tirto.id - Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo meradang kepada manajemen BPJS Kesehatan. Ketika berpidato di Kongres XIV Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia di JCC Jakarta, Rabu (17/10/2018) kemarin, Joko Widodo mengatakan semestinya Badan Hukum Publik itu bisa menyelesaikan sendiri masalah keuangan.
"Mestinya [semua masalah] sudah rampunglah di Menkes [Menteri Kesehatan], di Dirut BPJS," ujar bekas Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini.
"Ini sebetulnya urusan Dirut BPJS, enggak sampai presiden kayak gini-gini. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai presiden ini kebangetan sebetulnya," tambahnya.
Kerugian seolah menjadi nama tengah BPJS Kesehatan. Pada 2014 atau pada tahun pertama beroperasi, mereka langsung merugi Rp814,4 miliar, pada 2015 kerugian membengkak jadi Rp4,63 triliun, dan pada 2016 kerugian menjadi Rp6,6 triliun. Tahun ini, utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit per September—yang berasal dari klaim para peserta yang jumlahnya lebih dari 200 juta—sudah mencapai Rp7,3 triliun.
Tanggung Jawab Presiden
Jokowi bisa jadi cuma ingin BPJS memutar otak lebih keras agar tidak terus-terusan merugi. Tapi pernyataan Jokowi kalau masalah seharusnya selesai di level menteri sehingga tidak perlu sampai ke "meja"-nya jelas salah besar. Faktanya, BPJS Kesehatan memang bertanggung jawab kepada presiden, bukan yang lain.
Relasi antara BPJS Kesehatan dan presiden tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PDF). Pada Pasal 7 ayat 2, disebutkan: "BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden."
Pun dengan Direksi BPJS. Hanya presiden yang punya wewenang mengangkat dan memberhentikan mereka (Pasal 23 ayat 2).
Atas dasar hukum itu, Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar menganggap, ucapan Jokowi terdengar seperti upaya lepas tangan. Menurutnya pernyataan "seharusnya urusan Dirut BPJS" seperti menganggap persoalan jaminan sosial, yang merupakan perintah konstitusi, bukan hal penting.
"Padahal ini menyangkut nyawa 100 persen rakyat Indonesia. Kok presiden seperti lepas tangan, enggak benar itu," kata Indra kepada reporter Tirto, Kamis (18/10/2018).
"Ini urusan Presiden. Panggil direksi, biar dibenahi manajemennya," tambahnya.
Idealnya, kata Indra, Jokowi harus memanggil direksi, membahas bersama apa masalahnya, dan bagaimana jalan keluarnya.
Salah satu jalan keluar adalah menaikkan premi peserta. Namun, pemerintah memilih tidak melakukan itu. Ini diduga terkait motif politik: bahwa menaikkan premi bisa membuat Jokowi tidak populer.
"Itu sistem iurannya harus dibenahi. Biaya iuran sekarang kan hanya sekitar Rp25 ribu, padahal ideal dan sehatnya itu Rp36 ribu. Makanya sampai sekarang enggak nutup [kerugian]," kata Indra.
Dewan Jaminan Sosial Nasional menyebut perhitungan aktuaria—penaksiran biaya berobat sebelum penetapan asuransi—bagi peserta kategori Mandiri Kelas II sebesar Rp63 ribu. Ada kekurangan Rp12 ribu yang harus ditanggung negara karena penetapan pemerintah untuk iuran kategori ini cuma Rp51 ribu.
Hal sama terjadi pada peserta kelas III, yang semestinya Rp53 ribu tapi membayar iuran Rp25.500 saja. Begitu pun peserta kategori subsidi, yang seharusnya Rp36 ribu tapi membayar iuran Rp23 ribu.
Tafsir berbeda diberikan Edy Hariyadi, suami Juniarti, pasien kanker payudara HER-2+ yang menggugat BPJS Kesehatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena tak lagi menanggung Trastuzumab, obat yang paling efektif untuk menyembuhkan kanker jenis itu. Edy malah mengatakan peringatan Jokowi merupakan bentuk intervensi karena sudah banyak hal telah diupayakan pemerintah untuk mempersehat BPJS Kesehatan tapi masalah keuangan tak juga terselesaikan.
Pemerintah misalnya telah membantu pembayaran utang dengan mengucurkan duit lewat APBN sejumlah Rp4,9 triliun pada awal oktober lalu. Bantuan serupa telah diberikan sejak 2014, tapi tak pernah bisa menutup sepenuhnya defisit anggaran.
Menurut Edy, Jokowi seharusnya bisa berbuat lebih dari itu. Ia menilai sudah waktunya presiden mengganti Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris.
"Presiden layak mengganti Dirut BPJS sesegera mungkin. Karena dengan manajemen sekarang akan menambah beban dia," kata Edy.
Harus Dipandang Positif
Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Maruf justru memandang positif pernyataan Jokowi itu. Katanya, ucapan presiden harus dilihat sebagai rasa sayang kepada seluruh pejabat dan masyarakat.
"Kami tentu memandang positive thinking komentar itu. Anggap itu merupakan rasa sayang ke kami karena mengingatkan untuk cepat menyelesaikan masalah yang ada," kata Iqbal saat dihubungi wartawan Tirto.
Hingga saat ini, kata Iqbal, pihaknya masih mengacu pada PP nomor 87 tahun 2013 untuk coba mengatasi masalah defisit. Di sana dijelaskan ada tiga pilihan: penyesuaian iuran, penyesuaian pemanfaatan, dan terakhir suntikan dana.
"Suntikan dana itu yang kami harapkan. Itu kan dana dari pemerintah," katanya singkat.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino