tirto.id - Pada Juli 2020, kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post mendapatkan kabar tentang kasus pencabulan terhadap anak-anak panti asuhan di Depok, pinggiran Jakarta. Pelakunya mengaku biarawan Katolik berstatus bruder. Namanya, Lukas Lucky Ngalngola tapi biasa dikenal 'Bruder Angelo'. Ia ditangkap Polres Metro Depok pada 14 September 2019.
Itu setelah tiga anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani, yang didirikan oleh Angelo, melaporkan pelecehan seksual ke Polres Depok. Masalahnya, Bruder Angelo hanya ditahan tiga bulan—bebas pada 9 Desember.
Kami juga mendengar kabar Angelo membuka panti baru dan merekrut anak-anak lagi. Ada kekhawatiran kejadian serupa terulang. Ada juga kecemasan atas nasib anak-anak korban pelecehan Angelo—yang dalam kasus ini, mereka belum mendapatkan keadilan.
Kami mendapati surat keterangan dari Keuskupan Bogor, yang diteken oleh Uskup Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM pada 19 September 2019; isinya antara lain menolak status bruder Angelo. Kami juga mendengar kabar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahu kasus Angelo.
Kami mula-mula mengontak Susianah Affandy, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat. Menurut Susi, dalam wawancara pada 11 Agustus 2020, kasus Bruder Angelo sudah selesai dengan penangkapan tersebut. Ia mengaku KPAI adalah pihak yang membuat laporan kepada polisi Depok. “Kasusnya sudah dilaporkan, Angelo sudah ditangkap. Tugas KPAI sudah selesai,” katanya.
Anak-anak Kencana Bejana Rohani, menurut Susi, telah diamankan ke tiga tempat. “Sudah ditransfer ke Cipanas (Jawa Barat), Cempaka Putih (Jakarta Pusat), dan Cipete,” tambahnya.
Susi mengaku banyak lupa mengisahkan kasus setahun lalu itu. Ia bercerita penangkapan Angelo bermula dari kecurigaannya saat mengunjungi Kencana Bejana Rohani di Kota Depok pada 25 Juni 2019. Itu setelah Angelo mendatangi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sambil membawa anak-anak panti, karena ingin “negara hadir membantu anak-anak terlantar,” kata Susi.
“Jadi dia sempat bangun rumah … tapi enggak diperbolehkan warga karena daerah hunian. Saya sempat juga ke sana. Angelo mau negara hadir di situ.”
“Waktu visitasi, saya lihat ke rumah tempat anak-anak itu tinggal. Rumah sewa. Tipe 36, dua lantai, agak luas tapi anaknya banyak banget. Mereka itu kayak disekap. Jadi sempit juga,” cerita Susi mengingat rumah di Perumahan Mutiara, Blok CD 6, Depok 2.
Ia curiga kepada Angelo ketika sang bruder mengisahkan mendapatkan seorang bayi di panti itu. “Bayi ini bermasalah proses mendapatkannya. Jadi lahir tanpa ayah—hmm, tanpa pernikahan. Dia beli dari ibunya. Rp6 juta. Saya curiga… Itu kan proses humantrafficking sebenarnya,” ungkap Susi.
Di rumah itu, Susi menambahkan, tak ada orang selain Angelo. “Dia juga tiba-tiba bilang, daripada dituduh trafficking, maka dia bikinkan akta rumah singgah. Di situ saya makin curiga. Enggak ditanya kok ngomong begitu?”
Kemudian, Susi atas nama KPAI membuat pertemuan dengan Kemensos, Kemenkes, Kemen PPPA, Dinsos Depok, Dinkes Depok, dan beberapa dinas terkait untuk membahas kecurigaannya. Tak lama sesudahnya, dugaan Susi terbukti. Ada tiga anak Kencana Bejana Rohani mengadu kepada kepala sekolah tentang perkosaan yang dilakukan Angelo.
“Ya sudah. Sama saya sudah dilaporkan ke polisi dan sudah ditangkap,” kata Susi.
Tapi, di situlah masalanya. Kami bertanya, “Mbak Susi tahu si Bruder Angelo sudah dilepas?”
Ada jeda sebentar, lalu Susi menjawab, “Enggak. Saya enggak tahu.”
Dan masalah dari cerita Susi: laporan ke Polres Depok bukan atas nama Susi ataupun KPAI.
Kronologi Sebenarnya Penangkapan Angelo
Kami mencari tahu keberadaan anak-anak korban Angelo di rumah Darius Rebong, warga awam Gereja Katolik, di Jl. Kamboja—masih di Kota Depok. Rumah seluas lapangan futsal terbagi bangunan depan dan belakang ini menampung sekitar 44 anak dari Sumatera Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Di antara anak-anak ini, sedikitnya ada tiga anak yang jadi korban pencabulan dan satu anak mendapatkan kekerasan fisik oleh Angelo. Mereka bercerita kepada tim kolaborasi pada 12 Agustus lalu.
Joni, Lorenzo, dan Simone—ketiga anak yang diperkosa oleh Angelo; ketiganya nama samaran—melaporkan kasusnya ke Polres Metro Depok pada 13 September 2019. Mereka memang ditemani Komisioner KPAI Susianah.
Namun, laporan mereka ternyata atas nama Farid Arifandi, aktivis perlindungan anak yang dilibatkan Susi membantu KPAI menangani kasus Angelo. Farid, Sekretaris Forum Nasional Panti, adalah orang yang dihubungi kepala sekolah ketiga anak itu.
Ketiga anak ini sempat ragu memenjarakan Angelo. Ada perasaan utang budi. Selama ini segala kebutuhan harian hingga pendidikan mereka dibiayai Angelo.
“Kami bingung. Nasib sekolah nanti bagaimana? Orangtua kami susah, tidak mungkin kami pulang. Ongkosnya dari mana juga?” ujar Lorenzo.
Farid meyakinkan mereka. Ini semua adalah kehendak Tuhan. “Tuhan yang menginginkan kalian sampai di sini. Tuhan punya rencana buat kalian,” ujar Farid.
Menurut Farid, terjadi tunjuk-menunjuk antara dirinya, Susi dari KPAI, dan polisi tentang siapa yang akan membuat laporan. Anak-anak itu tetap harus punya wali untuk melaporkan kasusnya. Farid, yang punya sejarah hidup sebagai anak panti, bersedia menjadi pelapor.
Kepolisian menginterogasi ketiga anak itu. Joni dan Lorenzo ditetapkan sebagai saksi korban karena usianya terkategori dewasa. Sementara Simone, karena usianya di bawah umur, sebagai korban dan divisum.
Tak menunggu sehari, Angelo ditangkap di Cilodong pada 14 September sekitar jam 4 pagi. Joni, Lorenzo, dan Simone bersembunyi di mobil polisi saat penangkapan. Mereka menuntun polisi ke tempat persembunyian Angelo.
Joni berkata kepada kami bahwa ia bersedia melaporkan pelindungnya karena “itu risiko yang harus Angelo terima.”
“Ia tidak pernah tobat. Daripada adik-adik kami menjadi korban,” ujar Joni.
Susi menilai setelah Angelo ditangkap, maka keterlibatan KPAI pun selesai.
Namun, bagaimana nasib anak-anak panti asuhan?
Keterlibatan Keuskupan Bogor
Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo, orang asli Tanimbar, berkarya untuk tarekat Blessed Sacrament Missionaries of Poor/ of Charity (BSMP/BSMC), kongregasi berbasis di Malolos, Filipina. Dalam narasi yang diulas Hidup Katolik, Angelo diutus BSMC pada 2015 untuk membuka misi ke Indonesia. Lokasi kerjanya di Depok adalah wilayah Keusukupan Bogor. Uskup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM memberinya “uji coba karya pelayanan selama tiga bulan”, salah satunya mengajar kursus bahasa Inggris ke anak-anak sekolah dan pemulung. Pada akhir 2015, Bruder Angelo mendirikan Yayasan Kencana Bejana Rohani buat membentuk panti asuhan dengan nama yang sama.
Pada 13 September 2019, ketika Angelo dilaporkan ke Polres Depok, Komisi Hukum Keuskupan Bogor dan Gereja Katolik Santo Matheus tengah rapat untuk menyelamatkan anak-anak di panti tersebut.
Kehidupan anak-anak panti saat itu di ujung tanduk. Masa kontrak rumah panti sudah habis, sementara keuangan dipegang Angelo. (Sumber di sini menyebut ada 70-an anak di panti tersebut.)
“Kami selamatkan atau kami titipkan sebagian anak-anak itu ke Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya. Sebagian (lain) ke Griya Asih (Cempaka Putih),” ujar Ketua Komisi Pelayanan Hukum Keuskupan Bogor Agus Setyo Purwoko. Anak-anak itu dipindahkan pada 16 dan 19 September.
Kami menemui Agus di kompleks Katedral Bogor pada 24 Agustus lalu. Dalam pertemuan ini, Aulia Adam dari Tirto dan Margareth Aritonang dari The Jakarta Post menghadapi delapan pengacara dari Komisi Hukum dan lima pastor Keuskupan Bogor termasuk Mgr. Paskalis.
Pada 19 September, Mgr. Paskalis mengeluarkan surat pernyataan internal bahwa Lukas Lucky Ngalngola alias Angelo bukanlah biarawan Katolik sehingga “ia bukanlah bruder”, hanya “seorang awam biasa.” Ia juga meragukan BSMC, tarekat yang menaungi Angelo. Angelo sudah diberitahu pada akhir April 2019 dan diminta “tidak mengenakan pakaian religius”; tidak boleh melakukan karya apa pun atas nama Gereja terutama buat mencari sumbangan.
“Sehingga segala perbuatannya menjadi tanggung jawab pribadi, baik secara hukum negara maupun hukum gereja,” tulis pernyataan itu.
Menurut Agus, dalam kasus Angelo, Keuskupan Bogor fokus menyelamatkan anak-anak “berdasarkan saran dari Bapak Uskup.”
“Kami mendengar yang jadi pelapor itu KPAI,” tambahnya.
Saat kami berkata pelapor kasus Angelo adalah Farid Arifandi, warga sipil biasa, mereka mengaku tak mengenal Farid—namanya baru mereka dengar dari kami.
Romo Yohannes Driyanto menekan lagi apa yang dilakukan oleh Angelo adalah “tanggung jawab pribadi”, terlebih dalam penilaian mereka, Angelo bukanlah biarawan. Semua pejabat Keuskupan Bogor dalam pertemuan dengan kami menolak gereja disebut lepas tangan atas kasus ini.
“Kami tidak ingin kayak begitu (kasus pelecehans seksual) ditutup-tutupi,” ujar Romo Driyanto. “Dalam gereja sampai sekarang—saya beritahu sedikit—kalau saya melakukan sebagai pastor kemudian dijatuhi hukuman oleh pengadilan sipil, baru gerejanya bertindak.”
Namun, ketiga belas orang dari Keuskupan Bogor dalam pertemuan dengan kami, tak satu pun mengetahui siapa tiga anak panti yang menjadi korban Angelo, yang sudah berani melaporkan ke Polres Depok, hanya didampingi oleh Farid Arifandi tanpa peran serius selanjutnya dari otoritas negara maupun gereja.
“Kami enggak ada yang tahu, bahkan menebak-nebak itu siapa,” kata Yasinta, salah satu anggota Komisi Hukum.
Nasib Anak-Anak Setelah Angelo Ditangkap
Saat Keuskupan Bogor menyebarkan sebagian anak-anak Kencana Bejana Rohani ke Bogor dan Jakarta Pusat, ada empat anak yang memilih tinggal bersama Sinta, eks tukang masak Panti Kencana Bejana Rohani, di Depok.
Sinta sebenarnya keberatan. Ia dan keluarga menempati rumah kontrakan sederhana. Ia menyarankan anak-anak itu tinggal di rumah 'Pak Alo', staf Angelo. (Salah satu korban bercerita bahwa 'Pak Alo' menyarankan anak-anak berdamai dengan Bruder Angelo ketika mereka mengisahkan perbuatan cabul Angelo.)
Sinta mendengar ada donatur mencari anak ke 'Pak Alo' untuk dikuliahkan. Anak-anak itu menolak. Bersikeras ikut dengan Sinta saja.
“Akhirnya, ada Komisi Hukum (Keuskupan Bogor). Saya bilang ke mereka: ‘Anak-anak ini bagaimana?’ Mereka suruh saya cari kontrakan, ketemulah dengan keponakan Darius,” ujar Sinta.
Darius Rebong, warga awam gereja, berkata kepada tim kolaborasi bahwa Keuskupan Bogor sepakat mengontrak rumahnya di Jl. Kamboja, Depok, selama setahun. Biayanya Rp50 juta, dicicil empat kali. Darius menggunakan uang itu untuk memperbaiki pompa air dan kebutuhan makan-minum anak-anak, katanya.
Pada 29 November 2019, Darius diundang oleh Uskup Bogor Mgr. Paskalis untuk membicarakan nasib anak-anak, yang dihadiri Ketua Komisi Hukum Agus Setyo Purwoko.
“Darius mengatakan dapat mandat tertulis dari Angelo di penjara untuk melanjutkan mengelola anak-anak,” ujar Agus. Permintaan ini tak bisa ditolak gereja, tambah Mgr. Paskalis.
Mgr. Paskalis mengklaim telah menawarkan ke Darius mengurus 40-an anak dengan gereja. “Entah bagaimana, dia bilang mau sendiri. Kami baru tahu juga ternyata dia ada yayasan sendiri,” katanya.
“Nah sejak dia ambil sendiri itu … kita sudah lepas tangan [mengurus anak-anak],” ujar Mgr. Paskalis.
Tim kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post mendapatkan salinan surat Angelo yang ditulis saat ditahan di Polres Depok. Angelo menulis perjanjian menyerahkan pengasuhan anak-anak ke Darius sejak 14 Oktober 2019, termasuk berjanji memberikan seluruh fasilitas Yayasan Kencana Bejana Rohani untuk dimanfaatkan anak-anak di rumah Darius.
Pada 13 Desember, Darius mendirikan Yayasan Delapan Sabda Bahagia. Beberapa pegawai eks Kencana Bejana Rohani seperti Sinta, Yosina, Maikel, tinggal bersama dan membantu Darius. Mereka berbagi tugas merawat dan mencari donatur untuk anak-anak.
Darius berkata anak-anak ini tidak mendapatkan layanan pemulihan baik dari KPAI, Keuskupan Bogor, maupun pihak manapun.
“Saya tidak paham kenapa Keuskupan Bogor tidak memberikan konseling? Mungkin mereka membantu tetapi melalui doa,” ujarnya.
Keuskupan Bogor, sebaliknya, menilai Darius “sebetulnya, pada mulanya, hanya pemilik rumah yang kita sewa.” Tapi, kemudian, “Pak Darius terlalu dalam masuk ke penanganan anak,” kata Alex Suardi, salah satu anggota Komisi Hukum Keuskupan Bogor, yang juga pengelola Panti Asuhan Griya Asih di Cempaka Putih.
Kasus Angelo di Polres Depok: Farid Arifandi Berjuang Sendirian
Meski Angelo mengakui mencabuli anak-anak, tapi dalam perjalanan kasusnya malah “bubar jalan,” kata Kasat Reskrim Polres Depok, Kompol Wadi Sabani, yang baru bertugas sejak Juni 2020.
KPAI dan Keuskupan Bogor yang lepas tangan terutama terhadap ketiga anak yang melapor kasus Angelo, bagaimanapun, telah membuat situasi yang sulit bagi proses penyidikan. Jaksa meminta penyidik melengkapi berkas perkara dengan cara memperdalam keterangan para korban.
Menurut informasi dari para penyidik kasus ini, Wadi berkata penyidik mengaku mendatangi Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Perumahan Mutiara, tapi nihil. Mereka menghubungi Farid Arifandi, tapi Farid juga tak tahu keberadaan anak-anak.
Polres Depok mengikuti informasi dari salah satu pengurus panti bahwa anak-anak ditampung di Bogor dan Jakarta Pusat, lalu mencarinya tapi “tidak ada petunjuk lagi,” ujar Wadi kepada kami pada 24 Agustus.
Penyidik menanyai pihak Keuskupan Bogor tapi diberi informasi bahwa anak-anak itu sudah pulang kampung, klaim Wadi. (Cerita ini dibantah oleh Ketua Komisi Hukum Agus Setyo Purwoko: tidak ada orang dari KPAI dan Polres Depok mendatangi Keuskupan Bogor antara September sampai Desember 2019.)
Padahal, menurut penuturan Lorenzo kepada tim kolaborasi, ia dipindahkan ke Puncak, sementara Joni dan Simone di Cempaka Putih. Bahkan, Lorenzo dan Joni hanya bertahan tiga hari di tempat penampungan, lalu ikut Sinta ke Depok.
Macet, polisi mengontak Farid sebagai pelapor kasus, yang juga kesulitan menghadirkan korban.
Farid—dalam perkara ini adalah saksi yang harus mendapatkan perlindungan negara karena rawan mendapatkan tudingan macam-macam—berkata tidak mengetahui kabar kepindahan anak-anak karena tak ada koordinasi dengan pihak Keuskupan Bogor. Ia mengetahui keberadaan anak-anak di dua tempat penampungan setelah mencari sendiri.
“Saya cari sendiri demi membantu kepolisian,” ujarnya kepada tim kolaborasi.
Inisiatif Farid yang semata sukarela membantu pengusutan kasus Angelo—digerakkan oleh ikatan emosional sebagai anak panti—justru harus memikul beban sendirian. Ia bahkan stres didatangi terus-menerus polisi, kendati ia mafhum itu bagian dari prosedur kerja kepolisian. Ia menghubungi Susianah dari KPAI, tapi diabaikan.
Terdesak dan tak ada dukungan dari KPAI maupun pihak Keuskupan Bogor, Farid mendatangi Polres Depok pada 7 Desember 2019. Hari itu ia mencabut laporan kasus Angelo.
“Setelah mencabut laporan itu, ke luar kantor Polres, saya langsung menangis,” ujarnya.
Pada 9 Desember, Polres Depok akhirnya menangguhkan penahanan Angelo. Praktis, Angelo hanya ditahan selama tiga bulan.
'Kepolisian, KPAI, Gereja Tak Bisa Cuci Tangan'
Tim kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post mengibaratkan kasus Angelo adalah kasus “besi panas”: semua orang tahu kasusnya tapi tak ada yang secara serius atau secara berani menyentuhnya. Kami membahas kasus ini dengan Mamik Sri Supatmi, kriminolog dari Universitas Indonesia.
Mamik berkata Polres Depok tak bisa berdalih kasus ini berhenti begitu laporan dicabut. Kasus Bruder Angelo adalah delik biasa, bukan delik aduan, sehingga sudah kewajiban polisi terus mengusut kasus tersebut.
Kedua, "Gereja juga tidak bisa cuci tangan begitu saja. Gereja punya kewajiban mengurus anak-anak ini setelah Angelo—guardiannya—berkasus,” kata Mamik. “Jika gereja mangkir, negara melalui KPAI, Kemensos, Kementerian KPPA dan LPSK harus turun tangan dan tidak membiarkan anak-anak terkatung-katung seperti sekarang.”
Ketiga, “Negara—dalam hal ini KPAI—punya kewajiban memastikan hak-hak anak terpenuhi dan korban mendapatkan pemulihan.”
“Hadir mendampingi Farid saja tidak cukup karena KPAI harus secara terus-menerus hadir untuk mem-follow up, memonitor, dan memastikan proses hukum berjalan,” tambah Mamik.
Ia menekankan ada unsur trafficking dalam kasus Angelo: mengeksploitasi anak untuk mendapat keuntungan materi. “Jadi kalau polisi yang menangani kasus ini waras, pelaku bisa dijerat dengan kekerasan seksual dan children trafficking.”
Kami kembali menghubungi Susianah Affandy, Komisioner KPAI, untuk minta komentarnya setelah kami mendapatkan pengakuan dari Farid Arifandi. Susi menjanjikan wawancara dengan tim kolaborasi pada 26 Agustus pukul 7 pagi. Tapi kemudian membatalkan dan meminta kami mengatur ulang wawancara jam 10 pagi. Alasannya, ia dan komisioner KPAI lain ingin mengobrol dengan Farid lebih dulu. (Saat kami mengecek ke Farid, ia baru menerima undangan rapat zoom dari KPAI sekitar pukul 10 malam pada 25 Agustus.)
Namun, setelah menunggu pertemuan Farid dan KPAI, Susi membatalkan wawancara dengan tim kolaborasi. Ia meminta kami untuk bicara dengan Ketua KPAI Susanto. Susanto mengarahkan kami bicara dengan Rita Pranawati, sekretarisnya, yang lalu menolak.
Pada 26 Agustus, kami mendatangi Polres Depok untuk bertemu dengan Putu Elvina, Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum.
“Kenapa baru merespons kembali kasus Angelo?”
“Saya pikir ini berproses, tidak hanya baru sekarang,” kata Elvina, dan menambahkan KPAI “intens mendampingi anak-anak” setelah ada indikasi pencabulan. (Keterangan ini berbeda dengan yang disampaikan Susi kepada kami pada 11 Agustus: tugas KPAI berhenti setelah ada laporan ke polisi.) Elvina juga mengaku KPAI terus berkoordinasi dengan kepolisian. (Polisi sebaliknya berkata KPAI tidak berkoordinasi lagi setelah laporan perkara.)
Saat kami bertanya tentang keberadaan anak-anak dan seperti apa pendampingan oleh KPAI, Elvina berdalih kasus ini kembali disentuh KPAI setelah vakum selama setahun “karena waktu itu ada pernyataan dari anak bahwa mereka tidak ingin melanjutkan. Kita harus bisa bedakan penanganan anak dan dewasa. Kami tidak bisa memaksa anak.”
Namun, keterangan Elvina tidak sesuai fakta. Joni, Lorenzo, Simone—ketiganya korban pencabulan Bruder Angelo—berkata kepada kami bahwa mereka tidak pernah ditemui lagi oleh pihak manapun, termasuk KPAI. Hubungan mereka putus sejak Angelo ditangkap polisi pada 14 September 2019.
“[KPAI] tidak berbuat apa-apa lagi. Setelah Angelo ditangkap, kami enggak pernah ketemu orang KPAI. Sejak itu, kami di rumah Pak Darius,” ujar Lorenzo.
Pada akhirnya, kasus Bruder Angelo adalah kasus yang terang benderang menunjukkan otoritas yang punya kekuasaan mendorong pelaku pencabulan ke proses hukum, justru lepas tangan.
Mamik Sri Supatmi, kriminolog dari Universitas Indonesia, berkomentar kepada tim kolaborasi: “Pelaku sangat jahat. Ia mengeksploitasi kemiskinan anak, menyalahgunakan kepercayaan anak dan orangtua anak, mengeksploitasi agama/identitas religiusitasnya untuk secara sistematis dan terencana melakukan kejahatan kepada anak, baik seksual maupun nonseksual.”
==========
Laporan ini terbit berkat kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post di bawah tajuk 'Nama Baik Gereja' untuk mengusut dugaan-dugaan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik. Tim kolaborasi mewawancarai sedikitnya 30 narasumber untuk seri kasus 'Bruder Angelo'. Ini laporan perdana dari tiga laporan yang dipersiapkan.
Penulis: Alfian Putra Abdi & Aulia Adam
Editor: Fahri Salam