Menuju konten utama

Mengukur Nasib Program 1 Juta Rumah Jokowi

Presiden Jokowi mengusung program yang lebih ambisius yakni 1 juta rumah. Tujuannya mulia. Sayangnya, mewujudkan program ini harus menemui kendala yang cukup beragam. Harga semakin tidak masuk akal manakala berbicara tentang harga rumah di DKI Jakarta. Di ibukota Indonesia ini, harga tanah sudah mencapai puluhan juta rupiah per meternya, Dengan harga tanah yang sedemikian mahal, maka tidak heran jika harga rumah sudah dalam hitungan miliaran terutama di jakarta.

Mengukur Nasib Program 1 Juta Rumah Jokowi
Foto udara sebuah kompleks perumahan di kawasan Tangerang, Banten. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk program pembangunan satu juta rumah yang akan digelontorkan dari APBN 2015 senilai Rp. 13 triliun. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

tirto.id - Pada April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan pembangunan 1.000 tower rumah susun sederhana. Rusun rencananya dibangun di 10 kota metropolitan di Indonesia. Harapannya, masyarakat menengah ke bawah bisa mendapatkan hunian yang lebih layak dengan program tersebut.

Pada akhir masa pemerintahan Presiden SBY tahap pertama di 2009, program 1.000 tower rusun itu hanya terealisasi 13,8 persen. Program tersebut nyaris tak terdengar gaungnya lagi pada periode kedua pemerintahan Presiden SBY.

Delapan tahun berlalu, program SBY tersebut “hidup lagi” pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla. Hanya saja, bungkusnya kali ini bukan lagi rusun, melainkan rumah. Angkanya pun lebih fantasnya 1.000 kali lipat.

Pada April 2015, Presiden Jokowi meresmikan program yang lebih ambisius yakni Pembangunan 1 Juta Rumah. Serupa tapi tak sama, program ini juga menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Bagaimana kira-kira nasibnya?

Ketika Orang Kota Butuh Rumah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Sayangnya, kebutuhan ini kerap kali terabaikan karena harganya yang selangit. Tingkat kenaikan gaji sudah tidak mampu menandingi kenaikan harga rumah. Di kota-kota besar, harga rumah tumbuh lebih tinggi dari tingkat inflasi. Real Estate Indonesia (REI) mencatat kenaikan harga rumah di kota besar sudah mencapai 10 – 30 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi Indonesia yang rata-rata mencapai 5 persen dalam lima tahun terakhir.

Harga semakin tidak masuk akal manakala berbicara tentang harga rumah di DKI Jakarta. Di ibukota Indonesia ini, harga tanah sudah mencapai puluhan juta rupiah per meternya, Dengan harga tanah yang sedemikian mahal, maka tidak heran jika harga rumah sudah dalam hitungan miliaran. Inilah sebabnya mengapa tingkat warga yang menyewa atau mengontrak rumah di Jakarta lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, persentase warga yang mengontrak di DKI Jakarta melebihi persentase nasional.

Dengan harga rumah di Jakarta yang semakin tak terjangkau, wilayah sekitarnya pun menjadi incaran. Dalam perkembangannya, harga rumah di sekitar kota satelit seperti Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang pun ikut melambung tinggi. Di wilayah Bekasi misalnya, pada sekitar tahun 2000, masih banyak rumah yang dijual di bawah Rp100 juta. Kini, sudah tidak bisa kita temui lagi rumah di Bekasi dengan harga di bawah Rp100 juta. Kalaupun ada yang murah, letaknya sangat jauh dan infrastruktur pendukungnya belum memadai.

Sudah harganya selangit, pasokannya pun masih terbatas. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR), backlog rumah mencapai 7,6 juta unit pada 2014 berdasarkan konsep penghunian. Angka itu diharapkan bisa turun menjadi 5 juta unit pada 2019. Sementara dari konsep kepemilikan, backlog rumah mencapai 13,5 juta rumah. Angka ini diprediksi turun menjadi 6,8 juta unit pada 2019.

Ada ketimpangan antara pasokan dan kebutuhan. Dari sisi pasokan, para pengembang belum memiliki kapasitas yang mumpuni untuk bisa memenuhi backlog rumah. Belum adanya regulasi yang mendukung membuat gerak para pengembang sangat terbatas. Sementara kebutuhan masyarakat terhadap perumahan sangat tinggi. Namun, keterjangkauan mereka sangat rendah terutama untuk golongan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Itulah sebabnya mengapa masih banyak MBR yang tinggal di rumah tidak layak huni.

Sejuta Rumah untuk Hunian Layak

Masalah di sektor perumahan ini menjadi salah satu perhatian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meluncurlah Program 1 Juta Rumah. Target satu juta rumah ini merupakan hasil revisi dari program awal yang sempat dipatok dua juta unit rumah per tahun. Program ini tak hanya untuk hunian milik tetapi juga untuk rumah sewa, rumah khusus dan rumah swadaya atau yang biasa dikenal “bedah rumah”.

“Target kami semula memang dua juta unit. Namun, setelah kita exercise semua resources yang ada maka angka satu juta adalah sangat dimungkinkan untuk direalisasikan,” kata Menteri PU-PR Basuki Hadimuljono seperti dikutip dari situs Kementerian PU-PR.

Cakupan Program 1 Juta Rumah ini lebih luas tidak hanya untuk MBR. Program ini juga termasuk pembangunan hunian bagian kalangan non MBR atau rumah-rumah komersial yang tak disubsidi. Bagi golongan MBR yang berhak mendapat subsidi, mereka dapat menikmati berbagai fasilitas dari pemerintah yaitu hanya kewajiban uang muka KPR 1 persen.

MBR yang ingin mendapatkan rumah dalam program ini juga mendapatkan sejumlah insentif. MBR dapat bantuan subsidi langsung seperti bantuan uang muka Rp4 juta per nasabah dan lainnya. Bunga KPR dipangkas dari 7,25 persen jadi 5 persen untuk periode hingga 20 tahun.

Bagi pengembang, ada program bantuan stimulan penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) agar harga jual rumah untuk MBR dapat ditekan sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah pusat juga mendorong pemda mempermudah dan keringanan dalam proses penyelesaian IMB bagi para pengembang.

Menggantungkan Asa ke Swasta

Program sejuta rumah sudah memasuki tahun kedua. Pemerintah tetap melanjutkannya meski capaian tahun pertama masih jauh dari target. Realisasi pembangunan program sejuta rumah per 22 Desember 2015 hanya 667.668 rumah untuk perumahan MBR maupun non MBR. Rincian realisasinya, rumah MBR sebanyak 429.875 unit, yang terdiri dari 353.120 unit pembangunan rumah baru dan 76.755 unit renovasi rumah. Sedangkan untuk rumah non-MBR atau hunian komersial capai 237.813 unit. Total realisasi meleset jauh dari target untuk MBR 603.516 unit dan 396.484 unit untuk hunian komersial.

Merealisasikan program ini memang bukan hal yang mudah bagi pemerintah. Kemampuan pemerintah dalam penyediaan rumah masih sangat terbatas, hanya 10 persen dari target yang dibangun. Pada tahun lalu, target perumahan yang dibangun pemerintah hanya 98.300 unit hunian yang dananya berasal dari alokasi pembiayaan perumahan Rp5,1 triliun dan Rp8,1 triliun untuk penyediaan perumahan anggaran Kementerian PU-PR.

Selain pemerintah, kemampuan Perum Perumnas sebagai BUMN pengembang dalam menyediakan hunian rumah tapak dan rusun juga masih sangat terbatas . Rata-rata kemampuan Perumnas hanya mampu membangun sekitar 10.000 unit hunian per tahun .

"Untuk rumah non MBR pemerintah sepenuhnya menyerahkan ke mekanisme pasar sehingga tidak ada subsidi," kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin.

Sumber: Kementerian PU-PR

Kendala Ketersediaan Lahan

Program 1.000 tower yang digagas pemerintahan SBY-JK dapat dikatakan terbengkalai. Permasalahan utama yang mengganjal yakni ketersediaan lahan dan tidak adanya insentif seperti skema pembiayaan. Masalah serupa sepertinya akan mengganjal Program 1 Juta Rumah pemerintahan Jokowi-JK.

Lahan-lahan untuk perumahan kini semakin sempit. Kalaupun ada dan letaknya strategis, harganya pasti selangit. Sementara yang harganya terjangkau, letaknya kurang strategis sehingga tidak ekonomis.

Indonesia Property Watch (IPW) sempat melakukan survei terhadap beberapa pengembang rumah kelas bawah. Hasilnya, stok lahan (land bank) dari pengembang diperkirakan hanya bertahan selama 2 -3 tahun. Artinya, setelah itu mereka harus membeli lahan yang tentunya dengan harga yang tinggi bila tidak dikendalikan oleh pemerintah.

Masalah ketersediaan lahan itu bukan tidak dapat diatasi. Lahan menganggur (idle) milik negara, pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebar di berbagai wilayah termasuk di kawasan perkotaan. Mengoptimalkan penggunaan tanah menganggur untuk pembangunan rumah publik bisa menjadi solusi dari masalah keterbatasan lahan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sempat memberikan pendapat soal keberadaan Barang Milik Negara (BMN) berupa tanah/bangunan yang statusnya menganggur alias tak dimanfaatkan. BPK mendorong apabila ada lahan/bangunan milik kementerian/lembaga yang tak digunakan maka wajib diserahkan ke pengelola yaitu Kementerian Keuangan. Hingga akhir 2014, tanah dan bangunan menganggur milik pemerintah pusat mencapai 20.874 meter persegi nilainya Rp 30 miliar mencakup 23 bidang tanah dan 53 unit bangunan.

Semangat memanfaatkan tanah negara dan BUMN untuk perumahan publik sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. Namun, realisasinya tidak ada. Misalnya kasus batalnya rencana proyek Rusunami Tanjung Barat, Jakarta Selatan karena tak sinkronnya antar Kementerian Perhubungan, PT KAI, dan Perumnas.

Selain memanfaatkan tanah menganggur, pemerintah juga perlu aktif membeli tanah-tanah baru untuk kepentingan sektor perumahan, jangan sampai kalah dengan swasta. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dari 2011-2014, belanja modal pemerintah pusat untuk tanah sebesar Rp 15,23 triliun, untuk pembangunan kantor pemerintah hingga fasilitas umum.

Kendala Pembiayaan

Persoalan berikutnya dari Program 1 Juta Rumah yakni terkait pembiayaan. Pemerintah memang memberikan subsidi bunga dan penurunan suku bunga KPR untuk meringankan beban MBR. Namun, tetap saja harga rumah bersubsidi sebagaimana ditetapkan pemerintah masih terasa mahal.

Mari kita berhitung.

Misalnya saja masyarakat hendak mengambil rumah bersubsidi di Jabodetabek dengan harga Rp126,5 juta. Jika menggunakan skema program bersubsidi dengan tenor 20 tahun dan bunga KPR 5 persen, cicilan per bulan hanya Rp584.390. Bandingkan jika menggunakan skema komersial biasa yakni jangka waktu 10 tahun dan bunga 12 persen, maka cicilan per bulan mencapai Rp1.270.435.

Cicilan memang sangat murah. Misalnya dengan gaji UMR DKI Jakarta Rp3,1 juta, dikurangi Rp 584 ribu, tersisa sekitar Rp2.515 ribu.

Hanya saja, rumah bersubsidi dalam program ini biasanya dibangun di daerah pinggiran. Ini artinya, masyarakat harus keluar uang lebih besar untuk biaya transportasi. Hasilnya, rumah bersubsidi pun masih terasa mahal bagi MBR.

Bandingkan jika misalnya mereka mengontrak rumah di daerah kota atau berdekatan dengan tempat kerjanya sebesar Rp 500 ribu per bulan. Sisa gaji bisa digunakan untuk keperluan yang lain karena tak perlu keluar biaya untuk transportasi.

Perbandingan Hunian Sejuta Rumah yang Dibangun di Kota dan di Luar Kota (Bodetabek) dan Banten.

Sumber: www.sejutarumah.id

Untuk membantu pembiayaan ini, pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar. Pendanaan program satu juta rumah tahun lalu mencapai Rp 88,5 triliun yang mencakup dari BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp 48,5 triliun, Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum PNS) senilai Rp3,1 triliun, dari PT Taspen Rp2 triliun, dan Perum Perumnas Rp1 triliun. Namun, semua itu masih sebatas potensi pembiayaan karena untuk merealisasikannya tak mudah.

Meski realisasi rendah, semangat pemerintah tidak surut. Tahun ini, alokasi untuk dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau KPR subsidi dari pemerintah untuk program sejuta rumah meningkat dari Rp5,1 triliun menjadi Rp9,23 triliun untuk pembiayaan rumah sebanyak 87.390 unit. Selain dana FLPP, pemerintah juga menyediakan dana untuk Bantuan Uang Muka (BUM) perumahan sebesar Rp1,22 triliun kepada penerima FLPP. Jumlahnya Rp4 juta per nasabah KPR FLPP untuk sekitar 306.000 unit rumah. Selain itu, ada juga Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebesar Rp2 triliun untuk memfasilitasi pembiayaan 386.644 unit rumah. Dari sisi pembiayaan, program FLPP mendapat dukungan dari bank pelaksana KPR, yang mencakup 8 bank nasional, dan 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Regulasi

Masalah lainnya soal regulasi dan kelembagaan. Persoalan banyaknya izin pembangunan hunian di tingkat pusat hingga daerah juga menjadi masalah lama. Jumlah perizinan perumahan skala besar terdapat 42 jenis perizinan dengan waktu selama 26 bulan dan perumahan skala kecil sebanyak 26 jenis perizinan dengan waktu selama 16 bulan.

Tak hanya itu, Indonesia memang belum punya badan khusus perumahan seperti Housing Development Board (HDB) di Singapura, lembaga nirlaba di bawah Ministry of Development. HDB mengelola sisi permintaan perumahan, juga lembaga penerbit kredit perumahan, mengelola pasokan hunian, dan melakukan pemeliharaan hunian yang sudah dibangun. Di Indonesia ada Perum Perumnas yang awalnya dirancang seperti HBD. Namun, dalam perjalanannya Perumnas justru berada di posisi sebagai pengembang biasa, yang harus bersaing dengan pelaku usaha swasta.

Tidak mudah memang mewujudkan Program 1 Juta Rumah. Berkaca pada program 1.000 tower rusun yang tidak sukses, pemerintahan Jokowi-JK harus menutup lubang-lubang kekurangan mulai dari masalah lahan, pembiayaan, hingga regulasi. Para pemangku kepentingan juga harus menyadari bahwa program ini bukan program milik pemerintah, tetapi program bersama untuk menciptakan hunian yang layak bagi masyarakat. Kuncinya terletak pada komitmen yang kuat, bukan sekadar membuat program untuk menarik simpati rakyat yang pudar ketika tampuk kekuasaan berakhir.

Baca juga artikel terkait PERUMAHAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra