tirto.id - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali buka suara atas catatan akhir tahun Komisi Yudisial (KY) yang menyebut hanya 10 dari 132 rekomendasi sanksi terhadap hakim yang ditindaklanjuti lembaga peradilan tertinggi itu. Hatta Ali mengaku hanya mendapat 41 rekomendasi dari KY sepanjang 2019.
"Saya baru-baru mendengar ada laporan bahwa KY juga sudah memberikan refleksi pada tahun ini. Berapa dia bilang? 130 Tahun 2019? Setelah kami cek ternyata hanya 41 ekspedisinya," kata Hatta di Gedung MA, Jakarta pada Jumat (27/12/2019).
Dari 41 rekomendasi yang masuk, MA hanya menindaklanjuti 6 rekomendasi. Hatta menyebut ada 19 rekomendasi yang tidak bisa ditindaklannuti karena bersifat teknis yudisial, ada juga 5 rekomendasi yang tak bisa ditindaklanjuti karena menyangkut substansi putusan.
Selain itu ada pula 6 rekomendasi yang tidak bisa ditindaklanjuti karena MA telah menjatuhi sanksi lebih dulu kepada terlapor atas kesalahan yang sama.
Hatta mengaku terbuka dan menerima jika ada rekomendasi dari MA. Namun dia juga mengingatkan konstitusi menjamin kemerdekaan hakim dalam mengadili perkara karenanya dirinya tidak bisa juga memberi sanksi atas kasus-kasus yang terkait teknis.
"Tetapi sepanjang itu menyangkut kode etik tidak pernah ada yang tidak kita laksanakan," kata Hatta.
Komisi Yudisial (KY) menutup tahun 2019 dengan rapor merah bagi lembaga kehakiman. Berdasarkan catatan KY, sejak Januari hingga 23 Desember 2019 ada 130 hakim yang dikenai rekomendasi sanksi, angka itu meningkat 2 kali lipat jika dibanding tahun sebelumnya yang hanya 63 hakim.
"Memang ada peningkatan yang hampir dari double atau sekitar double. Kalau tahun lalu jumlah sanksi yang dikenakan Komisi Yudisial 63," kata Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Sukma Violetta di kantornya, Kamis (26/12/2019).
Sukma menjelaskan, dari seluruhnya paling banyak hakim melakukan pelanggaran hukum acara dengan 79 kasus. Bentuk pelanggaran yang dilakukan beraneka ragam, mulai dari mengabaikan bukti; membuat pertimbangan tidak sesuai fakta persidangan dan keliru mencantumkan tahun sidang; serta tidak menghormati putusan praperadilan dan tidak menghitung masa penahanan para pelapor.
Di sisi lain, ada 33 kasus pelanggaran murni. Di sini hakim disebut berpihak, berkomunikasi dengan para terdakwa, menerima suap/gratifikasi, selingkuh, berkata tidak pantas, dll.
Kemudian ada juga 18 pelanggaran administratif seperti bunyi amar putusan bertentangan dan tidak cermat dalam membuat putusan.
Hakim-hakim yang melakukan pelanggaran itu tersebar di sejumlah provinsi. Paling banyak berada di DKI Jakarta dengan 30 hakim, kemudian Sumatera Utara dengan 18 hakim, Riau dengan 16 hakim, dan Sulawesi Selatan dengan 11 hakim.
Atas perbuatannya KY merekomendasikan sanksi. Dari 130 hakim berkasus, 91 diusulkan mendapat sanksi ringan seperti teguran dan surat pernyataan tidak puas. Selain itu terdapat 31 hakim mendapat sanksi sedang, misalnya dilarang bersidang selama 1-6 bulan dan mendapat penundaan kenaikan pangkat.
Ada pula 8 hakim yang direkomendasikan mendapat sanksi berat yakni pemberhentian tetap dengan hak pensiun (2 hakim), pemberhentian dengan tidak hormat (4 hakim), dan larangan bersidang selama 2 tahun (2 hakim).
Kendati begitu, berbagai usulan sanksi itu tak serta merta diterima Mahkamah Agung (MA). Tercatat hanya 10 usulan sanksi yang diterima lembaga peradilan tertinggi tersebut, sementara 62 usulan sanksi dinyatakan tidak dapat ditindaklanjuti.
Selain itu ada 50 usulan sanksi yang masih proses minutasi dan 6 usulan sanksi yang belum mendapat respons.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri