tirto.id - Dari 18 juta buruh yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan diketahui sebesar 87 persen buruh belum memiliki rumah. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menduga, salah satu penyebabnya karena besaran uang muka sebesar 30 persen dari harga rumah tak terjangkau oleh buruh.
Berbicara usai penandatanganan nota kesepahaman pembangunan Satu Juta Rumah untuk buruh di Jakarta, Jumat (20/1/2017) Sekretaris Jenderal KSPSI Haji Rudy Prayitno mengatakan down payment rumah sangat membebani buruh.
Lantaran itu, kata Rudy, melalui penandatanganan kerja sama tersebut ia berharap para buruh bisa memiliki rumah hanya dengan membayar uang muka 1 persen dari harga rumah dan cicilan Rp800 ribu selama 20 tahun.
Tanpa menyebut lokasi persisnya, Rudy mencontohkan harga rumah bagi para buruh tersebut beragam. Di Jabodetabek dipatok Rp143 juta dan di luar Jabodetabek Rp123 juta. Selain itu, harga khusus seperti di Riau, dipatok Rp128 juta, di Sulawesi dengan harga Rp178 juta, dan Papua dengan harga Rp193 juta.
"Tipe rumahnya, tipe 36 dengan luas tanah untuk Jabodetabek 60 meter persegi dan di luar Jabodetabek 150 meter pesergi," katanya.
Program Satu Juta Rumah untuk buruh merupakan program pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. Pembangunan rumah tersebut melibatkan perusahaan swasta seperti China Rainbow International Investment dan PT Roudhoh Citra Nusantara.
Dalam pernyaannya Presiden Regional Cina Rainbow International Ding Jinwei mengatakan bahwa kerja sama tersebut mempererat hubungan kedua negara yang sudah terjalin sejak lama. "Kerja sama ini tentunya makin menguatkan hubungan kedua negara yang terjalin sejak lama," kata Jinwei.
Selain bekerja sama program tersebut juga melibatkan BPJS ketenagakerjaan dan Bank Tabungan Negara. Kadiv Subsidise PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk. Irwandi Gafar mengatakan bahwa hingga saat ini sekitar 95 persen kredit pemilikan rumah masih dikuasai oleh BTN.
"Oleh karena itu, kami berharap kerja sama yang merupakan program nasional ini segera terwujud," katanya.
Konsekuensi Logis Rumah Murah
Namun rumah murah untuk buruh dalam Program 1 Juta Rumah tersebut punya konsekuensi logis, salah satunya lokasi perumahan yang jauh dari tempat kerja. Hal ini membuat biaya transportasi bagi buruh akan membengkak.
Dalam hitungan Tirto.ID, misalnya saja masyarakat hendak mengambil rumah bersubsidi di Jabodetabek dengan harga Rp126,5 juta. Jika menggunakan skema program bersubsidi dengan tenor 20 tahun dan bunga KPR 5 persen, cicilan per bulan hanya Rp584.390. Bandingkan jika menggunakan skema komersial biasa yakni jangka waktu 10 tahun dan bunga 12 persen, maka cicilan per bulan mencapai Rp1.270.435.
Cicilan memang sangat murah. Misalnya dengan gaji UMR DKI Jakarta Rp3,1 juta, dikurangi Rp 584 ribu, tersisa sekitar Rp2.515 ribu.
Hanya saja, rumah bersubsidi dalam program ini biasanya dibangun di daerah pinggiran. Ini artinya, masyarakat harus keluar uang lebih besar untuk biaya transportasi. Hasilnya, rumah bersubsidi pun masih terasa mahal bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Bandingkan jika misalnya mereka mengontrak rumah di daerah kota atau berdekatan dengan tempat kerjanya sebesar Rp 500 ribu per bulan. Sisa gaji bisa digunakan untuk keperluan yang lain karena tak perlu keluar biaya untuk transportasi.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH