Menuju konten utama

Nasib Pasien Usai BPJS Pangkas Biaya Persalinan dan Obat Kanker

Dokter dan rumah sakit kebingungan karena BPJS tidak mau mengganti biaya pengobatan di luar kemampuan mereka, padahal standarnya bisa saja lebih dari itu.

Nasib Pasien Usai BPJS Pangkas Biaya Persalinan dan Obat Kanker
Petugas melayani pelanggan di Kantor Cabang Utama BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Senin (27/11/2017). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengeluarkan tiga aturan baru terkait jaminan pelayanan kesehatan, pada Juli 2018. Meski kebijakan itu ditentang oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), akan tetapi BPJS tetap tidak peduli. Misinya hanya satu: menyelamatkan defisit keuangan BPJS.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai langkah BPJS itu hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan nasib peserta BPJS yang telah membayar premi. Apalagi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menuruti pandangan dari IDI dan PERSI bahwa peraturan yang dikeluarkan BPJS harus ditunda terlebih dahulu.

Ketiga aturan yang dipermasalahkan itu, antara lain: Peraturan Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 02 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Pelayanan Kesehatan, Peraturan Nomor 03 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Bar Lahir Sehat, dan Peraturan Nomor 05 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Ketiganya mempengaruhi pelayananan standar kesehatan kepada pasien.

“Ini bentuk kegagalan. [BPJS] kerjaannya hanya mengurangi pelayanan, ini akan kontraproduktif dan ini akan tambah buruk. Poin utama adalah defisit itulah yang diatasi, sekarang cara mengatasi defisit tidak perlu mengurangi manfaat, tapi yang perlu gimana meningkatkan pendapatan,” kata Timboel.

Kemenkes melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo telah mengeluarkan surat pada Rabu (18/7/2018). Isi surat itu melarang agar ketiga peraturan yang dikeluarkan BPJS tersebut tidak diberlakukan terlebih dahulu sampai dengan pembahasan bersama dengan Kementerian Kesehatan. Seharusnya, hingga sekarang peraturan ini tidak berlaku.

IDI juga telah mengirim surat pada 17 Juli 2018 dan PERSI pada 12 Juli 2018. Keduanya menolak adanya aturan tersebut karena dianggap bisa mencampuri pekerjaan profesi dokter. Namun surat itu dibalas oleh BPJS hanya berselang satu hari, yakni tanggal 18 Juli 2018, bertepatan dengan surat Kemenkes.

Dalam suratnya, BPJS mengaku tidak mencampuri profesi dokter sama sekali. Akan tetapi, BPJS tidak mau menunda dan tetap ngotot dengan penerapan ketiga aturan tersebut. Apabila IDI dan PERSI merasa tidak puas, BPJS tidak terpengaruh. Dalam surat itu, BPJS menilai bahwa peraturan tersebut adalah aturan internal yang diberlakukan untuk panduan kerja bagi petugas BPJS di lapangan.

Aturan ini, menurut Timboel, sangatlah berbahaya. Dengan adanya aturan ini, dokter tidak bisa merawat pasien dengan efisien. Dalam penjelasannya, BPJS mengaku akan tetap membayar biaya perawatan pasien sesuai dengan kemampuannya. Inilah yang berbahaya menurut Timboel, karena BPJS tidak menerangkan sejauh mana biaya kesehatan tersebut dibayarkan.

“Sekarang regulasi BPJS mau membuat si dokter-dokter itu kewenangan medis dibatasi untuk menangani si anak baru lahir. Itu yang diprotes oleh dokter. Kalau dokter bilang ini anak sakit kuning lalu butuh obat, tapi enggak pasti dijamin pembayarannya, itu apa? Karena dibatasi kewenangan dokter oleh BPJS dalam rangka untuk mengendalikan biaya,” kata Timboel menambahkan.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zainal Abidin menegaskan, pihaknya akan mengadakan rapat dengan Kemenkes, BPJS, IDI, dan PERSI untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengakui, dana Jaminan Kesehatan Sosial memang sedikit. Namun, tanggung jawab utama harusnya memberi pelayanan kesehatan pada pasien.

“Itu tidak bisa dihindari, ya itu harus dilakukan,” kata Zainal kepada Tirto.

Dalam satu kasus pelayanan kesehatan, BPJS memang cenderung mencari biaya yang paling murah. Zainal merasa itu wajar karena BPJS berwenang pada pembayaran. Tapi apabila BPJS harus mengorbankan pelayanan standar tentu tak bisa dibenarkan.

Infografik CI Keuangan BPJS Kesehatan

Alasan BPJS dan Penolakan IDI

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat mengatakan, pihaknya akan tetap mengutamakan mutu pelayanan kepada pasien JKN-Kartu Indonesia Sehat. Nopi mengaku bahwa aturan tersebut sampai sekarang masih dalam pembahasan. Hal ini bertolak belakang dengan surat yang BPJS berikan kepada IDI dan PERSI. Kemungkinan besar, keputusan ini berubah karena ada teguran dari Kemenkes.

“Dapat kami sampaikan bahwa sampai dengan saat ini, pengaturan kebijakan penjaminan pelayanan kesehatan masih dalam proses pembahasan. BPJS Kesehatan tetap akan menjalankan kewenangannya sebagai penjamin finansial sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Nopi pada Tirto.

BPJS juga menampik adanya tudingan bahwa mereka membatasi tindakan profesi dokter dalam pelayanan medis kepada pasien. Hanya saja, BPJS cuma akan membayar sesuai kemampuan finansialnya. Sedangkan ketika ditanya soal sejauh mana kemampuan finansial untuk menyokong pasien, Nopi bungkam.

“Mempertimbangkan kondisi finansial saat ini, maka BPJS Kesehatan hanya akan menjamin sesuai dengan kemampuannya,” kata Nopi.

Dalam Ikhtisar Laporan Keuangan BPJS Kesehatan yang diakses pada Jumat (20/7/2018), pada 2017, BPJS mencatatkan tidak ada penghasilan dari operasional. Ada defisit penghasilan operasional sebesar Rp239 miliar dan mengalami kerugian komprehensif sebesar Rp183 miliar.

Oleh sebab itu, apabila pengertian Nopi adalah “sesuai dengan kemampuan BPJS” tentunya saat ini mereka sudah tidak mampu. Dari data yang diperoleh BPJS Watch, dari Januari 2018 sampai Mei 2018 saja, defisit total BPJS mencapai Rp4,8 triliun. Hal ini diperoleh dari penghasilan BPJS senilai Rp33,56 triliun, sedangkan pengeluaran mereka sejauh ini Rp38,38 triliun.

Adanya halangan dana ini menjadi masalah karena BPJS kian membatasi perawatan pasiennya. IDI pun merasa risih dengan hal itu.

Ketua Umum IDI Daeng Faqih mengaku, dokter dan rumah sakit kesulitan melayani pasien BPJS Kesehatan. Mereka kebingungan karena BPJS tidak mau mengganti biaya pengobatan di luar kemampuan mereka, padahal standarnya bisa saja lebih dari itu.

“Pelayanan setelah persalinan itu, kan, masuk bagian medis. Tapi kalau berdasar aturan baru, biaya itu tidak ditanggung BPJS. Lantas bagaimana?” katanya pada Tirto.

Sedangkan untuk penanganan itu, IDI menyerahkan pihak rumah sakit untuk menagih kepada pasien. Celakanya, ketika pasien tidak mempunyai uang, lalu dokter dan pihak rumah sakit tidak tahu harus menagih ke siapa. “Ini tidak ada regulasinya,” kata Daeng menambahkan.

“Sekarang kalau tidak dirawat, bisa muncul masalah lain. Tapi kalau dirawat, BPJS tidak mau menanggung biaya dan ini menjadi dilema. Dokter dan rumah sakit jadi kayak makan buah simalakama. Ini aturan tidak jelas dan dokter dan pasien yang dirugikan,” kata Daeng.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz