor Hakim Vonis Potong Jari (2021), pada periode itu Akil memiliki tabungan Rp13 miliar, rumah senilai Rp1,29 miliar, dan kendaraan Toyota Fortuner 2,7 G Lux senilai Rp405 juta.

Dalam Pengadilan Tipikor Jakarta, Akil dijatuhi hukuman seumur hidup pada akhir Juni 2014. Banding dan kasasinya pun ditolak agar jadi pelajaran bagi hakim dan jajaran penegak hukum lainnya untuk tidak semena-mena menyelewengkan wewenang yang dimiliki.

Kasus lain adalah pemakaian narkoba oleh dua hakim di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Yudi Rozadinata dan Danu Arman. Mereka ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten pada pertengahan 2022 dan dinyatakan bersalah atas pemakaian sabu seberat 20,6 gram.

Dikutip dari detikX, yang lebih memalukan adalah keterlibatan polisi yang mengantarkan paket sabu kepada dua hakim tersebut. Seorang brigadir di Polrestabes Medan, Wisnu Wardana, adalah pemasok sabu untuk Yudi dan Danu.

Dalam arsip Kompas, sepanjang 2006-2019 ada 25 hakim yang terjerat kasus kriminal, kebanyakan karena korupsi dan suap.

Dalam rentang itu, selain Akil Mochtar, hakim MK lainnya yang tertangkap dan cukup menyita perhatian publik adalah Patrialis Akbar yang menerima suap saat menangani perkara uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK.

Lemahnya Pengawasan

Hakim memiliki posisi dan kekuasaan yang sangat penting dalam sistem hukum, ia bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang adil dan objektif dalam setiap kasus yang dihadapi. Hal ini membuat hakim rentan terhadap tawaran suap dan korupsi.

Sistem pengawasan yang lemah atau tidak efektif dalam memantau tindakan hakim juga membuat ia bebas melakukan tindakan merugikan.

Menurut Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pengawasan internal MK saat ini hanya mengandalkan keberadaan Dewan Etik MK. Selain karena kewenangannya yang terbatas, sanksi yang diberikan Dewan Etik MK terhadap hakim konstitusi yang melanggar etika juga masih tergolong ringan dan tidak memberikan efek jera.

Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan oleh ICW, tercatat pada tahun 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya 3 tahun 5 bulan.

Beberapa hakim terpengaruh oleh tekanan dari pihak eksternal sehingga membuat keputusan yang tidak adil. Tekanan ini berasal dari berbagai pihak, seperti partai politik, organisasi masyarakat, bisnis, atau kelompok kepentingan tertentu.

Infografik Mozaik Hakim Terjerat HUkum

Infografik Mozaik Hakim Terjerat HUkum. tirto.id/Ecun

Peran Komisi Yudisial dan Partisipasi Publik

Komisi Yudisial (KY) adalah badan independen yang bertugas untuk mengawasi hakim-hakim dan memastikan mereka mematuhi kode etik.

Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Yudisial bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam sistem peradilan.

Dilansir halaman resminya, KY memiliki hak pengawasan, namun dalam perjalanan tugasnya, lembaga ini mengalami dinamika. Kemudian ada pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah hakim agung.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak berlaku.

Menurut Fahatul Azmi Bahlawi dari Sekolah Anti Korupsi Tangerang, kepengawasan organik dianggap kurang efektif, sehingga KY memiliki fungsi lembaga yang juga diamanatkan oleh negara lewat konstitusi.

“Robert Klitgaard berpatokan pada rumus korupsi C=D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat diskresi (D) dan monopoli (M) yang tak terkontrol serta kurangnya akuntabilitas (-A),” ujarnya.

Dari Klitgaard di atas, Fahat menilai cara mudah menggambarkan bagaimana sebetulnya korupsi itu terjadi. Hal yang sama berlaku dengan kasus kriminal dan perilaku koruptif dari seorang hakim maupun aparat penegak hukum lainnya. Dari ditangkapnya Hakim MK, seluruh jajaran seharusnya mulai bersih-bersih baik KY maupun dari MA sendiri.

Ia juga menekankan perlunya dorongan pengawasan dari sektor eksternal. Padahal KY sudah memiliki fungsi itu, hanya saja sejak diputus oleh MK, KY hanya menjadi sebuah lembaga administratif belaka.

“Banyaknya kasus atas terlibatnya hakim dalam proses korupsi menandakan bukti lemahnya sistem pengawasan dari dalam maupun luar serta penindakan atas hakim yang melanggar etik,” ujar Fahat melalui telewicara.

Fahat menambahkan, sebagai fungsi di hulu, KY memiliki kewenangan untuk menyeleksi calon-calon hakim bermasalah seperti kasus penunjukkan Patrialis Akbar di era pemerintahan SBY. Belum lagi karena keterbatasan pengawasan dimiliki oleh KY yang tidak bisa menindak kasus dugaan pelanggaran etik.

“Sehingga, sekali lagi kita membutuhkan partisipasi publik untuk mendorong sebuah lembaga agar menjadi lebih transparan,” ucapnya menutup obrolan.

Baca juga artikel terkait HAKIM atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Hukum
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi