Menuju konten utama

Peluang Membeli Rumah Bersubsidi di Tengah Lonjakan Harga Properti

Di tengah makin maraknya kenaikan harga hunian komersial, harga rumah subsidi juga mengalami kenaikan pada tahun ini.

Peluang Membeli Rumah Bersubsidi di Tengah Lonjakan Harga Properti
Suasana proyek pembangunan perumahan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (2/1).Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan pagu anggaran Rp9,633 triliun untuk pembangunan rumah dalam rangka merealisasikan program satu juta rumah pada 2018 mendatang.ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/Spt/18.

tirto.id - Membeli rumah yang layak di kisaran Rp100-200 juta bukan hal yang mudah di Jakarta dan kota-kota penyangganya seperti Depok, Tangerang, ataupun Bekasi. Berbagai iklan tawaran hunian terjangkau memang bermunculan.

Markus merupakan salah satu pengiklan rumah murah di sebuah marketplace properti. Ia menawarkan rumah dengan harga jauh di bawah Rp200 juta untuk tipe 32/35 dengan sertifikat hak milik (SHM) yang berlokasi di Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat.

“Rumah dijual. Luas tanah 35 meter. Luas bangunan 32 meter. Masuk mobil. Harga 160 juta bisa nego,” kata Markus dalam iklannya. Dalam iklannya tersebut, ia memajang sebuah rumah mungil dengan halaman yang hanya bisa ditempati sebuah motor.

Persoalan berikutnya, apakah harga rumah Rp160 juta benar-benar terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?

MBR merupakan kelompok masyarakat yang berhak memiliki rumah bersubsidi dengan syarat penghasilan berada di bawah Rp4 juta per bulan untuk pembelian rumah tapak, dan gaji di bawah Rp7 juta untuk mereka yang minat pada rumah susun.

Dengan harga sebesar Rp160 juta, maka membeli secara kredit merupakan satu-satunya jalan bagi MBR. Bila menghitung dengan KPR Mandiri, harga rumah Rp160 juta dengan tenor 20 tahun, bisa diangsur sebesar Rp739.000 per bulan. Bagi MBR dengan penghasilan di bawah Rp4 juta, tentu ini cukup terjangkau karena di bawah 30 persen dari total penghasilan.

Hanya saja, untuk dapat mengangsur Rp739.000 per bulan, pembeli rumah harus merogoh kocek untuk uang muka senilai Rp24 juta, atau 15 persen dari harga jual rumah. Tentu saja bukan hal yang mudah bagi MBR untuk mendapatkan uang muka sebesar itu. Butuh usaha ekstra keras bagi MBR untuk bisa mendapatkan rumah mungil di kawasan Bekasi tersebut.

Baca juga: 87 Persen Buruh Susah Punya Rumah karena Berat di Uang Muka

Program Sejuta Rumah

Pemerintah sebenarnya sudah punya program khusus perumahan bagi kelompok MBR. Pada 2015, pemerintah telah meluncurkan program sejuta rumah, 70 persen diperuntukkan bagi rumah MBR, dan sisanya untuk kategori komersial atau non subsidi

Bagi golongan MBR yang berhak mendapatkan subsidi, mereka dapat menikmati berbagai fasilitas dari pemerintah di antaranya suku bunga tetap sebesar 5 persen bertenor 20 tahun dan uang muka sebesar 1 persen.

Namun dalam perjalanannya, mewujudkan target sejuta rumah ternyata tidak mudah. Hingga 2017, program sejuta rumah itu tidak sekalipun merealisasikan target. Pada 2015, rumah yang dibangun hanya mencapai 699.770 unit, atau sekitar 69 persen.

Pada tahun berikutnya, jumlah rumah yang berhasil dibangun mencapai 805.169 unit, atau 80 persen dari target. Namun, pada 2017, realisasi program sejuta rumah malah melambat. Hingga 4 Desember 2017, rumah yang dibangun baru 765.120 unit atau sekitar 76 persen.

“Kami memperkirakan bisa terealisasi 850.000 unit sampai akhir tahun. Sebenarnya, kalau regulasi berjalan mulus, bisa sampai satu juta rumah,” kata Khalawi Abdul Hamid, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat kepada Tirto.

Baca juga: BTN Bangun 1,34 Juta Rumah untuk Masyarakat Menengah Bawah

Ia mengklaim selain persoalan ketersediaan lahan, kemudahan perizinan pembangunan rumah yang diterbitkan pemerintah selama ini juga belum diterapkan merata di daerah, sehingga menghambat pelaksanaan program sejuta rumah.

Infografik HL Properti

Kemudahan perizinan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 64/ 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang mulai berlaku pada 29 Desember 2016. Pemerintah optimistis target sejuta rumah bisa tercapai, juga pengembang yang tergabung dalam Realestate Indonesia (REI) punya tugas membangun 300.000 unit.

“Pada awal 2018, kami akan me-launching beberapa program. Nanti rakyat akan menikmati perumahan-perumahan yang dirintis bersama institusi,” kata Sekretaris Jenderal REI Totok Lucida.

Peluang Mendapatkan Rumah Subsidi di 2018

Secara umum, aturan main untuk membeli rumah bersubsidi tidak berubah di tahun ini. Kriteria MBR yang mendapatkan fasilitas KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) masih tetap sama.

Misalnya, MBR memiliki penghasilan tetap maupun tidak tetap, paling banyak Rp4 juta per bulan untuk rumah tapak dan maksimal Rp7 juta untuk rumah susun. Pemohon tidak memiliki rumah, dan belum pernah menerima subsidi perumahan.

Selain itu, pemohon juga telah berusia 21 tahun atau telah menikah, memiliki masa kerja atau usaha minimal satu tahun, dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh orang pribadi.

Selain kriteria itu, dokumen-dokumen yang harus disiapkan pemohon juga tidak berubah yakni formulir aplikasi kredit dilengkapi dengan pasfoto terbaru pemohon dan pasangan, foto copy KTP, Kartu Keluarga, dan surat nikah pemohon kepada bank pelaksana.

Bagi pemohon berasal dari pegawai, maka wajib menyiapkan slip gaji terakhir atau surat keterangan penghasilan, foto copy surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai tetap atau surat keterangan kerja.

Apabila pemohon wiraswasta, maka harus membawa surat izin usaha perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), surat keterangan domisili dan laporan keuangan tiga bulan terakhir. Bagi pemohon profesional, wajib membawa foto copy izin praktik.

Pemohon kelompok ini juga wajib membawa foto copy NPWP, rekening koran atau tabungan 3 bulan terakhir, surat pernyataan belum memiliki rumah, dan surat pernyataan belum pernah menerima subsidi untuk pemilikan rumah dari pemerintah.

Sayangnya, yang berubah justru harga jual rumah bersubsidi pada 2018. Rata-rata harga jual rumah subsidi di setiap provinsi pada 2018 diproyeksikan naik 5,5 persen. Harga jual rumah subsidi paling mahal ada di Papua, yakni menyentuh Rp205 juta per unit.

Pada 2018, harga rumah bersubsidi di Jabodetabek dipatok sebesar Rp148,5 juta. Apabila menggunakan fasilitas KPR FLPP, maka angsuran yang harus dibayar sebesar Rp970.233 per bulan selama 20 tahun dengan uang muka Rp1,48 juta.

Idealnya, alokasi untuk pengeluaran cicilan rumah adalah tidak lebih dari 35 persen dari total penghasilan. Jika penghasilan MBR sebesar Rp3 juta, maka alokasi untuk angsuran rumah maksimal Rp1,05 juta. Artinya, MBR masih mampu melakukan angsuran rumah tersebut.

Namun, apabila MBR memiliki penghasilan di bawah Rp3 juta per bulan, maka kemampuan MBR untuk mengangsur rumah dari program sejuta rumah semakin menurun. Dengan kata lain, perlu ada insentif tambahan agar MBR dapat tetap mampu mengangsur rumah.

Baca juga: BTN Catat Ada Empat Tantangan Sektor Properti pada 2018

Selain menyangkut harga rumah, lokasi juga menjadi hal penting bagi MBR. Saat ini, pembangunan program sejuta rumah tersebar di seluruh provinsi, baik kota maupun kabupaten. Hanya saja, lokasi rumah yang dibangun di tengah kota lebih banyak untuk kelompok non MBR yang tak disubsidi.

“Kalau untuk MBR di pinggiran kota karena harga lahan di tengah kota itu sudah sangat tinggi. Makanya, izin rumah MBR itu harus disertai akses transportasi,” kata Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Dadang Rukmana kepada Tirto.

Keputusan memiliki rumah dengan skema subsidi bagi yang memenuhi syarat tentu bisa jadi opsi di tahun baru ini. Daripada menunda keputusan di tengah pergerakan harga properti yang terus berlari. Ini dibuktikan dengan pergerakan harga rumah subsidi dari Rp55 juta menjadi Rp88 juta hingga sudah di atas Rp100 juta.

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra