tirto.id - Donald Trump berhasil meraih kemenangan dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024. Trump berhasil mengalahkan pesaing dari Partai Demokrat, Kamala Harris, dalam kontestasi yang penuh ketegangan dan dinamika politik yang sengit.
Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dirilis oleh AP VoteCast, Trump unggul atas Harris dengan perolehan lebih dari 71 juta suara. Trump berhasil meraih suara mayoritas di 31 negara bagian. Dalam hal suara elektoral, Trump meraih 277 suara dari total 538 suara elektoral, sedangkan Harris hanya mendapatkan 224 suara elektoral.
Dalam sistem pemilihan Presiden AS, calon yang memperoleh minimal 270 suara elektoral akan keluar sebagai pemenang. Dengan hasil ini, Trump dapat dipastikan memenangkan Pilpres AS 2024 dengan meraih suara populer dan suara elektoral terbanyak kendati masih harus menunggu pengumuman resmi.
Kemenangan Trump secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi beberapa sektor bisnis, termasuk yang dimiliki oleh Elon Musk. Saham perusahaan otomotif Tesla Inc milik Elon Musk naik lebih dari 14,8 persen hingga menjadi 289,4 dolar AS pada sesi pre-market pada Rabu (6/11/2023), pasca kemenangan Trump.
Sementara saham produsen kendaraan listrik pesaingnya anjlok. Nio, yang berkantor pusat di Shanghai, turun 5,3 persen. Saham produsen truk listrik Rivian ikut turun 8,3 persen dan Lucid Group turun 5,3 persen.
Keuntungan yang didapat Elon Musk melalui Tesla tentu bukan tanpa alasan. Belakangan ia menjadi salah satu pendukung vokal Trump. Dalam tiga bulan terakhir, Musk bahkan menyumbang lebih dari 100 juta dolar AS (setara Rp1,57 triliun) kepada sebuah komite aksi politik bernama America PAC yang mendukung Trump.
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), Agastya Wardhana, melihat dukungan Musk kepada Trump bisa dibaca sebagai upaya untuk mengamankan posisi Tesla di tengah kebijakan Trump ke depan. Musk sadar, Trump sebenarnya anti terhadap kendaraan listrik atau electric vehicles (EV).
“Di awal [Trump] ingin mengganti total kebijakan Biden terkait subsidi kendaraan listrik, kemudahan kredit, dan kebijakan-kebijakan pro-EV yang dibuat oleh Biden. Lalu Elon Musk masuk dan mengetahui secara sadar ‘loh Donald Trump itu anti-EV’,” jelasnya kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).
Agastya menambahkan, tapi bagi Elon Musk ada keuntungan yang bisa diambil jika Trump menang Pilpres AS. Karena secara tidak langsung narasi Trump ke depan pasti akan berubah. Ia tentu akan mendukung penuh perusahaan milik Musk, dalam hal ini Tesla. Dukungan ini sebagai bentuk balas budi atas dukungan Musk kepada Trump selama masa kampanye.
“Bahasanya Donald Trump, ‘saya harus dukung Elon Musk’. Kenapa? Karena Elon Musk ini sudah kasih uang saya banyak dan dia sangat fanatik sekali mendukung saya. Of course saya harus mendukung EV sekarang,” ujarnya.
Sebagai bentuk dukungan kepada Musk, Trump diperkirakan tidak lagi akan menghapus secara keseluruhan aturan terkait dengan EV. Setidaknya Trump hanya mengubah beberapa kebijakan yang sekiranya bisa untuk mengurangi EV, salah satunya adalah menerapkan tarif bea masuk tinggi untuk kendaraan listrik yang masuk ke AS.
Menurut Agastya, tarif bea masuk yang tinggi ini secara tidak langsung menguntungkan bagi Tesla. Mengingat untuk pasar domestik Amerika Serikat, sekarang Tesla punya banyak kompetitor. Produk-produk EV dari Cina dan Korea sudah memenuhi pasar kendaraan listrik di Amerika Serikat. Maka, ketika Trump nanti menerapkan tarif, itu akan membuat Tesla lebih kompetitif karena harganya bisa jual lebih murah.
“Sehingga itu bisa jadi mungkin salah satu keuntungannya yang diambil Elon Musk karena Trump akan mengenakan tarif kepada kompetitor utama Tesla,” jelas dia.
Keuntungan dari Proyek di Cina Meski Tarif Bergulir
Seiring dengan kebijakan tarif yang direncanakan oleh Trump untuk menekan ekonomi Cina, Tesla dan SpaceX dinilai sudah memiliki posisi yang menguntungkan. Musksaat ini diketahui tengah menjalankan proyek besar di Cina. Di mana Tesla membangun fasilitas produksi baterai di Shanghai, yang direncanakan akan mulai memproduksi baterai untuk mobil listrik Tesla pada kuartal pertama 2025.
“Tesla yang di Cina, di Shanghai, nggak akan kena impact-nya,” ujar praktisi dan pengajar Hubungan Internasional, Dinna Prapto Raharja, kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).
Terlebih, kata Dinna, Tesla di Cina bukan beroperasi dalam bentuk joint venture, melainkan sudah sepenuhnya deal dengan Pemerintah Cina untuk memproduksi dan menjual mobil serta baterai di kawasan Asia, khususnya untuk pasar Cina. Dengan demikian, meskipun kebijakan tarif baru diterapkan, proyek Tesla di Shanghai yang lebih fokus pada pasar lokal tidak akan terpengaruh oleh kebijakan Trump.
“Jadi sepertinya proyek Tesla yang dimiliki oleh Elon Musk itu bakal dapat kemudahan pajak sekaligus keuntungan karena mereka sudah berada di sana,” imbuh dia.
Selain Tesla, SpaceX juga mendapat perhatian khusus dari Trump, yang memandang proyek luar angkasa tersebut sebagai bagian dari kemajuan teknologi dan industri Amerika. Keputusan ini memperlihatkan bahwa meskipun kebijakan tarif semakin ketat, beberapa perusahaan besar, termasuk yang dipimpin oleh Elon Musk, bisa tetap menguntungkan berkat kesepakatan strategis dan kemudahan pajak di Cina.
“Jadi kemungkinan besar untuk urusan space program luar angkasanya Elon Musk juga akan jalan terus,” ujarnya.
Di luar dari itu, Agastya Wardhana melihat Musk sebenarnya juga mendapatkan keuntungan dari X, platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Pasalnya dukungan Musk terhadap Trump selama ini paling terlihat di X, platform yang sebelumnya dibeli seharga 4,4 miliar dolar AS pada 2022.
Akun Musk sendiri memiliki lebih dari 200 juta pengikut. Unggahan atau narasi dukungan Musk terhadap Trump mendapatkan jumlah tayangan, repost, dan like yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akun-akun politik terkemuka lainnya di platform tersebut.
“Pemilu Amerika Serikat dengan kemenangan Trump ini menjadi platform yang menarik, orang-orang bisa jadi kembali ke X lagi karena Elon Musk sudah mengampanyekan,” ujar Agastya.
Bentuk dukungan Musk di platform X memberikan keuntungan signifikan. Musk, dalam hal ini tampaknya ingin mengembalikan atau menjadikan X sebagai media massa terbesar di dunia bahkan menjadikannya platform yang menarik.
“Saya kira dia akan memainkan narasi itu dan mendongkrak pendapatan atau keberhasilan X ke depannya,” ujarnya.
Terlebih di AS, X cukup signifikan paling tidak membuat narasi-narasi yang berkembang, baik dari Kamala Harris maupun pendukung Donald Trump. Dan dengan kemenangan Donald Trump dan Elon Musk secara terang-terangan mendukungnya, maka akan banyak sekali pendukung Trump yang kemudian mengetahui X dan masuk ke sana untuk mencoba.
“Dengan harapan paling tidak membuat situs ini kembali populer. Dan memang terbukti sekarang dia sudah nomor satu atau nomor dua, paling tidak dengan New York Times, X menjadi salah satu situs pemberitaan yang cukup populer di Amerika Serikat,” pungkas dia.
Tapi di balik keuntungan X, Dinna Prapto Raharja yang juga pendiri Synergy Policies justru menyoroti kasus hukum Musk terkait dengan pembelian saham di Twitter yang kemudian diubah menjadi platform X. Tindakan Musk dianggap melanggar peraturan sekuritas karena tidak segera melaporkan pembelian saham tersebut kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC).
Tapi masalah hukum yang sedang dihadapinya, bisa saja mendapatkan kemudahan atau bahkan pembatalan proses hukum pasca dukungannya terhadap Trump.
“Kalau situasinya seperti sekarang dia menang menjadi presiden berarti kan nggak berlaku dong pelanggaran hukum itu. Pun Elon Musk kalau dia diangkat menjadi advisor orang penting di pemerintahan Donald Trump bisa jadi proses hukum yang sedang dilaluinya itu bisa berhenti,” pungkas Dinna.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi