Menuju konten utama

Jangan Cuma Prihatin, Pak Jokowi, Segera Desak Pengesahan RUU PKS

Presiden Jokowi seharusnya dapat mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual demi perlindungan dan keadilan korban.

Jangan Cuma Prihatin, Pak Jokowi, Segera Desak Pengesahan RUU PKS
Presiden Joko Widodo berpidato dalam acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - Presiden Joko Widodo akhirnya bersuara soal kasus kekerasan seksual di Indonesia, Kamis (9/1/2020). Saat itu ia memimpin rapat terbatas tentang penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Istana, Jakarta.

Ada beberapa hal yang Jokowi katakan dalam rapat itu. Salah satunya soal penegakan hukum yang menurutnya harus "memberikan efek jera, terutama terkait dengan kasus pedofilia."

Ia juga mengatakan bantuan hukum bagi korban "sangat penting sekali diberikan." "Dan yang terakhir," katanya, "rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial kembali."

Presiden ke-7 Indonesia itu lantas meminta para bawahannya untuk melakukan kampanye sampai reformasi penanganan kasus agar dapat selesai cepat, terintegrasi, dan komprehensif. "Bila perlu one stop service, mulai dari layanan pengaduan pendampingan dan mendapatkan layanan kesehatan," pungkas Jokowi.

Jokowi terakhir kali bicara soal penanganan kasus kejahatan seksual anak pada 2016, sepanjang penelusuran media. Saat itu ia bilang akan menerbitkan Perppu untuk memperkuat penanganan kasus kejahatan seksual sebagai perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Setelahnya Jokowi tak pernah menyinggung lagi soal fenomena tersebut secara khusus. Padahal, dalam rentang 2016 hingga 2019, kasus kekerasan seksual begitu marak.

Hukum yang Bermasalah

Bagi Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro-Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti, yang disampaikan Jokowi masih belum cukup. Sebab, katanya, Jokowi "belum melihat melihat kekerasan pada remaja perempuan dan khususnya kekerasan berbasis gender yang sudah diakui secara internasional."

Kepada reporter Tirto, Jumat (12/1/2020) malam, Ratna mengatakan Jokowi dan bawahannya harus bisa mengakui keberadaan gender based violence ini, "sehingga penanganan kekerasan bisa menyasar pada akar persoalan, yakni perubahan mindset masyarakat."

Menurut Ratna, salah satu langkah pencegahan yang paling efektif adalah memberikan edukasi pada para pemangku kepentingan, pelayan publik, dan masyarakat umum.

"Kelompok strategis seperti guru, keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, harus diberikan pemahaman tentang kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender dan akar masalahnya, pendidikan seksualitas yang tidak bias gender," ujarnya.

Masalah lain yang tak kalah pelik adalah sulitnya menjerat pelaku kekerasan seksual. Ratna bilang selama ini penegakan hukum masih lemah, terutama jika itu terjadi di ruang privat serta pelakunya adalah orang-orang terdekat korban "seperti orangtua, pacar, pasangan hidup, atasan, tokoh agama, atau guru."

Kesulitan ini terjadi karena belum adanya sistem pembuktian yang memudahkan korban. Misalnya, aparat masih bersikap pasif, menuntut saksi di luar korban, hingga jarang menggunakan visum et psikiatrikum atau bukti terkait dampak psikis.

"Hanya sedikit kasus kekerasan seksual yang berhasil diproses ke meja hijau, hanya karena polisi tidak bisa menghadirkan bukti-bukti yang kuat," ujar Ratna.

Atas dasar ini, Ratna menilai "pernyataan Presiden soal hukum pelaku seberat-beratnya itu enggak terlalu relevan dengan masalah, atau kebutuhan yang ada di lapangan... wong membawa pelaku ke meja hijau saja masih bermasalah."

RUU PKS

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati lantas mengatakan salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan Jokowi adalah mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Peraturan ini sempat dibahas DPR periode 2014-2019, tapi gagal disahkan dan akan dibahas DPR periode sekarang.

RUU PKS, menurut Maidina, adalah bentuk "reformasi kebijakan perlindungan korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan." Apa yang dijelaskan Ratna soal masalah penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual dapat diatasi dengan RUU PKS.

Fokus RUU PKS adalah korban. Dalam rancangan aturan itu, jelas terdapat definisi kekerasan seksual, yakni: bila ada pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan. Dengan definisi ini, batas-batas kekerasan seksual menjadi jelas belaka.

Kemudian, contoh lain kenapa RUU PKS berpihak kepada korban adalah adanya peraturan soal perlindungan dan pemulihan korban. Ia juga mengatur soal kewajiban negara, bahkan masyarakat dan korporasi, untuk mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Rahayu Saraswati, pada periode 2014-2019 menjabat anggota Komisi VIII DPR, pernah mengatakan salah satu kesulitan menggolkan peraturan ini adalah kurangnya pemahaman sejumlah anggota komisi soal isu perempuan. Perdebatan soal RUU PKS juga lebih banyak dari sudut pandang agama.

Ratna Batara Munti sendiri berharap RUU PKS akan dibahas serius dan diselesaikan, terutama karena saat ini DPR dipimpin oleh seorang perempuan, Puan Maharani.

"Kami berharap DPR saat ini lebih punya komitmen politik dan mudah-mudahan ada angin segar dari Ibu Puan," katanya, tahun lalu.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri