Menuju konten utama

Nasib Pasien dan Wacana Cost Sharing 8 Penyakit Katastropik di BPJS

Wacana cost sharing terhadap 8 penyakit katastropik oleh BPJS Kesehatan sempat muncul. Bagaimana nasib pasien bila ini benar-benar terealisasi?

Nasib Pasien dan Wacana Cost Sharing 8 Penyakit Katastropik di BPJS
Ilustrasi Penyakit Jantung Koroner. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - BPJS Kesehatan memastikan bahwa informasi soal penghapusan sebagian tanggungan 8 penyakit katastropik—penyakit berbiaya tinggi dan dapat membahayakan jiwa penderita—yang ramai dibicarakan beberapa hari terakhir baru sebatas wacana. Hal tersebut tidak akan terealisasikan dalam waktu dekat, setidaknya sampai tahun ini.

Delapan penyakit tersebut adalah jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia. Penyakit yang umumnya timbul dari gaya hidup.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa informasi BPJS Kesehatan melakukan penghapusan sebagian tanggungan 8 penyakit katastropik tidak benar, karena ini masih sebatas wacana.

Wacana ini berawal pada Kamis (23/11) lalu, ketika BPJS Kesehatan dimintai paparan tentang pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) oleh Komisi IX DPR, Senayan, Jakarta. Ketika itu pihak BPJS Kesehatan memaparkan soal solusi penerapan cost sharing pada delapan penyakit katastropik.

Dalam forum tersebut, BPJS Kesehatan memaparkan beberapa opsi yang mungkin bisa ditempuh untuk menanggulangi defisit anggaran dana jaminan sosial kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan. Namun, wacana ini "liar" sampai ke publik terutama soal skema berbagi biaya dengan pasien atau cost sharing.

Dalam skema ini, beberapa penyakit katastropik tidak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS, melainkan hanya disubsidi sebagian. Ada beban biaya yang harus ditanggung pihak pasien dengan persentase tertentu saat mereka mengalami katastropik atau dengan tambahan nominal tertentu. Kebijakan ini diberlakukan di beberapa negara yang jadi sumber rujukan BPJS dalam menyampaikan wacana cost sharing, seperti juga memakai skenario peserta melakukan tambahan iuran.

Adapun alasan penetapan cost sharing hanya pada penyakit katastropik disebabkan karena pembiayaan di pos ini disebut cukup menguras kantong BPJS Kesehatan. Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita F Moeloek pernah mengatakan penyakit katastropik telah menghabiskan biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 29,67 persen dari total anggaran, yakni mencapai Rp16,9 triliun. Jumlah beban yang besar ini tentu secara langsung berdampak pada BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN.

Namun, penjelasan soal cost sharing oleh BPJS Kesehatan dengan merujuk pada negara-negara yang telah menerapkan itu diartikan sebagai kebijakan yang akan segera diterapkan oleh BPJS terhadap para peserta.

Hal ini kemudian dipertegas lagi oleh Fahmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan. Dalam program Primetime News Metro TV, Fahmi mengatakan bahwa realisasi berbagi biaya butuh kajian mendalam, sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk penerapannya.

"Kita tidak akan membebani masyarakat [dengan cost sharing] untuk saat ini. Saya pastikan kita tidak akan membebankan itu," katanya.

Namun demikian, Fahmi mengatakan kalau kajian mengenai itu tetap perlu dilakukan, dengan dalil bahwa BPJS Kesehatan adalah "program jangka panjang, dan bukan jangka pendek," sehingga keberlangsungannya perlu dipastikan terus-menerus.

Fahmi mengatakan, selain kajian kalkulatif, penerapan cost sharing juga harus dilakukan dengan mengubah regulasi seperti Perpres tentang Jaminan Kesehatan Nasional. "Dan untuk mengubah ini semua pihak harus diundang," katanya.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, mengatakan bahwa pernyataan untuk melibatkan peserta iuran untuk cost sharing, meski masih sebatas wacana, adalah bukti kalau manajemen BPJS kebingungan mencari solusi mengatasi defisit pembiayaan yang terjadi tiap tahun. Menurut catatan Timboel, hal ini bukan kali ini saja.

Ia mengatakan, sudah jadi "kebiasaan" pemerintah dan direksi BPJS Kesehatan merespons defisit ini dengan membuat regulasi yang menyulitkan peserta. "Seperti Per BPJS No. 84/2014 dan Per BPJS no. 1/2015 tentang masa aktivasi pendaftaran JKN," katanya, dalam pernyataan tertulis kepada Tirto.

Idealnya defisit anggaran direspons dengan mengevaluasi komitmen anggaran pemerintah dan mengevaluasi kinerja direksi, bukan malah mengorbankan nasib pasien peserta BPJS Kesehatan.

"Jangan lagi membuat rakyat yang memiliki hak konstitusional atas jaminan kesehatan menjadi sulit memperoleh hak konstitusionalnya hanya karena kinerja direksi yang belum optimal," katanya.

Namun, dalam jangka panjang, mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan pribadi juga tak kalah penting.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra