tirto.id - DPR RI resmi menyingkirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020 dalam rapat kerja Kamis (2/7/2020) lalu.
Badan Legislasi (Baleg) DPR berdalih ada sejumlah pasal pemidanaan dalam RUU PKS yang berkelindan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Oleh karena itu sebelum RUU PKS, mereka harus mengesahkan RKUHP terlebih dulu. Hal ini diungkapkan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, politikus Gerindra.
Pernyataan Supratman sebenarnya bukan barang baru. Pada akhir periode kerja DPR 2014-2019, Ketua Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU PKS Marwan Dasopang, politikus PKB, mengatakan hal serupa. Marwan beranggapan RUU PKS--sebagai UU lex specialis--harus selaras dengan KUHP terutama dari aspek bobot pemidanaan.
Saat itu DPR telah menyepakati tiga bab dari RUU PKS, yakni pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi.
RKUHP yang dibahas Komisi III DPR dan pemerintah ditunda pembahasannya setelah diprotes masyarakat, termasuk lewat demonstrasi besar pada 24-26 September 2019.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan lembaganya dan sejumlah organisasi perempuan lain pernah mempersoalkan argumen lex specialis ini dalam beberapa kali rapat dengan DPR. Menurut Aminah, RUU PKS adalah hukum lex specialis yang mengatur sembilan kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawanan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Di sisi lain, RKUHP hanya mengatur dua jenis kekerasan, yaitu perkosaan dan pencabulan.
RUU PKS pun mengatur mengenai hukum acara dalam kasus kekerasan seksual, sebab KUHAP dan UU LPSK belum mengatur soal hak-hak korban.
Aminah mengatakan pengaturan perkosaan dan pencabulan tidak perlu menunggu RKUHP sebagaimana hukum acara kekerasan seksual tidak perlu menunggu revisi KUHAP.
“Kalau menunggu RKUHP yang entah kapan disahkannya, kita mau tunggu berapa banyak lagi korban yang tidak bisa diproses oleh hukum? Sementara kalau ada undang-undang PKS, disahkan atau tidak disahkannya RKUHP, itu (RUU PKS) tetap berlaku," kata Aminah kepada reporter Tirto, Jumat (3/7/2020).
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti pun beranggapan demikian. Ia menilai tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatakan pengesahan satu RUU harus menunggu pengesahan RUU lain. Terlebih, dalam RUU PKS tidak ada satu pun pasal yang menyatakan merujuk pada KUHP.
Bivitri mengatakan peraturan perundang-undangan Indonesia memungkinkan untuk mengatur pidana dalam UU sektoral, sementara KUHP mengatur asas-asas hukum pidana, jenis-jenis sanksi pidana, pemberatan, dan lain-lain.
"Contoh konkret saja, memangnya RUU Cipta Kerja mau ditunda karena RUU KUHP belum selesai, padahal di situ banyak mengatur sanksi pidana? Kan tidak. Jadi bisa terlihat, itu argumen politis saja, mungkin istilah sehari-harinya 'ngeles'," kata dia kepada reporter Tirto.
Jika RUU PKS lebih dulu disahkan, maka ada asas hukum lex specialis derogat lex generalis--hukum yang bersifat khusus diutamakan keberlakuannya dibanding UU yang bersifat umum sehingga tidak ada masalah di lapangan nantinya.
Selain itu bukan tidak mungkin jika pengaturan pemidanaan di RUU PKS yang dijadikan rujukan saat merumuskan RKUHP. Menurut Bivitri bahkan itu lebih baik sebab RUU PKS disusun dengan paradigma penghapusan kekerasan seksual, sementara RKUHP disusun dengan paradigma yang lebih umum yakni reformasi hukum pidana.
Kerja DPR untuk RUU PKS Nihil Hasil
RUU PKS sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Sejak saat itu beragam pembahasan sudah dilakukan.
Jejak Parlemen, sebuah organisasi non-profit yang mengumpulkan data-data kegiatan legislatif, mencatat RUU ini pertama-tama dibahas dalam rapat kerja di Baleg dan dilakukan harmonisasi pada 31 Januari 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 11 September 2017, DPR mengadakan rapat dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk membahas regulasi ini.
Awal tahun, 23 Januari 2018, DPR melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU), kali ini dengan Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL), sebuah organisasi yang fokus mengadvokasi isu kekerasan perempuan.
Enam hari kemudian, mereka kembali melakukan RDPU. Kali ini dengan para pakar seperti Profesor Euis Sunarti, Profesor Chairul Huda, dan Profesor Topo Santoso. Pada 3 Oktober 2018, DPR giliran mengundang Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia untuk melakukan RDPU.
Pada 25 Oktober 2018 RDPU digelar, sekarang dengan pakar psikologi dan pakar kesehatan. Kemudian, pada 18 Juli 2019, terselenggara RDP antara komisi VIII dengan panitia kerja mengenai daftar inventarisasi masalah.
RDP kembali dilakukan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 25 September 2019. Lalu pada 13 November 2019, rapat kembali digelar dengan kementerian tersebut untuk pembahasan lanjutan.
Namun semua nihil hasil. RUU tersebut tak mampu diselesaikan oleh DPR periode 2014-2019.
RUU ini kemudian dilanjutkan pembahasannnya oleh DPR periode 2019-2020. Mereka awalnya tetap memasukkannya ke dalam Prolegnas dalam rapat 17 Desember 2019. Sayangnya, tanpa pembahasan yang lebih serius, di pertengahan 2020 ini DPR memutuskan RUU tersebut dikeluarkan Prolegnas Prioritas 2020.
Sementara di saat yang sama, mereka mengebut sejumlah RUU lain yang mendapatkan protes dari sejumlah kalangan.
Nafsu Besar DPR Tanpa Kemampuan
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan alasan penghentian pembahasan RUU PKS “sangat tidak substantif dan cenderung teknis.” Kepada reporter Tirto, Jumat (3/7/2020), ia mengatakan “DPR sepertinya memang sedang ingin menelanjangi kegagapan mereka dalam membahas RUU. Mereka seperti tak mampu.”
Alasan itu menurutnya menjelaskan kenapa DPR selama ini tak pernah berhasil memenuhi target setiap tahun.
“Target bombastis mengekspresikan nafsu yang besar, tetapi nafsu saja tanpa mempertimbangkan kemampuan sebenarnya membuat DPR nampak seperti terjangkit ejakulasi dini,” kata Lucius.
Total ada 16 RUU yang disingkirkan DPR dari Prolegnas Prioritas, termasuk RUU PKS. “Yang tentu memprihatinkan adalah 16 RUU yang dicoret itu menyertakan RUU prioritas dalam arti sesungguhnya seperti RUU PKS,” kata Lucius.
Disebut prioritas karena kekerasan seksual mengancam setiap orang, terutama perempuan, setiap waktu. Sudah banyak pula korban yang tak mendapatkan keadilan dari kejahatan ini. Situasi ini membuat Lucius berpikir DPR seperti pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
Lucius menilai perbandingan antara RUU Minerba dan RUU PKS paling tegas menunjukkan bagaimana rancangan peraturan yang dibahas DPR sangat ditentukan oleh seberapa besar kepentingan politik dan oligarki di dalamnya. RUU Minerba dan RUU PKS itu sama-sama sudah dibahas sejak periode lalu.
Berbeda dari RUU PKS, RUU Minerba dibahas oleh DPR sekarang pada 2 April. Pada 11 Mei, Komisi Energi DPR menyetujui revisi UU Minerba. Esoknya, disahkan menjadi undang-undang.
“RUU Minerba bisa disahkan cepat karena DPR sebagai abdi politik partai dan kebetulan parpol kita memang oligarkis, maka bisa dengan mudah diselesaikan,” ujar Lucius.
Penulis: Mohammad Bernie & Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz