tirto.id - Rasmi (bukan nama sebenarnya), menjadi korban perkosaan dan pelecehan seksual 10 pria. Perempuan berusia 16 tahun itu menjadi sasaran pelaku selama satu tahun terakhir. Kasus ini mulai terungkap saat salah seorang pelaku melakukan sompral.
Dalam bahasa Sunda, sompral artinya ketika seseorang usai melakukan sesuatu kemudian ia bercerita kepada orang lain.
"Dia bercerita kepada tetangga-tetangganya (sudah melecehkan korban)," ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto, ketika dihubungi Tirto, Jumat (27/11/2020).
Karena penasaran, seorang warga mencoba mengonfirmasi kejadian dan di saat bersamaan juga melaporkan pengakuan tersebut ke RT setempat.
Ketua RT lantas memanggil Rasmi untuk dimintai klarifikasi, dan Rasmi tak mengelak. Bahkan Rasmi berani menyebut 10 nama pelaku.
Keterangan dari Rasmi lalu diberitahukan kepada orang tuanya. Pada 10 November pihak keluarga korban melaporkan kejadian ini ke Polres Tasikmalaya. Hasilnya, sembilan orang ditangkap yakni AS (70), IY (35), SD (39), MT (60), A (58), HS (40), DD (45), WG (63), dan NG (40). Sementara satu orang masih buron.
Enam terduga pelaku memerkosa Rasmi. Sementara sisanya, melecehkan korban dengan meraba tubuhnya.
"Dari 10 orang itu mereka bertetangga, bersaudara, dan berbesan," ucap Ato. Maksudnya, ada terduga pelaku yang merupakan tetangga Rasmi; sepupu ayah Rasmi; dan dua terduga pelaku yang besan.
Mendapat Ancaman Pembunuhan
Kasus ini bermula saat AS yang memerkosa korban, memberikan sejumlah uang. Lantas rekan AS mulai berbuat serupa. Enam tersangka memerkosa korban lima kali. Rata-rata perbuatan itu dilakukan setiap akhir pekan selama setahun.
Usai diperkosa, Rasmi kerap diberikan uang dengan jumlah variatif. Ada pelaku yang memberikan Rp20 ribu, ada juga yang merogoh kocek hingga Rp100 ribu. Lokasi kejadian pun berganti-ganti, seperti rumah terduga pelaku, rumah kosong, gudang, sawah, pinggir sungai, kebun, dan saung.
Selain uang, Rasmi juga mendapat ancaman pembunuhan jika melapor. Sangat mungkin hal ini yang membuat Rasmi takut untuk melapor sehingga kejadian terus berlangsung selama setahun, alih-alih karena uang yang ia dapat.
"Dari terduga pelaku ada yang melakukan ancaman pembunuhan atau jika menolak akan disebarluaskan," jelas Ato.
Polisi lantas bertindak usai mendapatkan pengaduan keluarga korban. Mereka memeriksa para terduga pelaku.
"Mereka kami tetapkan sebagai tersangka setelah melakukan gelar perkara. Yang tujuh orang adalah tetangga korban, yang dua lainnya ternyata masih kerabat korban," kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Tasikmalaya AKP Hario Prasetyo Seno, Kamis (26/11/2020).
Hario mengatakan para tersangka dijerat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Selain itu enam orang kami kenakan Pasal 21 dan tiga lainnya dikenakan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Ancaman hukuman 15 tahun kurungan penjara,” terang dia.
Korban Alami Trauma
Rasmi dan keluarganya kini ditempatkan di sebuah rumah aman. KPAID Tasikmalaya tengah melakukan pemulihan psikis Rasmi dan keluarga. Ia mengalami trauma berat akibat kekerasan seksual yang dialami selama setahun terakhir tersebut.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merasa prihatin pada perkara ini dan mengutuk keras tindakan pelaku. Lembaga itu telah berkoordinasi dengan Dinas PPPA dan Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PT2TPA) untuk penyelidikan dan pendampingan bila diperlukan.
"Kami bekerja sesuai dengan tugas, karena sudah ada pendamping dari KPAID Tasikmalaya, kami berterima kasih. Kalau ada kebutuhan lain, kami akan coba koordinasi lebih lanjut," kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar kepada Tirto, Jumat (27/11).
Menurut dia, para pelaku dapat dikenakan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Dua pasal pertama dapat menghukum tersangka paling lama selama 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar. Jika pelaku merupakan orang tua, wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidana ditambah sepertiga dari ancaman.
Dalam undang-undang tersebut, semestinya kerabat Rasmi melindunginya, bukan justru menjadi pelaku. Kemudian dalam Pasal 5 UU 17/2016, bila yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit, gangguan atau fungsi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dapat mendekam di penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
"Pelaku dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik," imbuh dia.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Maneger Nasution turut buka suara. Dia bilang jika korban atau keluarga membutuhkan pendampingan, maka dapat segera melaporkan ke pihaknya.
LPSK juga bisa memberikan terapi pemulihan trauma dengan cara berkonsultasi kepada psikolog; bahkan dapat berkoordinasi dengan PT2TPA untuk memberikan rumah aman.
"Kami siap proses dan memberikan layanan perlindungan kalau keluarga dan korban membutuhkan. Tapi kami sifatnya menunggu laporan jika korban menginginkan," kata Maneger kepada Tirto, Jumat (27/11/2020).
Penulis: Adi Briantika & Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri