tirto.id - Delapan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta tengah membutuhkan asupan dana bantuan dari APBD-P 2018. Pangkal soalnya, BPJS Kesehatan yang bertanggung jawab membayar klaim untuk pasien kerap terlambat membayar kepada RSUD. Dampaknya operasioal RSUD terganggu.
Anggota Komisi C DPRD DKI Cinta Mega mengatakan, keterlambatan pencairan biaya pengganti oleh BPJS Kesehatan ke rumah sakit di Jakarta bukan baru kali ini saja terjadi.
Itu sebabnya, dalam rapat Badan Anggaran di DPRD, Senin lalu, beberapa kepala RSUD hadir dalam rapat Banggar untuk mendiskusikan agar masalah tersebut tak mengganggu layanan kesehatan di Jakarta.
"Kami kan enggak punya dana talangan di APBD. Jadi menurut saya, ya memang harus ditambahkan anggarannya untuk mereka," kata Cinta saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (12/9/2018).
Keterlambatan pembayaran klaim BPJS itu, menurut Cinta, menjadi masalah yang merepotkan dan membuat Pemprov DKI kelimpungan, padahal Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengaku Pemprov DKI tak pernah terlambat menyetor ke BPJS Kesehatan.
"Tiga bulan sekali kami bayar Rp 388 miliar," ujarnya saat ditemui di Balai Kota, kemarin (12/9/2018).
Meski begitu, Saefullah menuturkan kebutuhan RSUD dan puskesmas di DKI Jakarta lebih besar dari setoran yang dibayarkan ke BPJS Kesehatan. Delapan RSUD di DKI Jakarta misalnya, mengklaim belanja kebutuhan mereka mencapai Rp 120 miliar ke BPJS DKI setiap bulannya.
Jika dijumlahkan dalam rentang tiga bulan, besaran uang yang ditagih ke BPJS Kesehatan adalah Rp 360 miliar. "Tapi kami ada tambahan untuk Puskesmas yang biasanya klaim Rp 100 miliar [per bulan]," imbuh Saefullah.
Solusi Alternatif yang Disepakati
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Syahrial menyatakan, salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi delapan RSUD tersebut ialah mengajukan peminjaman kepada bank. Namun, kedelapan RSUD itu enggan melakukannya karena risiko bunga bank yang jika diakumulasikan akan melampaui setoran oleh BPJS.
"BPJS untuk kesehatan itu dia akan memberikan kompensasi 1 persen. Cuman hitungannya dengan lamanya menunggu itu bunganya lebih dari 1 persen. Jadi ada selisih bunga," ujar Syahrial dalam rapat Banggar di Gedung DPRD DKI, Senin lalu.
Solusi lainnya, kata Syahrial, memberikan dana talangan ke RSUD agar mereka tidak perlu meminjam ke bank dan membayar bunga. Apalagi bunga yang harus dibayarkan cukup besar mengingat tunggakan untuk RSUD tipe A dan B mencapai Rp 100 miliar. Kemudian jika ditambahkan dengan RSUD tipe C dan D mencapai Rp 300 miliar.
Dengan cara ini, Pemprov DKI tidak perlu "membakar uang" di bank lantaran uang itu akan masuk kembali ke Pemprov DKI setelah pembayaran dilakukan BPJS. "Kan anggaran itu nanti berputar terus jadi nantinya dana itu terserah siapa yang pegang," jelas Syahrial.
Sementara anggota Banggar lainnya, Ramly HI Muhammad, menyebut usulan dana talangan itu sebenarnya telah disetujui Gubernur DKI Anies Baswedan. Pembahasan dengan Anies dilakukan dalam forum dengan pimpinan fraksi.
"Tinggal payung hukum bagaimana, kami tidak tahu," kata Ramly.
Meski demikian, Kepala Inspektorat DKI Jakarta Michael Rolandi mengaku khawatir jika penganggaran tersebut malah akan menjadi temuan yang janggal bagi BPK, padahal yang melakukan kesalahan adalah pihak BPJS Kesehatan, bukan Pemprov DKI.
Solusi bagi masalah delapan RSUD tersebut, menurut Michael, dengan cara memberikan subsidi melalui Rencana Belanja Anggaran (RBA). Nantinya pengelola RSUD dapat meminjam dana talangan melalui Bank DKI.
Untuk pembayaran bunga Bank DKI, dapat diambil melalui dana yang telah dianggarkan ke dalam RBA. "Jadi yang pinjam itu BLUD [Badan Layanan Umum Daerah]. Anggaran bayar bunga dimasukkan ke dalam RBA BLUD. Jadi komponen penerimaan belanja," jelas Michael.
Di ujung pembahasan itu, akhirnya Banggar DPRD DKI menyetujui usulan Michael. Tiap RSUD pun diminta untuk menghitung jumlah subsidi bunga yang dibutuhkan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana