tirto.id - Saat kecil dulu, saya sering diajak Bapak singgah di sebuah warung makan di depan Pasar Boja, Kendal, Jawa Tengah. Saya ingat, di bawah rindangnya pohon beringin, diterangi lampu petromak, aneka masakan terjejer rapi di dalam panci. Menggoda, menggugah selera. Ada opor ayam, sambal pete, tongkol pedas, juga belut berkuah kental.
Menu yang saya sebut terakhir adalah favorit kami. Tergolong pedas untuk saya yang saat itu masih anak-anak. Mulanya saya hanya mencicipi sedikit dari piring bapak. Tapi begitu lidah merasakan semburat rasa manis, gurih, pedas yang pas, meresap hingga ke dalam daging belut yang tipis di antara durinya yang cenderung besar, saya minta lagi dan lagi.
Singkat kata: saya ketagihan walau kepedasan.
Sebagai kompromi dengan lidah dan perut yang masih asing dengan rasa pedas, maka saya selalu meminta kuah terpisah. Kebiasaan itu terbawa sampai saat ini.
Ketika dewasa, saya mulai berani minta kuah, meski tak banyak. Bagi saya yang setelah dewasa pun masih agak jeri dengan rasa pedas yang nyelekit, kuah pedas itu agak menakutkan. Apalagi buat menu belut di sekitar Kendal hingga Semarang. Pedasnya pasti tak kira-kira. Bahkan ketika belut dimasak di rumah, tetap pedas. Kalau pedasnya jinak, bukan masakan belut namanya.
Makin Mahal Saat Ramadan dan Jelang Lebaran
Beberapa waktu lalu akhirnya saya memasak belut di rumah. Semua berawal dari kegagalan makan belut. Awalnya di warung Bu Kris yang terletak di Banyumanik, Semarang. Gagal. Lanjut ke Boja. Gagal lagi. Keinginan yang gagal itu akhirnya saya alihkan dengan cara masak sendiri.
Begitulah, Sabtu pagi di awal April saya niatkan ke pasar tradisional Boja. Dari pintu depan, saya harus melewati lorong kios-kios baju terlebih dahulu untuk kemudian menemukan “surga” belut di bagian tengah pasar.
Saya sebut surga, karena nyaris semua penjual lauk di pasar ini, menggelar belut di tengah dagangan mereka. Uniknya, jika di pasar tradisional kawasan lain kita dapat menemukan belut-belut segar di ember berisi air, di sini semua belut sudah berubah hitam, alias sudah dibakar.
Di lapak pasangan Bu Rini dan Pak Sarozi, saya membeli setengah kilogram belut super. Di lapak pasangan paruh baya ini, belut dibagi dalam beberapa kategori dan harga. Untuk kualitas paling bagus, harganya mencapai Rp90 ribu per kilogram.
“Memasuki puasa, sudah naik lima ribu, Mbak," ujar Bu Rini.
Menurutnya, harga ini belum mencapai titik puncak. Pernah, jelang lebaran, harga belut yang datang dari Demak, mencapai Rp150 ribu per kilogram. Nyaris semua penjual belut di Pasar Boja menjual belut Demak. Konon, belut dari kawasan ini paling disukai karena ukuran yang lebih besar dan lebih berdaging. Harga belut yang lebih murah tentu ada. Namun ukurannya lebih kecil, dan sedikit lebih gosong.
Adagium ada harga ada kualitas menemui pembenarannya di belut bakar ini.
Infografik Miroso Belut Sang Penggugah Selera. tirto.id/Tino
Nyaris semua belut yang dijual di pasar tradisional kawasan Kendal hingga Semarang berwujud belut bakar. Jika ingin mendapatkan belut segar, sekaligus menghemat uang belanja, beberapa warga di desa saya memilih untuk menangkapnya sendiri di sawah. Belut memang hidup di lumpur, seperti area persawahan.
Ada dua metode yang dipraktikkan untuk menangkap belut, yakni ngobor dan memancing. Ngobor berasal dari kata “obor” atau penerangan. Ini adalah cara berburu belut di sawah pada malam hari berbekal obor atau senter. Konon, malam hari adalah saatnya belut-belut keluar dari lumpur atau lubang di tanah untuk mencari makan. Maka para pemburu hanya perlu menunggu dan menangkap mereka.
Sementara memancing adalah metode menangkap belut yang dilakukan siang hari. Caranya, dengan memasukkan umpan dan pancing pada lubang-lubang yang terlihat di sawah. Katanya. Lubang-lubang itu adalah pertanda ada belut di dalamnya.
Peralatan pancing yang digunakan tak berbeda dengan peralatan memancing ikan. Seperti halnya memancing ikan pula, senar pancing akan bergetar ketika ada belut yang menyantap umpan dan tersangkut di pancing. Cukup dengan menariknya, belut siap dimasak.
Belut bisa dipotong langsung dan digoreng, bisa juga dibakar terlebih dahulu sebelum dimasak. Membakarnya bisa di arang, atau di atas kompor dengan alat pembakar.
Setelah belanja dan sampai di rumah, saya sempat mengintip beberapa resep masakan belut di berbagai portal. Namun kemudian saya memutuskan untuk memasak belut dengan resep sederhana yang umumnya dipraktikkan para ibu di desa saya, Ngaliyan, Bejen, Temanggung, Jawa Tengah.
Benar-benar masakan sederhana. Bumbunya hanya duet bawang putih – bawang merah, ditambah cabai dan daun salam. Kuahnya, santan cair dan kental. Supaya warnanya lebih menarik, saya pakai cabai merah. Untuk mendapatkan pedasnya, saya tambahkan cabai rawit.
Demi memudahkan pengulekan dan supaya warna merahnya maksimal, segenggam cabai merah saya rebus lebih dulu. Baru kemudian disatukan dengan bawang merah, bawang putih dan cabai rawit. Setelah bumbu diuleg halus, baru ditumis dengan sedikit minyak, disusul tambahan daun salam agar wanginya lebih semriwing.
Setelah bumbu matang dan keharumannya menyebar, barulah masukkan belut. Jangan lupa, belut bakar yang sebelumnya utuh, harus dicuci dan dipotong-potong terlebih dahulu.
Tambah sedikit air, garam dan gula, diamkan sejenak. Tambah lagi santan cair, tunggu hingga bumbu meresap. Terakhir, masukkan santan kental dan bumbu penyedap, aduk-aduk, lalu koreksi rasa hingga dirasa sempurna.
Hasilnya, santap siang akhir pekan yang menggembirakan. Bahkan salah satu tamu dari Australia yang bergabung di meja makan kami dan baru pertama kali menyantap belut, tak kuasa untuk menolak sedapnya hidangan belut tersebut.
“Masak ini lezat,” ujarnya di ujung sesi makan sembari menatap nanar karena kekenyangan.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyantap belut lagi, mumpung masih di Jawa Tengah.
Editor: Nuran Wibisono