Menuju konten utama

Iuran BPJS Kesehatan Tak Naik Diduga Ada Motif Politik

Iuran BPJS Kesehatan tak naik sejak empat tahun terakhir. BPJS Watch menilai ada kepentingan politis di balik itu.

Iuran BPJS Kesehatan Tak Naik Diduga Ada Motif Politik
Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, DI Yogyakarta, Jumat (8/9/2017). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Ada kepentingan politik di balik upaya menutupi defisit BPJS Kesehatan yang pada akhir tahun nanti diprediksi mencapai hampir Rp 17 triliun. Cara yang dipakai bersifat jangka pendek, semisal memberi dana talangan (bailout), memperketat penagihan, dan menggunakan sebagian pajak rokok.

Timboel Siregar, Kepala Bidang Advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch, menilai seharusnya pemerintah berani menaikkan iuran peserta demi menutupi kekurangan anggaran. Hal ini tak dilakukan karena menurut Timboel tidak populer. Pemerintah butuh kebijakan yang populis jelang pemilu tahun depan.

"Pemerintah takut menaikkan itu karena khawatir di tahun politik ini ada penolakan masyarakat," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (18/9/2018) kemarin.

Menurut Timbul, penyebab utama keuangan BPJS defisit adalah ketidaksesuaian nilai aktuaria (risiko keuangan) dengan iuran yang dibayar peserta mandiri dan penerima bantuan iuran (PBI)—kecuali peserta mandiri kelas I.

Pada akhir September 2018, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan kalau iuran peserta mandiri kelas III seharusnya sebesar Rp53 ribu berdasarkan nilai aktuaria, tetapi pemerintah lewat Peraturan Presiden 111/2013 mematoknya cuma Rp25.500. Demikian juga dengan iuran yang dibayar pemerintah untuk PBI hanya Rp23 ribu bagi setiap peserta, padahal nilai aktuarianya Rp36 ribu.

Desifit yang terus-menerus dialami BPJS Kesehatan mengakibatkan pembayaran klaim sejumlah fasilitas kesehatan tertunggak. Di sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Jakarta, penunggakan ini menyebabkan arus keuangan dan operasional terganggu.

Fasilitas pelayanan kesehatan, gaji perawat, dan dokter, hingga pembayaran obat ke pemasok juga tertunggak.

"Karena ketidakmauan pemerintah menaikkan iuran, pemerintah harus mem-bailout itu sebesar Rp4,9 triliun," ujar Timboel. Angka bailout tersebut disepakati dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo, dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Senin (17/9/2018) lalu.

Bailout itu sebetulnya tidak cukup karena utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit sudah mencapai Rp7,3 triliun.

Infografik CI Defisit Keuangan BPJS Kesehatan

"Tidak Dibahas"

Selain dana talangan, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo juga menyebut beberapa langkah yang telah disepakati buat menekan defisit anggaran.

Salah satunya adalah penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 Tahun 2017 tentang penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) serta pemanfaatan dana pajak rokok. DBH-CHT dengan pajak rokok berbeda. Bila PMK soal DBH-CHT hanya terbatas bagi daerah penghasil tembakau saja, pajak perokok yang diatur dalam Perpres yang ditandatangani Jokowi berlaku untuk semua daerah.

"Minggu lalu sudah ditandatangani oleh Presiden guna [memanfaatkan] pajak rokok," ujarnya di DPR, Senin (17/9/2018) lalu.

Selain itu, Kementerian Keuangan juga bakal menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017. Beleid tersebut diharapkan dapat membuat pemerintah daerah lebih patuh dalam menyetorkan iuran BPJS.

"Kementerian Keuangan mendapatkan pemda yang masih banyak punya utang," kata Mardiasmo.

Bahkan, instansinya juga bakal melakukan efisiensi dana operasional BPJS Kesehatan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209 Tahun 2017 tentang Besaran Presentase Dana Operasional.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan kalau persoalan defisit sebetulnya sudah dibahas bahkan langsung di Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu. Meski demikian, akunya, yang dibahas hanya bagaimana cara menalangi defisit lewat APBN meski masih ada banyak pilihan.

Menurutnya BPJS Kesehatan memang mempertimbangkan menaikkan iuran peserta. Namun, seakan membenarkan dugaan Timboel yang menyebut itu tidak populer jelang tahun politik, dalam rapat tersebut yang dibahas hanya pembayaran via APBN. Sementara menaikkan iuran, kata Iqbal, "tidak menjadi topik pembahasan."

Pihak Istana sebetulnya sempat memikirkan opsi ini, meski akhirnya tidak direalisasikan. Oktober tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan sedang mempertimbangkan menaikkan premi dengan mempertimbangkan tingkat inflasi.

"Tarif sedang dipertimbangkan karena menghitung inflasi. Ini sudah tiga tahun kan begitu saja [besaran preminya], sedangkan layanan lainnya sudah naik," ujar JK, dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino