Menuju konten utama

Otak-Atik Uang Ratusan Triliun Rupiah BPJS Ketenagakerjaan

Wapres Jusuf Kalla (JK) meminta porsi investasi properti oleh BPJS Ketenagakerjaan diperbesar. Apa konsekuensinya?

Otak-Atik Uang Ratusan Triliun Rupiah BPJS Ketenagakerjaan
Petugas BPJS Ketenagakerjaan melayani warga di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Daerah Istimewa Yogyakarta, DI Yogyakarta, Kamis (22/6). ilyar. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pada 25 April lalu mengusulkan BPJS Ketenagakerjaan tak hanya mengandalkan surat utang atau obligasi sebagai investasi utama dari total dana kelolaan. Dana yang dihimpun BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai ratusan triliun rupiah harus dimaksimalkan di portofolio investasi khususnya properti.

Investasi BPJS Ketenagakerjaan seperti surat utang dan deposito cukup berisiko karena bisa terpengaruh inflasi ataupun fluktuasi nilai tukar mata uang. Sehingga, perlu ada investasi lainnya yang bisa diandalkan, tapi minim risiko saat ada koreksi.

Investasi yang direkomendasikan JK antara lain investasi properti. Menurut JK, selain imbal hasil yang menjanjikan, investasi properti juga berdampak langsung bagi masyarakat, misalnya, membangun perumahan buruh.

“Selalu saya katakan, begitu banyak industrial estate, tetapi perumahan buruhnya tidak ada. Kalau itu [dana BPJS] dibangunkan rusunawa (rumah susun sederhana sewa), di samping dia bayar sewa, yang bayar toh yang punya pabrik, bisa dipotong di situ langsung,” kata JK.

Keinginan JK ini tidak main-main. Ia akan meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk memperbesar alokasi maksimal investasi properti pada BPJS Ketenagakerjaan. Pengelolaan aset BPJS Ketenagakerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pada pasal 29 disebutkan bahwa investasi tanah, bangunan atau tanah dengan bangunan paling tinggi 5 persen dari jumlah investasi.

Menkeu memiliki wewenang yang cukup banyak terhadap pengelolaan aset BPJS Ketenagakerjaan di antaranya adalah mengatur dana operasional yang dapat diambil dari dana jaminan sosial ketenagakerjaan. Selain itu, Kementerian Keuangan juga menetapkan standar kesehatan keuangan BPJS. Standar tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 242/PMK.02/2016 tentang Standar Kesehatan Keuangan Aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Uang Triliunan BPJS Ketenagakerjaan

BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi jaminan hari tua (JHT), jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun.

Untuk dapat menyelenggarakan seluruh program itu, BPJS Ketenagakerjaan memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga dapat menerima bantuan iuran dari pemerintah.

Selain memungut dan mengumpulkan iuran, BPJS Ketenagakerjaan juga bertugas mengelola dana jaminan sosial. Hingga Desember 2017, total dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai Rp317,26 triliun (PDF) dengan imbal hasil sebesar Rp26,71 triliun.

Dari total dana kelola tersebut, BPJS Ketenagakerjaan mengalokasikan dananya pada surat utang sebesar 58,70 persen, saham 18,99 persen, deposito 12,46 persen, reksa dana 9,13 persen, properti 0,58 persen, dan penyertaan sebanyak 0,13 persen.

Apa risiko BPJS Ketenagakerjaan bila menambah porsi investasi di properti?

Investasi di sektor properti memang cukup menjanjikan karena harga tanah terus meningkat setiap tahunnya. Hanya saja, imbal hasil investasi properti masih kalah dibandingkan dengan deposito, obligasi dan saham.

“Ini [properti] imbal hasilnya enggak besar, kalau alokasinya ditambah bisa memengaruhi hasil dana investasi BPJS Ketenagakerjaan secara keseluruhan,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Tirto.

Berdasarkan proyeksi dana dan hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2017, imbal hasil properti hanya sebesar 8,45 persen, lebih rendah dari imbal hasil deposito sebesar 9 persen, obligasi 8,8 persen dan saham 14,38 persen. Sehingga apabila BPJS Ketenagakerjaan mengalokasikan lebih banyak dana investasinya di sektor properti hingga 20-25 persen dari total dana investasi—seperti yang diinginkan oleh wapres akan punya dampak pada imbal hasil.

Pertimbangan lainnya yang harus diperhatikan adalah investasi properti tergolong dalam aset tidak lancar atau fixed asset. Artinya, properti adalah jenis aset yang tidak mudah dicairkan atau diuangkan, sehingga masuk ke dalam golongan investasi jangka panjang. Hal ini tentu akan memberatkan BPJS Ketenagakerjaan mengingat program-program mereka juga membutuhkan dana untuk membiayai beban-beban jangka pendek. Artinya, aset lancar lebih dibutuhkan BPJS Ketenagakerjaan.

Namun demikian, properti juga sebenarnya bisa menghasilkan uang secara berkala melalui bisnis penyewaan. Hanya saja, untuk melakukan hal itu tidaklah mudah karena bisnis properti terbilang kompleks. Selain itu harus berlokasi di tempat yang strategis, investor juga harus menyiapkan fasilitas pendukungnya, seperti sekolah, tempat ibadah, pasar dan lain sebagainya. Kalau tidak, maka properti yang disewakan berisiko tidak laku.

“Jadi bukan bangun rusun atau apartemen, lalu setelah itu selesai. Fasilitas publiknya juga harus dipikirkan. Jadi perlu kajian yang matang jika ingin bangun rusun untuk buruh ini,” tutur Perencana Keuangan Aidil Akbar Madjid kepada Tirto.

Infografik Alokasi investasi BPJS ketenagakerjaan

Penyediaan Rumah Buruh

Rencana penyediaan tempat tinggal buruh dari Wapres JK, juga pernah diwacanakan oleh Presiden Jokowi pada 2015 yang lalu. Bahkan, permintaan alokasi investasi properti dari presiden kala itu lebih tinggi, yakni hingga 40-50 persen dari total dana investasi BPJS Ketenagakerjaan.

“Dana di BPJS Ketenagakerjaan itu kurang lebih Rp180 triliun (per Mei 2015). Yang bisa digunakan, dan ada regulasi hanya 5 persen. Nah, kita baru akan proses agar uang itu lebih produktif buat pekerja dan buruh,” kata Jokowi pada 4 Mei 2015.

Penyediaan tempat tinggal bagi pekerja sudah difasilitasi melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 35/2016 tentang tata cara pemberian, persyaratan, dan jenis manfaat layanan tambahan dalam program jaminan hari tua. Dalam peraturan tersebut, pekerja atau buruh berhak mendapatkan pembiayaan perumahan, meliputi Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP), Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) dengan suku bunga paling tinggi empat persen.

Selain itu, rumah tinggi untuk buruh juga sudah diatur di UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Jadi, dengan dua aturan tersebut sebenarnya sudah cukup bagi pemerintah dalam penyediaan rumah tinggal bagi buruh.

“Poin saya jelas, adalah bagaimana BPJS Ketenagakerjaan ini bisa mendapatkan nilai lebih dari hasil investasinya, sehingga manfaat bagi pekerja sebagai pemegang saham juga semakin besar. Makanya, jangan sampai turun hasil investasinya,” kata Timboel.

Kekhawatiran Timboel juga bukan tanpa sebab. Dalam lima tahun terakhir ini, tren imbal hasil atau yield on investment (YOI) BPJS Ketenagakerjaan terus menurun. Pada 2017, imbal hasil hanya 9,40 persen, lebih rendah dari imbal hasil 2013 sebesar 10,76 persen.

Upaya mendorong investasi properti BPJS Ketenagakerjaan memang berpeluang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi ketimbang produk investasi lainnya. Namun, bila melihat imbal hasil historis dan kompleksitas bisnis properti, investasi properti juga tak kalah berisiko.

Baca juga artikel terkait BPJS KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra