Menuju konten utama

Yang Perlu Diperhatikan Saat Menutup Defisit BPJS dari Pajak Rokok

Pemerintah boleh saja mengambil dana cukai rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, tapi harus secara proporsional.

Yang Perlu Diperhatikan Saat Menutup Defisit BPJS dari Pajak Rokok
Petugas melayani pengurusan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (30/7/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - BPJS Kesehatan belakangan menjadi perhatian publik. Bukan lantaran prestasinya, melainkan karena defisit keuangan yang dialaminya hingga triliunan rupiah. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan defisit yang terjadi mencapai Rp16,58 triliun.

“Itu belum termasuk bauran kebijakan. Setelah ada koreksi Rp5,6 triliun, defisit BPJS Kesehatan menjadi Rp10,98 triliun,” kata Mardiasmo dalam rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (17/9/2018).

Mardiasmo menuturkan, pemerintah telah berupaya mengendalikan defisit keuangan tersebut dengan berbagai kebijakan. Mulai dari mendisiplinkan pemerintah daerah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 hingga penerbitan PMK Nomor 222 Tahun 2017 tentang penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) serta pemanfaatan dana pajak rokok.

Menurut Mardiasmo, DBH-CHT dengan pajak rokok ini berbeda. Bila PMK soal DBH-CHT hanya terbatas bagi daerah penghasil tembakau saja, pajak perokok yang diatur dalam Perpres yang ditandatangani Jokowi berlaku untuk semua daerah.

“Ini good news, karena minggu lalu sudah ditandatangani oleh presiden. Karena semua daerah pasti ada yang merokok,” kata Mardiasmo di hadapan anggota Komisi IX DPR.

Aktivis dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) Julius Ibrani tidak mempersoalkan rencana pemerintah menggunakan DBH-CHT dan pajak rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Hanya saja, ia meminta dana DBH-CHT dan pajak rokok hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengobatan penyakit yang disebabkan rokok.

“Kalau untuk taktis oke, tapi jangan sampai kondisi dari cukai ini sendiri yang spesifik penggunaannya dan tagging anggarannya enggak boleh dicampur sama yang lain, itu menjadi buyar,” kata Julius kepada Tirto, Selasa (18/9/2018).

Julius mencontohkan, dana DBH-CHT dan pajak rokok boleh dipakai untuk mengobati penyakit yang muncul akibat rokok, seperti jantung koroner atau rehabilitasi perokok. Ia mengingatkan, tujuan keberadaan DBH-CHT untuk mengendalikan tembakau, bukan untuk kepentingan lain.

Ia tidak ingin pemerintah menggunakan DBH-CHT untuk pengobatan penyakit lain atau di luar kepentingan dampak tembakau. Lebih buruk lagi, kata dia, apabila pemerintah jadi melegalkan produksi tembakau secara massal demi menutupi semua biaya BPJS Kesehatan.

Infografik CI Keuangan BPJS Kesehatan

Sementara itu, Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo menilai, pemerintah sebaiknya mengambil dana cukai, bukan dana bagi hasil DBH-CHT dan pajak rokok. Namun, ia tidak mempersoalkan pemerintah penggunaan dana DBH-CHT selama penggunaan dana proporsional.

“Tidak masalah digunakan. Hanya proporsinya,” kata Adit saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/9/2018).

Meskipun diperbolehkan pemakaian proporsional, Adit meminta DBH-CHT untuk BPJS Kesehatan tidak mencapai 50 persen. Ia menyarankan pemerintah menggunakan dana cukai untuk menalangi sisa defisit saja. Alasannya, dana DBH-CHT hanya Rp3 triliun atau 2 persen dari cukai rokok yang mencapai sekitar Rp149,5 triliun.

Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementerian Keuangan, pajak cukai tembakau memang cukup besar dan setiap tahunnya meningkat. Misalnya, pada 2014 mencapai Rp112,54 triliun, naik menjadi Rp137,94 triliun pada 2016. Sementara pada tahun 2017, pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp147,72 triliun.

Adit pun meminta pemerintah pusat tidak mengambil uang pajak daerah. Menurut dia, total penerimaan DBH-CHT semestinya diserahkan kepada daerah untuk pengembangan, seperti pengelolaan tanam tembakau atau kebutuhan produksi tembakau, termasuk pupuk atau pelatihan di daerah produsen tembakau.

“Jangan bebani daerah, justru karena pajak daerah menurut kami setiap daerah punya kepentingan atas pajak rokok [yang] mereka terima. Kalau kemudian JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] ini defisit, pemerintah harus mensubsidi,” kata Adit.

“Kalau mau mensubsidi [BPJS Kesehatan] pakai dana cukai yang di pusat, jangan ambil dari yang di daerah,” kata Adit menegaskan.

-----------------------------------------

Naskah ini terdapat koreksi per Selasa (18/9/2018) pukul 21.56 WIB. Sebelumnya tertulis “Adit menilai DBH-CHT dan pajak rokok cukup untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan” menjadi “Adit meminta DBH-CHT untuk BPJS Kesehatan tidak mencapai 50 persen.” Kami mohon maaf atas kekeliruan tersebut.

Baca juga artikel terkait DEFISIT BPJS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz