Menuju konten utama

Lambannya IAIN Tulungagung Menuntaskan Kasus Pelecehan Seksual

IAIN Tulungagung dianggap lamban menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswinya.

Lambannya IAIN Tulungagung Menuntaskan Kasus Pelecehan Seksual
Aksi damai yang dilakukan oleh gerakan IAIN TA Bersuara, menuntut penyelesaian kasus kekerasan seksual--salah satunya kasus Gangga--di kampus IAIN Tulungagung, Jawa Timur, pada Senin, 16 November 2010. Foto/ Dok. Persma/ DIMENSI/ IAIN Tulungagung.

tirto.id - Gangga, bukan nama sebenarnya, mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Tulungagung (IAIN), Jawa Timur mengaku mendapat pelecehan seksual dari MAA, mahasiswa semester 11 di kampus yang sama jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (HKI FaSIH). Peristiwa pahit itu terjadi pada malam hari 2 September 2020, saat keduanya dalam perjalanan hendak berkemah ke Gazebo Wilis Kediri menggunakan sepeda motor.

Dalam laporan yang disusun oleh lembaga pers mahasiswa DIMëNSI dan dipublikasikan pada 15 November lalu—dengan persetujuan korban—Gangga mengaku dilecehkan beberapa kali, dari mulai dipegang bokong, diraba bagian tubuh lain, hingga dicium. Gangga juga dibentak. Semuanya terjadi di sebuah warung kopi sebelum lokasi perkemahan ketika keduanya berteduh dan ketika perjalanan pulang. Rencana berkemah sendiri batal. Gangga diturunkan di depan RS Arga Husada, Kediri.

[Laporan lengkap berjudul Kampus Kelabakan Menghadapi Pelecehan Seksual dapat dibaca di tautan berikut. Nama pelaku tidak disebutkan lengkap.]

Pada saat kejadian, MAA berstatus mahasiswa tingkat akhir yang sudah merampungkan sidang skripsi. Ia juga diketahui ikut wisuda pada 10 November lalu, tanpa diberikan sanksi apa pun.

Fathur Rohman, salah seorang pendamping Gangga yang juga merupakan awak redaksi DIMëNSI, mengatakan dia mendapat laporan dari Gangga sehari setelah kejadian, 3 September malam. Menurutnya, Gangga tak mau melapor ke Polres Tulungagung karena takut orang tua bakal tahu dan memarahinya.

Hal pertama yang Fathur lakukan adalah mencari tahu di organisasi mana saja MAA bergiat. Dari sana diketahui bahwa korban MAA tak hanya Gangga. “Ternyata ada tiga korban lain. Dua orang lainnya terjadi sejak masa pandemi, satu orang lainnya itu kasus lama,” kata Rohman kepada wartawan Tirto, Rabu (18/11/2020).

Pada 16 September, Rohman membuat laporan tertulis berisi kronologi sekaligus tuntutan ke Wakil Rektor III IAIN Tulung Agung, Abad Badruzzaman. Namun, alih-alih fokus ke substansi, Abad justru mempermasalahkan format penulisan pelaporan yang menurutnya keliru, katanya, padahal kampus pun tak pernah menyosialisasikan bagaimana format yang benar itu.

Rohman mengatakan IAIN Tulungagung belum memiliki prosedur operasional standar (SOP) menangani kasus kekerasan seksual. Padahal, Kementerian Agama sudah mengeluarkan pedoman pencegahan seksual di kampus Islam negeri—dan IAIN Tulungagung salah satu yang menerima surat edaran itu.

Laporan Rohman adalah laporan resmi pertama. Biasanya mahasiswa atau pihak terkait sekadar lapor informal via Whatsapp, juga ke Warek III Abad. Kesamaannya, responsnya tak pernah sesuai harapan. “Selalu ingin mendamaikan kedua belah pihak. Kalau kasus ketahuan pacaran malah dikeluarin,” kata Rohman. “Beberapa kali kasus-kasus pelecehan seksual malah kampus ingin menikahkan.”

Sanksi dikeluarkan karena pacaran—yang sebenarnya konsensual, bertolak belakang dengan kasus kekerasan seksual—mengacu pada Keputusan Rektor IAIN Tulungagung No. 257 Tahun 2018 tentang Kode Etik Mahasiswa IAIN Tulungagung. Di Pasal 6 butir X, disebutkan mahasiswa dilarang: “Berzina atau melakukan perbuatan yang mengarah pada perzinaan.” Sanksinya tegas: dipecat sebagai mahasiswa.

Menyalahkan Korban

Rohman juga beberapa kali menerima pernyataan dari kampus yang menyudutkan dirinya sebagai pendamping. Pada 17 September, misalnya, saat mengirim laporan yang formatnya telah disesuaikan, seorang resepsionis malah meminta DIMëNSI tidak memberitakan kasus ini terlebih dulu.

Pernyataan serupa ia dapatkan dari seorang pejabat di bagian akademik pada hari yang sama, ketika meminta ijazah calon wisudawan itu jangan dikeluarkan dulu. Si pejabat itu malah bilang DIMëNSI tak memiliki hak melaporkan kasus. Seharusnya korban sendiri yang melapor, katanya. Si pejabat juga mempertanyakan apa dalil agama yang memperbolehkan Gangga pergi berdua bersama MAA. Ia menyalahkan Gangga karena sejak awal mau diajak pergi.

Malam harinya, Rohman bertanya ke Warek III bagaimana kelanjutan kasus Gangga dan mekanisme seperti apa yang bakal ditempuh kampus via Whatsapp. Rohman mendesak MAA segera disidang. “Namun, Abad mengatakan bahwa kampus belum mau memikirkan itu dulu. Mereka berdalih masih fokus pada agenda PBAK.” PBAK adalah Pengenalan Budaya Akademik Kampus, semacam masa orientasi untuk mahasiswa baru.

Pada 9 November, satu hari sebelum diwisuda, Rohman mendapat intimidasi keras dari Abad. Abad menilai DIMëNSI telah jahat karena rutin mengkritik kampus dan berupaya mengintimidasi dirinya saat wawancara. “Padahal dia ngomong seperti itu sambil marah-marah. Saya yang merasa diintimidasi,” kata Rohman.

MAA sempat meminta maaf ke Gangga lewat pesan teks. Namun permintaan maaf itu bukan atas pelecehan seksualnya, tapi karena mengatakan hal-hal kasar dan cabul. Gangga jelas tak mau memaafkan dan MAA pun masih mengelak bahwa kesalahan dirinya hanya karena perkataan, bukan perbuatan.

23 hari kemudian, tepatnya 30 September, Gangga mendapat surat undangan 'rapat dinas' di Gedung Rektorat Lantai II pada 1 Oktober. Rapat dinas itu ternyata merupakan forum bertanya para pejabat kampus terkait kasus pelecehan. Dalam forum itu hadir Abad, Wakil Dekan III FaSIH Darin Arif Muallifin, dan Kepala Bagian Akademik Muhammad Asrori. MAA sendiri tidak hadir. “Korban syok. Ke rektorat sendirian, enggak boleh ada pendamping. Badannya panas dingin. Isi forumnya cowok semua,” kata Rohman.

Gangga tetap datang tapi dia tak diperkenankan masuk karena hari itu suhu tubuhnya 37 derajat Celcius. Selama pandemi, hanya mereka dengan suhu tubuh maksimal 36 derajat Celcius yang boleh masuk.

Akhirnya Wakil Dekan III FaSIH Darin yang ke luar dan menghampiri Gangga. Namun alih-alih mendengarkan, “malah di situ dia nyalah-nyalahin korban. Ketawa-ketawa dan meminta Gangga memaafkan pelaku.”

Jawaban serupa selalu dilontarkan Darin setiap kali Gangga mengiriminya pesan bertanya perkembangan kasus via Whatsapp. Darin selalu bilang Gangga dan MAA sama-sama salah dan oleh karenanya alangkah baiknya saling memaafkan. “Setiap di-chat, selalu seperti itu jawabannya. Bahkan waktu Gangga mendesak kenapa pelaku tidak diinterogasi, Wakil Dekan III malah meminta untuk diajari cara interogasi,” kata Rohman.

Tapin Gangga tak menyerah. Pada 23-24 Oktober, ia melaporkan kasus ini ke Women's Crisis Center Dian Mutiara Malang dan Komnas Perempuan.

Mendesak Pelaku Ditindak

Pada 13 November, tiga hari setelah wisuda digelar termasuk terhadap MAA, Gangga kembali menerima surat panggilan dari rektorat untuk 16 November pukul 10.00. Kali ini forum sidang etik. Namun Gangga tak bisa hadir karena sedang di luar kota dan itu disayangkan pihak kampus. “Kami pikir dia butuh hiburan, biar enggak terlalu membebani,” kata Rohman membela. Akhirnya sidang etik hanya menghadirkan MAA sebagai terlapor.

Di saat yang bersamaan, Rohman dan IAIN TA Bersuara—sebuah kelompok taktis gabungan mahasiswa yang mengadvokasi kasus pelecehan seksual—menggelar demonstrasi di depan Gedung Rektor mendesak kampus menghukum MAA.

Gangga baru bisa hadir keesokan harinya, 17 November, pukul 13.00. Sidang berjalan tertutup. Ia diminta menceritakan kronologi peristiwa pahit itu. Pendamping Gangga tak diperkenankan hadir. Ia hanya ditemani seorang dosen perempuan. Gangga menangis saat sidang karena terus disudutkan dan disalahkan mengapa mau pergi berdua dengan MAA.

Setelah sidang itu Gangga hanya diperbolehkan berkonsultasi dengan si dosen, kata Rohman. Ia tak boleh melaporkan perkembangan kasus—termasuk waktu sidang berikutnya—ke para pendamping mahasiswa, termasuk Rohman. “Kampus seperti menutup-nutupi kasus,” katanya. Kini “Gangga enggak mau lagi naik ke Gedung Rektor karena selalu disalah-salahkan.”

Belum ada keputusan apa pun dari pihak rektorat hingga berita ini terbit, termasuk memenuhi keinginan Gangga agar ijazah MAA ditahan dan kasus ini dilaporkan ke keluarga MAA. Kemarin (23/11/2020), sidang kembali dilanjutkan. Salah satu temuannya, seperti dilaporkan DN Times, adalah ada informasi yang berbeda disampaikan oleh terlapor dan pelapor dan sedang didalami.

Desakan untuk menyelesaikan kasus ini juga datang dari luar. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mendesak kampus “membantu korban dalam mendapatkan keadilan baik melalui sistem formal maupun informal yang dipilih korban dan membantu pemulihan atas dampak kekerasan seksual yang menimpanya.”

Lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Kamis siang, Ami mengatakan IAIN Tulungagung juga semestinya melaksanakan SK Dirjen Perdis yang mengamanatkan kampus mengeluarkan mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual agar tercipta ruang aman baik untuk mahasiswa atau sivitas akademika lainnya. Ini penting sebab faktanya lingkungan pendidikan belum bebas dari potensi kekerasan seksual, kata Ami. Sepanjang 2015 tercatat pengaduan yang masuk ke instansinya ada 3, tahun 2016 10 kasus, tahun 2017 3 kasus, tahun 2018 10 kasus, tahun 2019 10 kasus, dan 10 kasus sampai Agustus 2020.

Kampus: “Mengacu Kode Etik...”

Warek III Abad mengatakan sedang merencanakan sidang yang dapat mempertemukan kedua belah pihak. “Harus bertemu, namanya juga proses pengadilan. Masak kita memutus perkara tanpa proses penelusuran perkara?” kata Abad saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Kamis (19/11/2020) pagi.

Oleh karena itu Abad bilang kampus belum dapat menentukan sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada MAA, jika memang terbukti bersalah. “Sanksinya akan ditentukan setelah duduk perkaranya jelas. Belum ada gambaran. Harus mendengar dari para pihak dulu,” katanya.

Ia mengaku kalau kampus lamban dalam menangani kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Gangga, dan meminta maaf atas hal tersebut. Namun Abad menepis tudingan bahwa kampus kerap menyalahkan korban. Ia mengaku tak ada sama sekali upaya untuk menyalahkan korban.

Masalahnya, ia kembali menyinggung kode etik kampus yang menurutnya “tidak akan membenarkan seorang mahasiswi jalan malam-malam berdua dengan lawan jenis ke lokasi wisata.” “Bukan hanya kode etik kampus Islam saya kira, kode etik kampus mana pun.”

Dalam Kode Etik Mahasiswa IAIN Tulungagung 2018 yang telah dibaca wartawan Tirto, tak ada pasal yang menyebutkan melarang mahasiswa/mahasiswi untuk jalan berdua ke luar kampus.

(Revisi 24 November pukul 9.52: Ada koreksi detail lokasi kejadian pada paragraf 2. Sebelumnya kami menulis "di lokasi perkemahan".)

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL DI KAMPUS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino