tirto.id - Mereka adalah pekerja yang paling gampang terpapar berbagai risiko. Sayangnya, mereka juga merupakan kelompok yang paling “tidak terlindungi”. Minimnya informasi membuat mereka tidak paham tentang pentingnya proteksi berupa asuransi. Mereka yang kurang beruntung ini adalah para pekerja sektor informal.
Salah satu dari sekian juta karyawan informal yang belum memiliki asuransi adalah Yundhi, seorang tukang ojek pangkalan di kawasan Depok. Ia sudah bekerja sebagai pengemudi ojek sejak tahun 2009, dan selama itu pula ia sama sekali tidak memiliki proteksi.
“Oh, ada ya, asuransi buat tukang ojek kayak saya?” tanya Yundhi, saat Tirto menjelaskan tentang BPJS dan juga KIS.
Tirto menemui Yundhi dan beberapa tukang ojek yang sedang mangkal. Sebagian sudah ada yang memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS.
“Elu kok nggak ngomong ada KIS?” tanya Yundhi kepada kawannya. Selama ini, Yundhi dan keluarga kecilnya berobat menggunakan uang pribadi.
Yundhi tidak sendiri. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional pada Februari 2017, masyarakat Indonesia yang bekerja pada sektor informal berada pada angka 63 juta orang, atau sekitar 51 persen dari total angkatan kerja nasional. Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Ilyas Lubis, mengatakan dari sekitar 63 juta orang yang bekerja di sektor informal tersebut, baru sekitar 1,4 juta orang yang aktif dalam program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (JSK). Jumlah ini tentu saja sangat kecil jika dibandingkan dengan 24 juta peserta aktif dari sektor formal maupun total pekerja sektor informal.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Tembus 22,6 Juta Orang Peserta
Tak hanya pengemudi ojek daring ataupun pangkalan, para pedagang makanan keliling, petani, pekerja rumah tangga, tukang bangunan, maupun milenial yang berprofesi sebagai pekerja lepas di industri film semuanya dapat dikategorikan sebagai pekerja informal dalam kategori Bukan Penerima Upah (BPU). Jika berkaca pada Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015, para pekerja informal ini berhak atas program Jaminan Keselamatan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) di bawah naungan BPJS Ketenagakerjaan.
Program JKK akan menjamin biaya pengangkutan, rehabilitasi, perawatan, santunan cacat tetap sebagian dan total, hingga santunan berkala. Sementara itu, JKM memberikan biaya pemakaman dan santunan berkala. Untuk mendapatkan kedua bentuk jaminan ini para pekerja BPU membayar iuran sebesar Rp 16.800 untuk per bulan atau Rp560 per harinya.
Kendala Sistematis
Penelitian yang dilakukan oleh Dartanto dan Teguh et al (2016) menunjukkan, salah satu permasalahan yang dialami oleh pekerja informal adalah minimnya pengetahuan mengenai asuransi terutama, soal perbedaan antara tabungan, asuransi pendidikan, asuransi kesehatan, maupun asuransi ketenagakerjaan. Tanpa pengetahuan yang mendalam (cara mendaftar, proses pembayaran, dan keuntungan), asuransi akan dinilai sebagai beban jumlah pengeluaran per bulan, apalagi bagi pekerja informal yang penghasilannya tidak tetap sehingga mereka harus selalu berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk menanggung ongkos rumah sakit jika terjadi kecelakaan kerja akan jauh lebih mahal jika tidak ada asuransi.
Minimnya literasi perlindungan finansial dikarenakan sulitnya mencapai para pekerja informal yang tidak berada dalam satu naungan dan mekanisme komunikasi seperti pekerja perusahaan atau pegawai pemerintah di sektor formal. Para pekerja informal akhirnya harus bergantung dengan informasi yang beredar di lingkungan kerja/tempat tinggal maupun informasi yang mereka dapatkan dari konsumsi media sehari-hari.
Sejumlah pekerja informal memang sudah melek soal asuransi, terutama soal BPJS. Saharuddin, yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring di daerah Setia Budi misalnya. Ia mengatakan “Kalau yang BPJS Kesehatan saya sudah ikut, Mas, soalnya dibantuin sama RW. Kalau yang asuransi kerja belum terlalu gencar sih beritanya dari Lurah jadi belum ikut”
BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengidentifikasi masalah sulitnya melakukan sosialisasi teknik dan pendidikan asuransi kepada para pekerja informal yang tersebar di berbagai sektor. Sebagai sebuah solusi, salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan mengunjungi tempat nongkrong para pekerja informal, antara lain sosialisasi dan proses pendaftaran keliling yang dilakukan di terminal-terminal Angkot.
Yundhi termasuk yang belum mengetahui keberadaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang ditawarkan oleh BPJS. “Saya sebagai tukang ojek dan nggak kerja di bawah perusahaan ya butuh, Mas. Kan kita nggak tahu kalau ada apa-apa di jalan,” ujar Yundhi yang juga mengaku belum dapat informasi dari Kelurahan maupun RT setempat.
Pengalaman Yundhi didukung oleh Pendil yang merasa informasi mengenai JSK belum mencapai keseluruhan masyarakat, “Ini yang selalu jadi masalah, Mas. Informasi penting seperti ini lama untuk turun ke masyarakat bawah,” ujar.
Sementara itu, Rio yang telah bekerja sebagai pengemudi ojek pangkalan selama 11 tahun mengaku telah memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang mulai diprogramkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014. KIS merupakan perluasan dari program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS termasuk bagi orang yang tidak mampu yang pembayaran iuran ditanggung oleh pemerintah.
Kartu Indonesia Sehat memungkinkan masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan penyakit yang dialami. Jika diperlukan, akan dilakukan sistem rujukan dimana puskesmas dapat memberikan rekomendasi perawatan ke rumah sakit jika gangguan kesehatan yang diderita pasien memerlukan pelayanan kesehatan yang lebih kompleks. Namun, program BPJS Kesehatan termasuk masih terbatas pada permasalahan kesehatan bukan karena kecelakaan kerja.
Jaminan terhadap kecelakaan kerja ketika menuju/dari tempat kerja maupun Penyakit Akibat Kerja (PAK) yaitu kecelakaan yang terjadi karena risiko langsung dari lingkungan dan aktivitas pekerjaan ditanggung secara komprehensif di bawah program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Untuk itu, masyarakat dianjurkan untuk terdaftar dalam kedua skema Jaminan Kesehatan Nasional ini. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menjalin kerja sama. Pada kasus di mana kecelakaan kerja maupun PAK yang diderita pasien belum diverifikasi selama tiga hari kerja, maka BPJS Kesehatan bergerak sebagai penjamin jika sudah diverifikasi maka BPJS Ketenagakerjaan akan berfungsi sebagai penjamin.
Risiko Laten Pekerjaan di Sektor Informal
Laporan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2010 menggambarkan berbagai kondisi bahaya yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan pekerja sektor informal Indonesia. Di sektor pertanian para pekerja dapat mengalami keracunan pestisida hingga cedera yang dialami ketika mengoperasikan berbagai peralatan pertanian. Pekerja proyek konstruksi juga berada dalam risiko yang nyata ketika bekerja: jatuh dari ketinggian hingga terbentur berbagai peralatan konstruksi. Sementara itu, para pekerja di sektor kelautan menghadapi risiko pekerjaan dari perubahan cuaca, peralatan menangkap ikan dan kelelahan.
Menurut BPJS Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus dengan kasus kematian berada pada angka 2.375 kasus. Kondisi ini semakin menunjukan urgensi bagi pemerintah untuk melindungi angkatan kerja di sektor informal. Perlu diingat, berkaca dari penelitian yang dilakukan oleh Sarker dan Razzaque et al (2016) mengenai pekerja sektor informal di negara berkembang menekankan bahwa akses terhadap asuransi tidak cukup untuk memastikan kesejahteraan dan keselamatan para pekerja sektor informal. Diperlukan juga pengawasan dan peningkatan kualitas lingkungan pekerjaan dan jumlah pendapatan para pekerja di sektor ini.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti