tirto.id - Tony Samosir, ketua umum komunitas pasien cuci darah Indonesia, membuka layar ponsel dan membacakan isinya, “Penggunaan epoetin alfa dan beta serta besi sukrosa pada pasien hemodialisis (cuci darah) diberhentikan guna efisiensi anggaran Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soedarso.”
Rumah sakit itu berada di Pontianak, Kalimantan Barat, dan penghentian subsidi medis itu telah berlaku sejak 21 Februari 2018.
Tony segera menelepon seseorang di sana, sesama pasien cuci darah bernama Sari. “Masih sampai sekarang, terakhir kemarin audiensi tapi belum ada titik temu,” ujar Sari. "Kami terpaksa merogoh kocek pribadi untuk menutup biaya obat-obatan.”
Usai menelepon, Tony menghela napas lalu merepet. Langkah rumah sakit di Pontianak itu karena keuangannya tak sanggup lagi menopang pasien BPJS Kesehatan. Klaim mereka yang diajukan belum cair karena problem defisit keuangan BPJS Kesehatan. Sementara operasional rumah sakit harus berjalan, dokter dan perawat harus digaji, dan obat-obatan harus dibayar.
Problem macam itu juga jamak terjadi di rumah sakit-rumah sakit lain yang jadi mitra BPJS Kesehatan.
Tony gerun karena problem macam itu tak cuma menimpa pasien cuci darah seperti dirinya, tapi juga pasien kanker di mana BPJS Kesehatan menghentikan obat trastuzumab per 1 April 2018. Trastuzumab adalah obat vital bagi proses penyembuhan banyak pasien kanker payudara.
Juli lalu terbit Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan yang isinya BPJS Kesehatan membatasi pelayanan untuk bayi baru lahir, penyakit katarak, dan rehabilitasi medis.
“Ketiadaan obat memang tidak bikin kami mati sekarang, tapi membuat jangka panjang hidup kami menjadi tak berkualitas,” ujar Tony. “Pasien cuci darah rentan mengalami gagal jantung, pengeroposan tulang, katarak, dan lain-lain ketika tidak disokong obat-obat tambahan.”
Mengapa rumah rumah sakit membatasi pelayanan medis kepada sebagian pasien BPJS Kesehatan?
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia DKI Jakarta Koesmedi Priharto berkata bahwa defisit BPJS Kesehatan telah memaksa manajemen rumah sakit bersikap hemat. Idealnya, klaim rumah sakit harus dibayar 14 hari setelah BPJS Kesehatan melakukan verifikasi. Bila terlambat, BPJS Kesehatan dikenai denda ganti rugi 1 persen per bulan.
Namun, faktanya, proses verifikasi itu bisa makan waktu selama dua sampai tiga bulan. Sebaliknya, rumah sakit harus membayar tagihan obat kepada distributor paling lambat 45 hari setelah pembelian. Beban ini ditambah biaya operasional plus gaji pegawai bulanan.
“Lewat dari batas pembayaran obat, pelayanan dari distributor akan terkunci, mandek,” ujar Koesmedi.
Sebelum jumlah peserta BPJS meledak seperti sekarang—lebih dari 200 juta dari 265 juta penduduk Indonesia pada 2018, rumah sakit biasanya bisa menyimpan cadangan dana untuk dua sampai tiga bulan ke depan. Kondisi itu ketika jumlah pasien BPJS dan pasien umum masih seimbang.
Kini jumlahnya makin jomplang: 90 persen pasien BPJS Kesehatan dan 10 persen pasien umum. Taksiran Koesmedi, ada 50 persen rumah sakit yang mengalami kelangkaan obat-obatan karena BPJS masih menunggak pembayaran. Rumah sakit ini hanya punya pegangan uang selama sebulan dan ludes terpakai guna operasional serta gaji pegawai.
“Terpaksa kami mengakali dengan tulis resep obat untuk pasien beli sendiri di luar,” tambah Koesmedi.
Mereka yang Membikin Defisit BPJS Kesehatan
Edi Susanto, 53 tahun, adalah warga Tangerang yang menunggak pembayaran BPJS Kesehatan. Ia tahu kondisi itu bikin ia memupuk utang. Tagihan terus berjalan dengan hitungan premi satu tahun ditambah satu bulan. Edi menjadi peserta BPJS Mandiri kelas dua sejak 2014 ketika program jaminan kesehatan nasional ini mulai beroperasi. Ia membawahi empat anggota keluarga lain, seorang istri dan tiga anak.
Ketika itu ekonomi keluarganya masih lancar. Ia bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik tekstil di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun, sekitar pertengahan 2015, Edi terkena Pemutusan hubungan kerja. Sejak itulah pembayaran premi BPJS dia mulai menunggak. Mula-mula ia hanya membayar premi untuk dia sendiri dan anak sulung yang dianggap lebih rentan sakit.
Tapi, tahun berikutnya ketika BPJS Kesehatan menerapkan pembayaran kolektif pada September 2016, ia mulai kepayahan. Aturan itu mewajibkan premi BPJS dibayar renteng satu keluarga. Artinya, setiap bulan ia harus membayar premi Rp255 ribu serta Rp51 ribu dikali lima orang. Jika ingin menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan lagi, ia harus membayar Rp51 ribu dikali 13 bulan dikali 5 anggota keluarga, totalnya Rp3.315.000.
“Sudah enggak kuat saya karena sudah enggak kerja,” kata Edi.
Selain profil keluarga miskin macam Edi, masalah lain yang bikin keuangan BPJS Kesehatan defisit adalah orang-orang kaya yang jadi peserta program ini.
Mereka yang disebut terakhir ini sebetulnya mampu membayar asuransi kesehatan swasta. Mereka akan memilih jaminan kesehatan via BPJS hanya ketika menerima tindakan medis berat seperti operasi jantung. Sesudahnya, mereka kembali menunggak iuran.
Padahal penyakit jantung mengambil porsi pembiayaan paling besar (52 persen) dibandingkan tujuh penyakit katrastopik lain: kanker (16 persen), stroke (13 persen), gagal ginjal (12 persen), talasemia atau kelainan darah (2,3 persen), hemofilia atau gangguan pembekuan darah (1,7 persen), hepatitis (1,6 persen), dan leukimia (1,5 persen).
Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan tapi Tetap Nombok
Pelbagai cara dilakukan pemerintah guna menambal keuangan BPJS Kesehatan. Selain dari Penyertaan Modal Negara sejak 2014, kenaikan tarif iuran pun pernah diterapkan demi mendongkrak pemasukan.
Kenaikan besaran iuran bagi penerima subsidi menjadi Rp23 ribu dari sebelumnya Rp19.225/orang setiap bulan. Sementara untuk peserta segmen mandiri kelas II naik dari Rp42.500 menjadi Rp51.000. Dan, untuk segmen Mandiri Kelas I naik dari Rp59.500 menjadi Rp80.000 (sejak 1 Januari 2016).
Celakanya, biaya hitungan aktuaria tetap jauh lebih tinggi dibandingkan iuran peserta BPJS Kesehatan yang telah dinaikkan tersebut.
Dewan Jaminan Sosial Nasional menyebut perhitungan aktuaria—alias penaksiran sebelum penetapan asuransi—bagi peserta BPJS Kesehatan kategori Mandiri Kelas II sebesar Rp63.000. Ada kekurangan Rp12.000 yang harus ditanggung negara karena penetapan pemerintah untuk iuran kategori ini sebesar Rp51.000. Hal sama untuk peserta kelas III, yang semestinya Rp53.000 tapi membayar iuran Rp25.500. Begitupun peserta kategori subsidi, yang seharusnya Rp36.000 tapi membayar iuran Rp23.000.
Dari selisih biaya yang harus ditutupi pemerintah itu, per 1 September 2018 saja, 58,90 persen atau 118,777 juta jiwa dari total 201,660 juta peserta BPJS merupakan kategori penerima subsidi, sehingga harus ditanggung APBN maupun APBD.
BPJS Kesehatan hanya mengharapkan pemasukan iuran dari 48,2 juta jiwa pekerja penerima upah, 29,57 juta peserta mandiri, dan 5,12 juta dari kelompok bukan pekerja.
Asumsi di atas kertas, ratusan juta jumlah peserta BPJS Kesehatan ini bisa menutupi klaim biaya kesehatan. Namun, masalahnya, hanya separuh peserta BPJS Kesehatan yang patuh membayar iuran.
“Baru 54 persen dari peserta kategori mandiri yang aktif membayar iuran," ujar Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan dalam sebuah rapat di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hitungannya, hanya 15,97 juta peserta BPJS Kesehatan kategori mandiri yang taat membayar iuran. Dan, mengingat iuran peserta Kelas III tidak ikut dinaikkan, para peserta mandiri kelas I maupun kelas II justru terdorong untuk pindah ke kelas III—hanya Rp25.500.
Pada 2015, ada 5,95 juta peserta BPJS Kesehatan yang bandel, hanya bayar iuran saat sakit tapi mangkir sesudahnya. Dari angka itu, 5,51 juta adalah peserta segmen mandiri, yang diharapkan aktif membayar iuran setiap bulan.
Per Juni 2018, misalnya dari data Dewan Jaminan Kesehatan Nasional, ada 17,37 juta peserta yang bandel, dan 13,52 juta di antaranya adalah peserta mandiri. Hitungan kasar saja, jika 13,52 juta peserta ini tertib membayar iuran setara kelas III sebesar Rp25.500, maka BPJS Kesehatan kehilangan potensi pendapatan mencapai Rp344,76 miliar pada bulan Juni 2018.
"Akhir tahun, kami harapkan tingkat kepatuhannya bisa bertambah menjadi 60 persen,” ujar Mardiasmo.
Penulis: Aditya Widya Putri & Dea Chadiza Syafina
Editor: Fahri Salam