Menuju konten utama

Masalah Akut Sistem Rujukan dan Pembayaran BPJS Kesehatan

Sistem rujukan membuat pasien harus antre berjam-jam, melalui prosedur yang melelahkan.

Masalah Akut Sistem Rujukan dan Pembayaran BPJS Kesehatan
Calon pelanggan mengisi formulir pendaftaran peserta BPJS Kesehatan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kamis, 30 Agustus 2018, Donny Marojahan Nainggolan, 27 tahun, mengantre di Puskesmas Kotabumi, Tangerang, untuk mengurus rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Ia sudah menjalaninya sejak 2015 setelah didiagnosis gagal ginjal.

Ia datang pukul 8 pagi dan melihat antrean pasien telah mengular. Perlu waktu satu hingga dua jam bagi para pasien BPJS Kesehatan mendapatkan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). Sebagian ada yang memilih pulang dan kembali saat tiba giliran masuk ruang periksa. Donny sendiri memilih berdiam hingga nomor antrean dipanggil.

Prosedur itu belum berakhir karena Donny harus mengulang alur yang sama pada dua hingga tiga hari berikutnya. Prosedur cuci darah baru bisa dilakukan setelah ia mendapatkan pemeriksaan dari FKTL.

Pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang untuk bertemu dokter spesialis tidaklah mudah. Lagi-lagi Donny harus bersabar mengantre dan berebut nomor periksa mulai dari jam 5 pagi. Giliran memasuki ruang periksa pun baru ia dapatkan sekitar pukul 10-11 siang.

Total waktu yang dihabiskan Donny mencapai enam jam. Itu belum ditambah waktu pada hari pertama mengurus rujukan dari FKTP dan jeda waktu dari FKTP ke FKTL. Prosedur ini harus diulang setiap tiga bulan sekali. Sungguh melelahkan. Ia tak bisa membayangkan betapa lelah urusan ini jika dilakukan oleh mereka yang sudah berkursi roda, buta, dan hidup sebatang kara.

Kepada Tirto, Donny bercerita pada awal kepesertaannya di BPJS, ia tak perlu pusing mengurus rujukan ke sana ke mari. Saat itu pasien cuci darah mendapat kemewahan rujukan seumur hidup. Pertimbangannya jelas: mereka harus berobat dan melakukan terapi cuci darah rutin. Namun, aturan ini berubah sejak April 2018: mereka harus mengurus surat rujukan per tiga bulan sekali, sama seperti pasien non-kronis lain.

Cerita Donny dikonfirmasi oleh Tony Samosir, ketuaumum komunitas pasien cuci darah Indonesia. Ia menilai bahwa skema rujukan balik jelas menyengsarakan dan membuang-buang waktu. Saat berada di FKTP pun mereka tak bertemu dengan tenaga medis, apalagi menerima pemeriksaan. Tenaga pasien terkuras hanya untuk mendapatkan nomor antrean.

Keadaannya bisa jadi jauh lebih menyulitkan bagi peserta BPJS di wilayah timur di tengah situasi FKTP dan FKTL masih jarang dan jaraknya jauh. Masalah ini makin runyam karena sosialisasi kurang sehingga banyak pasien terpaksa pulang karena belum atau telat mengurus rujukan. Bagi yang punya uang, akhirnya, mereka membayar sendiri biaya cuci darah.

“Rujukan ini harus diurus tepat waktu, tidak boleh kurang atau lebih. Nah, bagaimana ketika waktu ngurus, tapi pasien ngedrop?” ujar Tony.

Terobosan Rujukan Online

Per 1 Oktober 2018, Donny kembali memperbarui rujukannya, meski belum genap tiga bulan sejak ia mengurus rujukan terakhir pada 30 Agustus. Sistem rujukan online yang baru diterapkan BPJS Kesehatan memaksanya melakukan prosedur rujukan lebih awal. Zonasi fasilitas kesehatan ikut berubah, harus sesuai dengan domisili. FKTP akan memilihkan FKTL/rumah sakit rujukan dengan radius terdekat FKTP.

Donny memilih cuci darah sepulang kerja di RS Saint Carolus Salemba setiap Selasa dan Kamis malam. Biasanya, prosedur cuci darah berlangsung sekitar 5 jam. Pada pagi hari ia menumpang mandi di rumah sakit dan kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor di Sudirman.

Dulu, surat rujukan ke FKTL masih bisa diurus Donny di Tangerang sesuai tempat tinggalnya. Namun, per 1 Oktober nanti, ia pindah ke FKTP di Klinik Pratama Paseban agar tetap bisa melanjutkan cuci darah di RS Saint Carolus.

“Di sana dekat kantor dan tidak mengganggu pekerjaan karena jadwal cuci darah malam,” kata Donny. Buatnya penting membagi waktu untuk tetap bekerja dan bersosialisasi. “Supaya kesehatan mental tetap terjaga dan enggak down dengan kondisi sekarang.”

Sistem rujukan online memang dibuat untuk memberi kemudahan dan kepastian bagi pasien. Nantinya, ketika mengurus rujukan ke FKTL, sistem di FKTP akan secara otomatis menampilkan jenis rumah sakit dengan fasilitas yang dibutuhkan pasien, berikut jadwal dokter dan kuota harian. Urutannya: tenaga kesehatan di FKTP terlebih dulu merujuk pasien ke rumah sakit tipe D; tetapi, jika kuota di rumah sakit sudah penuh, pasien baru lanjut ke rumah sakit tipe C, begitu seterusnya.

“Jika kuota penuh tapi pasien bersikukuh berada di FKTL tersebut maka konsekuensinya antre panjang atau bahkan beda hari,” jelas Deputi Direksi Bidang Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Arief Syaifuddin.

Arief mengakui rujukan FKTL dengan sistem bawah ke atas dilakukan guna efisiensi anggaran. Tarif FKTL tipe A jelas lebih mahal dibanding FKTL tipe D. Pasien baru bisa dirujuk ke FKTL tipe B atau A apabila harus berobat ke dokter subspesialis. Dari sisi BPJS Kesehatan, tentu sistem ini lebih irit dibandingkan pasien langsung memilih pergi ke FKTL tipe A.

Namun, ujicoba rujukan online pada 1-15 September 2018 ternyata menyisakan persoalan. Dari data FKTP, FKTL, dan dokter yang kacau; jadwal praktik dokter tidak cocok; ada KTP yang menggunakan rujukan manual karena sistemnya belum siap; hingga FKTL yang tidak terdaftar di sistem.

Akibatnya, tak sedikit pasien harus pulang karena FKTL rujukannya belum terdata dalam Health Facilities Information System (HFIS) milik BPJS. Atau, pasien harus terima berobat sebagai pasien umum di hari itu juga.

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis menyebut sistem ini salah terapan.

“Tujuannya bagus, tapi sistem kita belum siap benar, maka timbul kekacauan,” katanya.

Marsis mengungkap tak tepat ketika sistem rujukan dibuat oleh FKTL. Pasien akan rentan salah diagnosis yang berujung pada salah rujukan. Idealnya, rujukan subspesialis dibuat oleh dokter spesialis yang biasa praktik di FKTL.

Infografik HL Indepth BPJS Kesehatan

INA-CBGs: Sistem yang Salah Sedari Awal

Defisit BPJS Kesehatan memunculkan persoalan pelik lain. Defisit BPJS menyebabkan klaim biaya rumah sakit tak terbayarkan; fasilitas dan obat untuk pasien dipangkas; protes para dokter karena kerja serta tindakan medisnya dibatasi limit biaya; plus dokter harus bersiap dengan konflik dan gugatan dari pasien karena protes pelayanan BPJS Kesehatan.

Biang kerok semua masalah itu diyakini berpangkal pada penerapan sistem Indonesia CaseBase Group (INA-CBGs).

Info BPJS Kesehatan menyebut INA-CBGs sebagai sistem pembayaran paket yang didesain berdasarkan rata-rata biaya kelompok diagnosis penyakit. Misal, pada kelompok penyakit demam berdarah, INA-CBGs akan menghitung layanan yang akan diterima pasien, berikut pengobatan, sehingga dinyatakan sembuh atau selama satu periode rawat di rumah sakit.

Tarif INA-CBGs dikelompokkan dalam 6 jenis rumah sakit berdasarkan tipe: rumah sakit kelas D, C, B, A, rumah sakit umum, dan rumah sakit khusus rujukan nasional. Ia juga disusun berdasarkan perawatan kelas 1, 2, dan 3.

Intinya, mengubah tarif kesehatan yang umum memakai sistem fee for service system menjadi prospective payment system. Sistem ini usulan dari konsultan kesehatan di Malaysia, tetapi justru di negara asalnya sendiri tidak diterapkan, ujar Ilham Oetama Marsis dari Ikatan Dokter Indonesia.

“INA-CBGs tak laku di Malaysia karena dasar perhitungannya tak cocok dengan klinis, tapi di kita malah dipakai. Itu kesalahan dasarnya,” tambah Marsis, yang juga dokter spesialis kandungan.

Layanan kesehatan di dunia saat ini merujuk sistem Integrated Clinical Pathway (ICP). Biaya pelayanan untuk suatu penyakit dibayar berdasarkan tindakan medis. Artinya, biaya antarpasien untuk diagnosis yang sama bisa saja berbeda.

Hal itu berbeda dari INA-CBGs yang menerapkan sistem paket setara. Konsekuensinya, mutu dan pelayanan turun karena tidak ada kemampuan biaya menangani kasus tertentu. Imbasnya, dokter dipaksa melanggar sumpah karena melakukan praktik kedokteran tak sesuai standar keilmuan akibat intervensi BPJS.

Misalnya, pada pembiayaan cuci darah, Info BPJS Kesehatan menyebut FKTL kelas C dibayar Rp900 ribu dengan harga dasar Rp450-600 ribu. Namun, selain cuci darah, masih ada fasilitas tambahan yang perlu diberikan kepada pasien, misalnya obat-obatan baik oral maupun suntik. Ada juga pasien yang butuh perawatan tambah darah. Akhirnya, FKTL harus menempuh strategi untuk mencukupi klaim paket BPJS dengan cara meresepkan obat di poliklinik rawat jalan, terpisah dari poliklinik cuci darah.

Masalah berikutnya muncul ketika FKTL tak memiliki poliklinik selain cuci darah. Ini biasanya menimpa klinik-klinik cuci darah. Sudah tentu klinik ini akan mengencangkan ikat pinggang agar tak merugi.

Kemudian, siklus yang umum terjadi akan berulang: rumah sakit melakukan pembatasan, pasien protes, sementara BPJS Kesehatan tak dapat berbuat banyak karena masih mengalami defisit keuangan.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam