tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mengalihkan fokus investasi dana yang mereka kelola ke pembangunan perumahan untuk kelas pekerja.
Menurut JK, pembangunan rumah bagi pekerja dapat meminimalisasi potensi gagalnya investasi dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Ia menganggap investasi BPJS Ketenagakerjaan berupa pembelian surat utang dan deposito beresiko karena bisa terpengaruh inflasi ataupun fluktuasi nilai tukar mata uang.
"Selalu saya katakan, begitu banyak industrial estate di sini tetapi perumahan buruhnya tidak ada. Kalau itu [dana BPJS] dibangunkan rusunawa, di samping dia bayar sewa, yang bayar toh yang punya pabrik, bisa dipotong di situ langsung," ujar JK di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (25/4/2018).
BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana sebesar Rp321,2 triliun hingga akhir Maret 2018. Hasil investasi dana-dana itu per periode yang sama mencapai Rp8,6 triliun.
Badan itu mengandalkan pembelian surat utang sebagai metode investasi utama dana yang mereka kelola. Porsi investasi BPJS Ketenagakerjaan di surat utang mencapai 61 persen.
Menurut JK, pembangunan hunian untuk pekerja menguntungkan BPJS maupun masyarakat. Pihak swasta juga disebutnya akan meraup untung karena mendapat jaminan bahwa pekerjanya tak akan tinggal jauh dari lokasi bekerja.
"Bikinlah yang langsung ada hubungannya dengan buruh sehingga buruh mengetahui bahwa 'kalau saya bayar iuran atau perusahaan memotong untuk iuran kepada BPJS langsung ada gunanya, saya bisa punya tempat tinggal, daripada bayar kos-kosan yang jauh'," tutur JK.
Politikus senior Partai Golkar itu pun berencana memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memperbesar kemungkinan BPJS Ketenagakerjaan menanamkan investasi banyak di bidang properti.
Selama ini, halangan untuk investasi besar di bidang properti muncul akibat aturan di Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Pasal 29 ayat (1) huruf i PP itu menyebut, nilai investasi berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan, maksimal harus bernilai lima persen dari keseluruhan nilai investasi.
"Coba saya panggil Menteri Keuangan, bikin aturan bisa naik 20-25 persen untuk hal seperti itu. Jangan hanya terikat kepada surat berharga yang apabila terjadi masalah bisa nilainya makin tidak seimbang lagi dengan kebutuhan ini," kata JK.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yuliana Ratnasari